Wikipedia:Buku/Hadiah untuk Ibu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faridahanim (bicara | kontrib)
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis
Faridahanim (bicara | kontrib)
Tag: Penggantian
 
Baris 4:
| setting-columns = 2
}}
 
== Hadiah untuk Ibu ==
:[[Portable Document Format]]
;Hadiah Untuk Ibu
 
[[Kategori:Buku|Hadiah untuk Ibu]]
 
"Yaaahhh... hancur lagi!"
Dzaky meletakkan kembali baki semai berwarna hitam di hadapannya. Semalam, hujan deras mengguyur hampir seluruh penjuru kota Surabaya. Tanaman yang tertata apik di teras rumah semuanya basah terkena tampias hujan. Hujan deras disertai angin. Sebenarnya Dzaky sudah menduga bahwa semua tanaman pasti akan basah dan terhuyung terkena cucuran air hujan. Namun, ia hanya bisa pasrah dan tak punya cukup nyali untuk keluar sekedar mengamankan baki semai saat gemuruh petir bersautan.
 
"Tinggal dua bulan lagi," ucapnya lirih. Diraihnya beberapa kantung berwarna perak berisi aneka macam biji. Kol, sawi, bayam, cabe, dan kangkung. Dengan hati-hati ia memasukkan butiran biji ke dalam baki semai yang sudah disiapkan. Tidak terlalu dalam, tetapi bukan di permukaan. Tangan kecilnya bergerak dengan lincah dan terampil, meski baru sebulan ia belajar berkebun. Autodidak, berbekal informasi yang ia dapatkan dari buku elektronik melalui ponsel kecilnya.
 
"350, turun lagi."
Diambilnya sebuah spuit untuk mencampurkan dua buah cairan pekat dalam botol yang ada di rak tanaman. Satu botol berwarna merah pekat, dan satu botol berwarna bening kebiruan. Nutrisi AB mix untuk sayuran hidroponik. Hampir setiap hari Dzaky melarutkan kedua cairan pekat tersebut ke dalam ember. Bercocok tanam sistem hidroponik memang tidak semudah bayangan. Butuh ketelitian, kesabaran, dan pantang menyerah.
 
Biasanya ia akan berhenti menyuntikkan nutrisi di angka kisaran 1200 ppm. Angka maksimal nutrisi untuk empat baris pipa bertingkat. Ayah yang merakit pipa-pipa hidroponik itu untuknya. Kemarin, ia berhasil memanen satu ikat kangkung hasil jerih payahnya. Dengan bangga ia berikan kangkung itu ke ibunya. Dzaky memang masih berusia 10 tahun, namun semangatnya lebih besar dari usianya.
 
Sret.. sret..
Dzaky menyemprotkan cairan keruh berbau menyengat ke seluruh tanamannya. Pestisida nabati, untuk mencegah tanaman terserang hama. Tanaman jenis sayuran daun hijau sangat mudah terkena hama. Pestisida nabati ini dibuat dengan mengiris tipis bawang merah dan merendamnya dengan air sesuai takaran selama 2-3 hari.
Cuaca cerah, Dzaky tersenyum lega. Dengan sigap, ia menggeser rak tanamannya ke tempat yang terkena sinar matahari. Mumpung belum mendung. Semua tanamannya sangat membutuhkan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Suatu waktu, hujan bergantian dengan mendung selama beberapa hari. Tanamannya menguning dan layu. Biji-bijian yang sudah berkecambah, batangnya meninggi dan kurus. Kutilang, biasa orang kebun menyebutnya. Kurus, tinggi, langsing, menandakan kurang terkena sinar matahari.
Aktivitas menyemai dan menjemur tanaman ia lakukan sebelum berangkat ke sekolah. Sedangkan, cek nutrisi dan penyemprotan hama, ia lakukan di sore hari sepulang sekolah. Semua ia lakukan dengan semangat dan senang hati. Ada yang ia tuju, ibu. Dzaky ingin mentraktir ibu dengan uangnya sendiri. Ia tahu, ibunya menghemat segala macam pengeluaran demi bisa memberikan pendidikan terbaik untuknya dan juga kakak adiknya.
Satu bulan berlalu, mendekati saat panen. Semua tanaman pada pipa hidroponik dicek satu per satu. Nutrisi diturunkan ke angka 500 ppm. Rockwool mulai dipotong dan ditata ke dalam baki semai. Rutinitas menjelang panen, menurunkan nutrisi supaya sayuran terasa lebih segar dan tidak pahit. Kali ini, empat baris pipa penuh berisi sayuran yang siap untuk dipanen pekan depan. Pakcoi dan kangkung. Dzaky tersenyum lebar, senang. Diambilnya ponsel dan mulai mengambil gambar semua tanaman sayurnya yang hijau merekah.
 
Keesokan harinya…
“Hah? Gundul?!” teriak Dzaky. Pakcoinya gundul, dan hanya menyisakan 2-3 helai daun saja. Itupun sobek, tak sempurna. Dzaky lemas, kecewa, dan marah. Ditelitinya tiap helai daun.
“Ketemu. Rupanya kamu penyebab pakcoiku gundul. Huh, ulat nakal,” gerutu Dzaky sambil membuang ulat-ulat hijau yang telah memakan tanamannya.
Dzaky termenung, harapannya memudar. Lebaran tinggal beberapa hari lagi, dan harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Sebenarnya, Dzaky ingin memberikan kejutan untuk ibunya, berdalih proyek penghijauan untuk sekolah.
Tut.. tut..
Suara pesan masuk di ponselnya. Pengumuman penerima beasiswa penghafal kitab suci. Nama Dzaky tertera di sana. Ia baru ingat, tiga pekan yang lalu, ia mengikuti seleksi penerima beasiswa penghafal kitab suci. Senyuman kembali menghias wajahnya yang bulat, lebih lebar. Satu tiket masuk SMPN berhasil ia dapatkan bersamaan dengan uang pendidikan sebesar Rp 200,000,- per bulan. Setidaknya, ini meringankan beban ibu. Ibu tak perlu lagi memikirkan uang untuk membeli seragam baru, putih biru.