Purnawarman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(17 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{infobox royalty
| title = Narèndraddhvajabhūténa
|title=Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati
| image = [[Berkas:Ilustrasi Purnawarman.png|200px]]
| caption = Ilustrasi Purnawarman
| reign = (395 - 434)
| succession = Raja Tarumanegara ke 3
| predecessor = [[Dharmayawarman]]
| successor = [[Wisnuwarman]]
| birth_name =
| birth_date = 16 Maret 372 M
| death_date = 23 November 434 M
| father = [[Dharmayawarman]]
| mother =
| spouse =
| issue = *[[Wisnuwarman]]
|title regnal name = ''Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati''
| house = [[Dinasti Warman]]
}}
 
'''Purnawarman''' adalah Raja ke-3 sekaligus termahsyur dari [[Kerajaan Tarumanagara]] yang memerintah sejak tahun 395 - 434 M. Namanya dikenal dalam [[Prasasti Ciaruteun]], [[Prasasti Jambu]], dan [[Prasasti Tugu]], serta diperkuat dengan [[Naskah Wangsakerta]].
 
== Silsilah keluarga ==
Baris 66 ⟶ 67:
''Puluhan kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampuni seorang pun, di antara mereka''.
 
Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung jumlah perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.{{butuh rujukan}}
 
== Peninggalan bersejarah ==
 
=== Lambang kerajaan ===
Demikian pula di tempat tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama ''Sang Erawata''. Demikian pula ada yang ditandai dengan ''lukisan brahmara'' (kumbang atau lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau'' dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya. Di tempat tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Semua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.''{{butuh rujukan}}
 
=== Bendera Kerajaan ===
Adapun bendera kerajaan Taruma, berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata. Sedangkan materai raja (rajatanda), adalah lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang). Bendera Angkatan Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa), yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera bendera yang berlukiskan senjata milik satuan satuan tempur. Kerajaan kerajaan bawahan Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.{{butuh rujukan}}
 
Sang Purnawarman adalah pemuja [[Wisnu]].<ref>{{Cite book|last=Ridwan, I., dkk.|date=November 2021|url=https://eprints.untirta.ac.id/6638/1/LAYOUT%20BUKU%20STUBAN%20LENGKAP.pdf|title=Studi Kebantenan dalam Catatan Sejarah|location=Tangerang|publisher=Media Edukasi Indonesia|isbn=978-623-6497-50-0|editor-last=Muhibah|editor-first=Siti|pages=68|url-status=live}}</ref> Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma. Penganut Budha, tidak seberapa banyak. Kecuali di Pulau Sumatra. Penduduk pribumi, kebanyakan tetap memuja roh leluhur (pitarapuja), menurut adat yang diwarisi nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi: Undang undang kerajaan; Peraturan Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah Daerah di Jawa Barat; Silsilah Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain lain.{{butuh rujukan}}
 
=== Prasasti Cidanghiang ===
Baris 87 ⟶ 88:
''(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman'' (Danasasmita, 1984: 3 1).
Prasasti ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman.{{butuh rujukan}}
 
Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci Dang Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem religi Sunda.{{butuh rujukan}}
 
Adik Sang Purnawarman, bernama [[Cakrawarman]], menjadi Panglima Perang. Sedangkan pamannya dari pihak ayah, bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala). Sang Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang Purnawarman ke negeri seberang, untuk mempererat persahabatan. la pernah mengunjungi Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala, Bakulapura, Cina, Sumatra dan lain lain.{{butuh rujukan}}
 
== Meninggal ==
 
Sri Maharaja Purnawarman, wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi [[Citarum]], sehingga mendapat sebutan ''Sang Lumah Ing Tarumanadi'' (yang dipusarakan di Citarum).{{butuh rujukan}}
 
Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: ''Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya)''.{{butuh rujukan}}
 
== Referensi ==
Baris 104 ⟶ 105:
== Bacaan lanjutan ==
 
* [[Ayatrohaedi]]. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
* Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* R.M. Mangkudimedja. 1979. ''Serat Pararaton Jilid 2''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah