Tiwah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(9 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 18:
| participants = Umat beragama Kaharingan
| people = {{hlist|Pisor/Kandong|Basir/Basie|Mantir|Balian}}
| budget = {{hlist|• 50 - 100 juta Rupiah '''(Tiwah per-satu orang/makam)'''|<br>• 5 - 10 juta Rupiah per-keluarga '''(Tiwah massal)'''}}</br>
| patron = {{hlist|Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI)|Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDA-HK)|Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBA-HK)}}
| organised =
Baris 24:
| footnotes =
}}
'''Tiwah''', atau '''tiwahTiwah laleLale''', dikenal juga '''''magah salumpuk liau uluh matei''''' adalah upacara kematian dalam '''agama [[Kaharingan]]''' yang dilakukan oleh [[suku Dayak Ngaju]] dan sebagian golonganjuga sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan yang masih menganut agama [[Kaharingan]], khususnya di [[Kalimantan Tengah]]. Upacara Tiwah diberlakukan kepada orang atau anggota keluarga yang telah lama meninggal dan sudah lama dikubur dengan usia makam bisa 7 - 10 tahun lamanya karena yang diperlukan dalam ritual Tiwah adalah tulang-belulang orang yang telah meninggal. Setelah menunggu untuk waktu yang lama, barulah makam-nya bisa dibongkardigali, kemudian dilakukan berbagai ritual, dan terakhir tulang-belulang tersebut akan diletakkan ke dalam '''"''[[Sandung]]''"''' atau '''"''Pambak''"'''.
 
[[Berkas:Sandung 101014-7588 mp.JPG|jmpl|'''"Sandung"''' suku Dayak Pesaguan di Desa [[Tanjung Maloy, Tumbang Titi, Ketapang|Tanjung Maloy]], [[Tumbang Titi, Ketapang|Tumbang Titi]], [[Kabupaten Ketapang|Ketapang]], [[Kalimantan Barat]].]]Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam agama Kaharingan, sama halnya dengan upacara Dallok, [[Miya]], Ijambe, Wara, dan [[Kwangkey]]. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang kekal abadi yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.<ref>[http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html Tiwah] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120723025229/http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html |date=2012-07-23 }}. Pemkab Gunung Mas. Diakses pada 18 September 2012</ref> Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]].<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2014/|title=PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA 2014|date=2015-01-19|website=Direktorat Jendral Kebudayaan|language=id-ID|access-date=2019-04-09}}</ref>
 
== Konsep kematian ==
Baris 38:
 
== Biaya ==
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/11000061/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-1-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref> Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegeradengan mungkinwaktu yang relatif lebih cepat misalkan sekitar 7 tahun setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan '''''handep''' .''Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah.<ref name=":0" /> Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai Katingan.<ref name=":1">Schiller, A. (2002). How to hold a tiwah: the potency of the dead and deathways among Ngaju Dayaks. ''The Potent Dead: Ancestors, Saints, and Heroes in Contemporary Indonesia'', 17-31.</ref> Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara yang juga berada di tepi Sungai Katingan.<ref>Kusmartono, V. P. R. (2007). [https://naditirawidya.kemdikbud.go.id/index.php/nw/article/view/344 Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan.] ''Naditira Widya'', ''1''(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344</ref> Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa desa di Kabupaten [[Katingan]], Kalimantan Tengah.<ref>{{Cite news|url=https://travel.kompas.com/read/2016/06/21/142013727/tiwah.rukun.kematian.penuh.kebahagiaan|title=Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan|last=|first=|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Asdhiana|editor-first=I Made}}</ref>
 
== Durasi dan waktu pelaksanaan ==
Baris 111:
Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali dengan proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung.<ref name=":3" />
== Pengaruh budaya luar ==
Seiring berkembangnya zaman dan interaksi suku Dayak dengan dunia luar, upacara Tiwah juga mengalami banyak perubahan. Adapun beberapa perubahan dalam upacara Tiwah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti munculnya negara, agama pendatang, dan masuknya teknologi baru.
 
=== Keberadaan negara bangsa ===
Baris 120:
 
Selain pelarangan tradisi mengayau, keberadaan negara Indonesia yang hadir pasca kemerdekaan juga turut mempengaruhi berlangsungnya upacara Tiwah. Waktu pelaksanaan upacara Tiwah akan menjadi lama karena menunggu perizinan dari banyak instansi seperti camat, polisi, dan majelis adat. Lama dikeluarkannya izin bahkan bisa mencapai 12 bulan. Penyelenggara upacara Tiwah wajib mengisi sejumlah dokumen dan harus memberikan detil kegiatan yang nantinya akan dilangsungkan.<ref name=":1" />
 
=== Agama pendatang ===
Agama dari luar yang masuk ke masyarakat Dayak seperti Kristen dan Islam turut mempengaruhi penyelenggaraan upacara Tiwah. Pengaruh agama Kristen yang dibawah para misionaris yang datang bersamaan dengan hadirnya negara kolonial Belanda lebih kepada pelarangan tradisi mangayau yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan, agama Islam memiliki pengaruh terhadap tata cara pengurbanan hewan dalam upacara Tiwah. Pada akhir upacara Tiwah, diadakan upacara pengurbanan hewan dengan cara ditombak atau yang disebut dengan tubah. Jika sebelumnya, penombakan hewan kurban seperti kerbau dilakukan secara berkali-kali hingga hewan tersebut tersunggkur dan akhirnya mati. Dalam kepercayaan [[Islam]], hewan yang dikurbankan harus disembelih terlebih dahulu. Hewan yang mati dalam keadaan ditombak seperti yang ada dalam upacara Tiwah, nantinya daging tersebut tidak boleh dimakan karena statusnya haram. Oleh sebab itu, dalam upacara Tiwah yang mendapat pengaruh Islam, setelah hewan ditombak dan sebelum hewan yang dikurbankan mati, hewan tersebut harus disembelih dibagain leher terlebih dahulu agar dagingnya boleh atau halal untuk dikonsumsi.<ref name=":0" />
 
=== Teknologi baru ===