Perkawinan anak: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Dasar hukum perkawinan anak menurut UU |
||
(23 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Infografik Perkawinan Anak di Indonesia 2020 fix final.png|jmpl|250px|Infografik
'''
Penelitian menunjukkan bahwa [[pendidikan seksual]] yang komprehensif dapat membantu mencegah
▲Pernikahan anak biasanya identik dengan [[perjodohan]] yang dilakukan oleh [[orang tua]] dengan alasan [[ekonomi]]. Menurut data, anak-anak perempuan dari keluarga [[Kemiskinan|miskin]] berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam pernikahan anak.<ref>{{Cite web|last=International Center for Research on Women (ICRW)|first=|date=|title=Poverty and Child Marriage|url=https://www.icrw.org/child-marriage-facts-and-figures/|website=|publisher=|access-date=}}</ref> Pandangan masyarakat yang mementingkan keperawanan perempuan dan menganggap perempuan memiliki masa reproduksi yang lebih pendek daripada laki-laki serta perempuan tidak mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan menjadikan kasus pernikahan anak di berbagai daerah sulit hilang.
== Dasar hukum perkawinan ==
▲Penelitian menunjukkan bahwa [[pendidikan seksual]] yang komprehensif dapat membantu mencegah pernikahan anak.<ref>{{Cite book|date=2018|url=https://www.worldcat.org/oclc/1371618774|title=International technical guidance on sexuality education : an evidence-informed approach.|location=Paris|publisher=UNESCO|isbn=978-92-3-100259-5|edition=2nd revised ed|others=Unesco|oclc=1371618774}}</ref> Mengurangi pernikahan anak di [[Negara berkembang|negara-negara berkembang]] membutuhkan pendidikan dan penguatan masyarakat di daerah pedesaan. Anak perempuan dapat membuat keputusan untuk menikah dan hidup lebih baik dengan pendidikan. Program pembangunan di daerah pedesaan seperti perawatan air, [[kesehatan]], dan [[sanitasi]] dapat membantu [[finansial]] keluarga dan menekan angka pernikahan anak, sehingga pendidikan dan pembangunan pedesaan dapat memutus siklus [[kemiskinan]] dan pernikahan anak.<ref>{{Cite journal|last=Subscriber|first=SSRN|date=2011|title=Ssrn Demo Paper|url=http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1954661|journal=SSRN Electronic Journal|doi=10.2139/ssrn.1954661|issn=1556-5068}}</ref>
Dalam melakukan perkawinan, tepatnya di Indonesia terdapat beberapa dasar hukum yang yang mengatur penyelenggaraan perkawinan salah satunya adalah usia perkawinan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah berusia 19 tahun.<ref>UU RI No 16 Tahun 2019. uu16-2019bt.pdf (peraturan.go.id) </ref> Aturan tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perkawinan usia anak yang dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan jiwa untuk anak perempuan dan bayi yang dilahirkannya serta untuk menghindari berbagai dampak lainnyaa. Selain itu usia perkawinan dapat terdiri atas usia perkawinan dengan persetujuan orang tua dan usia perkawinan tanpa memerlukan persetujuan dari orang tua. Usia perkawinanan dengan persetujuan orang tua adalah 19 tahun keatas baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan usia perkawinan tanpa memerlukan persetujuan orang tua adalah 21 tahun.<ref>PUSKAPA - FACSHEET INFOGRAPHIC - indonesia (unicef.org)</ref>
== Dampak dari perkawinan anak ==
=== Dampak kesehatan ===
perkawinan anak melanggar hak-hak anak dan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi anak perempuan dan anak laki-laki. Bagi anak perempuan, selain masalah [[kesehatan mental]], kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang [[hamil]], serta dampak kesehatan yang merugikan akibat dari [[Kehamilan remaja|kehamilan dini]] dan [[persalinan]].<ref name=":0" /><ref name=":1">{{Cite journal|last=Gastón|first=Colleen Murray|last2=Misunas|first2=Christina|last3=Cappa|first3=Claudia|date=2019-07-03|title=Child marriage among boys: a global overview of available data|url=https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17450128.2019.1566584|journal=Vulnerable Children and Youth Studies|language=en|volume=14|issue=3|pages=219–228|doi=10.1080/17450128.2019.1566584|issn=1745-0128}}</ref> Salah satu penyebab [[kematian]] paling umum bagi anak perempuan usia 15-19 tahun di negara berkembang adalah kehamilan dan persalinan, karena secara medis alat [[reproduksi]] mereka belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.<ref>{{Cite web|last=Ludden|first=Jennifer|date=2013-12-01|title=Five Things You May Not Know About Child Marriage|url=https://www.npr.org/sections/parallels/2013/12/01/247843225/5-things-you-may-not-know-about-child-marriage|access-date=2023-03-25}}</ref><ref name=":2">{{Cite web|title=Dampak Buruk Perkawinan Anak {{!}} Indonesia Baik|url=https://indonesiabaik.id/infografis/dampak-buruk-perkawinan-anak|website=indonesiabaik.id|access-date=2023-03-25}}</ref> Anak perempuan berisiko mendapatkan [[Komplikasi (medis)|komplikasi]] terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti ''fistula obstetri'', [[infeksi]], [[Perdarahan|pendarahan]] hebat, [[anemia]] dan [[eklampsia]]. Menurut penelitian dari [[Kanada]] dan [[Indonesia]], usia [[rahim]] prima secara fisik berada pada usia di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun.<ref name=":2" /> Tidak hanya berbahaya bagi ibu, bayi yang dilahirkan pun tidak luput dari risiko. Selain risiko kematian pada bayi dua kali lipat sebelum memasuki usia satu tahun. Ibu berisiko melahirkan bayi secara [[Premature (film 2019)|premature]], [[stunting|''stunting'']] (kekurangan asupan gizi), pertumbuhan janin terhambat, bayi berat lahir rendah (BBLR), ''stillbirth'' (bayi lahir mati), kematian [[perinatal]] (kematian bayi tujuh hari setelah lahir), gangguan [[sistem saraf]], dan [[cacat lahir]].<ref name=":2" /><ref name=":3">{{Cite book|last=UNICHEF-Indonesia|date=2020|url=https://www.unicef.org/indonesia/media/9491/file/MHM%20and%20Child%20Marriage%20Prevention%20(Indonesian).pdf|title=Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Pencegahan Perkawinan Anak|location=Jakarta Selatan|publisher=Pimpinan Pusat Muslimat NU|url-status=live}}</ref>
Adapun dampak pernikahan bagi anak laki-laki adalah belum siap untuk bertanggung jawab, menafkahi keluarga, menjadi ayah sejak dini, kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang [[karier]].<ref name=":1" /> Secara global, dampak perkawinan anak di kalangan anak laki-laki hanya seperenam di antara anak perempuan.<ref>{{Cite web|title=Child marriage {{!}} UNICEF|url=https://www.unicef.org/protection/child-marriage|website=www.unicef.org|language=en|access-date=2023-03-25}}</ref> Penelitian tentang dampak pernikahan pada anak laki-laki di bawah umur sangat sedikit, para peneliti berpendapat kemungkinan karena perkawinan anak yang melibatkan anak laki-laki kurang umum dan mereka jarang menghadapi dampak kesehatan yang merugikan sebagai akibat dari kehamilan dini dan persalinan.<ref name=":1" /> Data per [[September]] 2014, 156 juta [[pria]] yang masih hidup menikah sebagai anak laki-laki di bawah umur.<ref>{{Cite news|last=Strochlic|first=Nina|date=2014-09-18|title=The Sad Hidden Plight of Child Grooms|url=https://www.thedailybeast.com/articles/2014/09/18/the-sad-hidden-plight-of-child-grooms|newspaper=The Daily Beast|language=en|access-date=2023-03-25}}</ref>
[[UNICEF]] mengungkapkan bahwa diperkirakan 115 juta laki-laki di seluruh dunia menikah sebagai anak-anak. Dari jumlah tersebut, 1 dari 5, atau 23 juta, anak laki-laki menikah sebelum usia 15 tahun. Jumlah total pengantin anak-anak adalah 765 juta. Anak perempuan tetap terpengaruh secara tidak [[Kesebandingan (matematika)|proporsional]], dengan 1 dari 5 wanita muda berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun, dibandingkan dengan 1 dari 30 pria muda.<ref>{{Cite web|title=115 million boys and men around the world married as children - UNICEF|url=https://www.unicef.org/press-releases/115-million-boys-and-men-around-world-married-children-unicef|website=www.unicef.org|language=en|access-date=2023-03-25}}</ref>
=== Dampak psikiatri ===
Secara [[Psikologi|psikologis]], perkawinan anak yang belum memasuki usia 18 tahun akan menimbulkan [[Stres psikologis|stres]] hingga [[gangguan mental]] yang mencapai 41% seperti [[Depresi (psikologi)|depresi]], gangguan disosiatif, [[kecemasan]], [[kecanduan]], [[Trauma psikologis|trauma]] psikologis bahkan yang lebih berat. Anak akan menjadi lebih [[pendiam]], menarik diri dari pergaulan atau mudah melampiaskan kemarahan karena sulit mengendalikan [[emosi]]. Selain itu, anak akan berperilaku seksual menyimpang dan [[perselingkuhan]] karena kontrol diri masih lemah.<ref name=":3" />
Pernikahan pada usia anak jelas lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya [[Hak asasi manusia|hak]] dasar anak seperti hak atas [[Perlindungan anak|perlindungan]] dari [[Kekerasan terhadap anak|kekerasan]] dan [[diskriminasi]], hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.<ref name=":3" />
Batas usia pernikahan yang diizinkan oleh [[Undang-Undang]] adalah 19 tahun, usia ini umumnya telah menginjak usia [[dewasa muda]], karena batasan usia anak adalah 0-18 tahun. Pada usia 19 tahun, telah terbentuk kematangan fisik dan [[kepribadian]] seseorang. Meskipun pada usia tersebut, tidak selalu terjadi kesesuaian perkembangan dan kematangan fisik dan mental seseorang. Namun secara umum tingkat kedewasaan dan kematangan mental sudah stabil.<ref name=":3" />
=== Dampak pendidikan ===
Perkawinan anak juga melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan, mengembangkan potensi mereka, dan memperluas kemungkinan anak untuk mengakhiri pendidikannya terutama untuk anak perempuan. Anak perempuan yang berpendidikan rendah dan ''drop out'' akan lebih besar kemungkinannya untuk dinikahkan dari pada mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi terlebih anak laki-laki. Pernikahan anak juga akan membatasi tingkat partisipasi anak unuk mendapatkan pendidikan. Menurut data BPS tahun 2015-2017, sekitar 80% anak-anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hanya menamatkan pendidikan dasar setara SD dan SMP. Maka akan banyak calon ibu yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk dapat mengasuh anak-anak mereka dengan baik.<ref>BPS. 2017. Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 (edisi revisi). download.php (bps.go.id)</ref>
Menurut penelitian, lembaga pendidikan di [[Indonesia]] belum memfasilitasi [[hak anak]] yang menikah muda, baik karena paksaan orang tua maupun akibat pergaulan berisiko. [[Sekolah]] menolak menerima mereka kembali untuk melanjutkan pendidikannya. Sebab jika diberi ruang untuk melanjutkan sekolah, akan memberi dampak buruk terhadap siswa lain. Tidak jarang juga anak yang sudah menikah akan mendapatkan [[Perundungan|bullying]] dari teman-temannya, khususnya pernikahan yang disebabkan kecelakaan. Maka pilihannya, terpaksa harus putus sekolah. Ketika terjadi putus sekolah maka akan semakin banyak generasi muda yang tidak berpendidikan, dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan [[Keluarga|keluarganya]] dan juga [[bangsa]].<ref name=":3" />
=== Dampak ekonomi ===
Siklus kemiskinan baru akan muncul pada anak yang menikah usia 15–16 tahun karena belum mapan dan tidak memiliki pekerjaan yang layak. Kerap terjadinya perkawinan anak karena desakan keluarga yang berada dalam jerat [[kemiskinan]]. Perkawinan juga dipandang sebagai solusi mengurangi beban keluarga bagi anak wanita.<ref>BPS. 2017. Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 Edisi Revisi. download.php (bps.go.id)</ref> Namun jika dilihat kembali, tidak sedikit anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga, khususnya orang tua dari pihak laki-laki. Kondisi ini akan berlangsung secara repetitif turun temurun dari satu [[Generasi Z|generasi]] ke generasi selanjutnya sehingga kemiskinan struktural akan terbentuk. Selain itu, seseorang yang menikah pada usia sangat muda, cenderung memiliki anak yang lebih banyak. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan keterbatasan [[keterampilan]], mereka pun tidak dapat bersaing untuk mendapat [[pekerjaan]] yang lebih layak.<ref name=":3" />
=== Dampak sosial ===
perkawinan anak juga berdampak pada potensi [[perceraian]] dan [[perselingkuhan]] di kalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran, bahkan terhadap masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ([[Kekerasan dalam rumah tangga|KDRT]]), baik secara [[fisik]] maupun [[psikis]]. Selain itu, perkawinan anak yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan juga merupakan masalah tersendiri. Mereka harus diasingkan dari lingkungannya, lalu dinikahkan, dan akhirnya terpaksa melahirkan. Dalam hal ini, mereka menjadi kurang diterima dan di [[diskriminasi]], baik oleh [[keluarga]] sendiri maupun [[lingkungan sosial]]<nowiki/>nya.<ref name=":3" />
== Referensi ==
Baris 17 ⟶ 45:
* [http://ngm.nationalgeographic.com/2011/06/child-brides/gorney-text National Geographic - Child Brides] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120820031848/http://ngm.nationalgeographic.com/2011/06/child-brides/gorney-text |date=2012-08-20 }} (June 2011)
* [http://childmarriage.trust.org Thomson Reuters Foundation - In Focus: Child Marriage]{{Pranala mati|date=Maret 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} (August 2011)
* Kampanye melawan
{{masyarakat-stub}}
|