Stigma sosial terkait Covid-19: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membuat halaman baru Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi |
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Referensi sebelum tanda baca) |
||
(13 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Multiple issues|{{Rapikan|date=April 2023}}{{orphan|date=April 2023}}{{refimprove|date=April 2023}}}}
'''[[Stigma sosial]] terkait Covid-19''' merupakan asosiasi negatif terhadap seseorang atau kelompok yang mengalami gejala maupun menderita penyakit ini. Corona virus disease 2019 ([[Penyakit koronavirus 2019|Covid-19]]) pertama kali dideteksi pada akhir
Para pasien terkadang mendapatkan label, [[stereotipe]], [[diskriminasi]], bahkan sampai diperlakukan secara terpisah dan kehilangan status sosial karena memiliki hubungan, baik secara langsung maupun tidak dengan penderita.<ref>{{Cite web|title=Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak|url=https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/mental-health-considerations.pdf|website=World Health Organization|access-date=8 April 2023}}</ref> Tidak jarang stigma sosial menjadikan individu tersebut sebagai sasaran rasisme, kebencian, [[xenofobia]], sampai serangan fisik.<ref>{{Cite web|title=Stigma Sosial terkait dengan COVID-19|url=https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/panduan-untuk-mencegah-dan-mengatasi-stigma-sosial.pdf?sfvrsn=4f8bc734_2#:~:text=Tingkat%20stigma%20terkait%20COVID%2D19,dikaitkan%20dengan%20'orang%20lain'.|website=World Health Organization|access-date=8 April 2023}}</ref> Bahkan, tindakan ekstrem para pelaku stigma sosial juga menolak penggunaan masker dan penentangan secara terbuka untuk tidak menaati protokol pencegahan [[Penyakit koronavirus 2019|Covid-19]]. Kelompok yang paling rentan menjadi korban dari stigma sosial ialah orang-orang [[Asia]], khususnya mereka yang memiliki keturunan atau berpenampilan [[Asia Timur]] dan [[Asia Tenggara]].<ref>{{Cite journal|last=DAI|first=Nilam Fitriani|date=2020|title=Stigma masyarakat terhadap pandemi covid-19|url=https://www.ojs.literacyinstitute.org/index.php/prosiding-covid19/article/download/47/32|journal=Prosiding Nasional Covid-19|pages=66-73}}</ref>
== Sebab dan akibat dari stigma sosial ==
Ada banyak penyebab yang akhirnya memunculkan berbagai stigma sosial di tengah kalangan masyarakat. ''
Dari ketiga penyebab tersebut, kohesi sosial mengalami kerusakan dan memungkinkan terjadinya kepanikan massal baik dari pihak terdampak maupun yang belum. Terlebih, jika satu sama lain saling mencari bantuan atau layanan medis untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Kesempatan ini juga turut berkontribusi pada situasi di mana [[virus]] lebih mungkin menyebar dan menyebabkan masalah kesehatan yang parah serta kesulitan dalam mengendalikan wabah penyakit.
Baris 24:
== Langkah mengatasi stigma sosial ==
Langkah awal dari diri sendiri yang sebaiknya dilakukan untuk menunjang keberhasilan penanganan Covid-19 adalah dengan membangun kepercayaan pada sarana dan layanan kesehatan yang ada. Selain itu, mengganti rasa antipati dengan empati terhadap para pasien terdampak dan memahami serta mengadopsi langkah-langkah yang tepat dalam penanganan pertama jika mengalami gejala Covid-19. Dengan begitu, diharapkan dapat meminimalisir penyebaran Covid-19. Selain cara-cara tersebut, organisasi [[Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF)]] juga merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi stigma sosial
=== '''Penggunaan bahasa orang pertama''' ===
Penggunaan bahasa orang pertama atau ''people-first language'' ialah [[gaya komunikasi]] yang menekankan penggunaan subjek dari pada objek. Alih-alih membicarakan "apa" yang terjadi, penggunaan bahasa orang pertama mendahulukan "siapa" yang terlibat.<ref>{{Cite web|title=Weight Bias: People-First Language|url=https://www.obesityaction.org/action-through-advocacy/weight-bias/people-first-language/|website=Obesity Action|access-date=Diakses pada 9 April 2023}}</ref> Tujuan dari penggunaan bahasa ini adalah untuk menghormati individu terdampak sekaligus berbicara mengenai penyakit dengan nada positif, baik dalam komunikasi keseharian maupun media masif. Contoh penggunaan yang baik misalnya, menggunakan frasa "orang yang terinfeksi Covid-19" dan bukan "kasus Covid-19" atau "korban Covid-19".
Contoh lainnya adalah dengan menggunakan terminologi positif dan menghindari terminologi yang tidak manusiawi, seperti mengganti frasa "menginfeksi orang lain" atau "menyebarkan virus" menjadi "orang yang memperoleh" atau "orang yang tertular" karena hal tersebut berpotensi menyiratkan stigma.
# Tidak melampirkan nama etnis atau nama lokasi setelah kata penyakit, seperti 'virus Cina', 'virus Wuhan' atau 'virus Asia' dan menggunakan nama resmi Covid-19 atau dalam konteks sehari-hari [[Koronavirus]] atau [[Corona|Korona]].▼
▲
* Menyebarkan fakta yang akurat dan terbaru, seperti:▼
Di tengah kepanikan masyarakat akan pandemi Covid-19, banyak informasi yang berujung memunculkan stigma sosial. Untuk itu, sudah sepatutnya komunikasi atau informasi yang diberikan sesuai dengan fakta yang akurat dan berdasarkan data ilmiah. Akses informasi dari sumber-sumber terpercaya dan resmi untuk menghindari hoaks dan rumor yang belum dikonfirmasi kebenarannya. Selain itu, hindari penggunaan istilah berlebihan seperti 'wabah' dan 'kiamat' untuk menunjukkan pandemi.
Dalam menyebarkan fakta akurat, gunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh orang awam dan hindari menggunakan terminologi klinis yang rumit. keterlibatan tokoh penting, seperti pemimpin agama, politikus, dan selebritas juga dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk mendengarkan informasi yang akurat. Informasi akan lebih dipercaya oleh masyarakat dengan melibatkan cerita dari penyintas Covid-19 dari lingkungan terdekat.
* Perhatikan juga tips dalam berkomunikasi:▼
Peran wartawan dalam hal ini juga memiliki bobot penting. Dengan menjalankan [[kode etik jurnalistik]], informasi yang disampaikan sudah sepatutnya menjadi informasi yang terpercaya, akurat, dan bertanggung jawab. Salah satu asas yang patut dipertimbangkan dalam kode etik jurnalistik ialah asas moralitas. Jadi, sudah sepatutnya wartawan menghindari laporan yang menitikberatkan tanggung jawab pasien baik sebagai orang yang tertular maupun orang yang tidak sengaja menularkan karena berita yang tersajikan dengan laporan tersebut sangat berpotensi meningkatkan stigma bagi orang-orang yang mungkin menderita penyakit ini.
Menurut [[Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA)]], bidan memainkan peran penting dalam mengurangi dan melawan stigma yang menyebar mengenai fasilitas kesehatan harus dihindari<ref>{{Cite web|title=COVID-19 Technical Brief for Maternity Services|url=https://www.unfpa.org/resources/covid-19-technical-brief-maternity-services|website=United Nations Population Fund|access-date=8 April 2023}}</ref>. [9]▼
Keluwesan dan kesesuaian dalam berkomunikasi sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dan terjadinya disinformasi. Luruskan suatu kesalahpahaman dengan menyampaikan maksud dengan jelas dan netral tanpa keberpihakan. Selain itu, ceritakan narasi simpatik yang memanusiakan perjuangan kelompok dan pihak yang terdampak Covid-19. Komunikasikan dukungan bagi mereka yang bekerja di garis terdepan.
▲
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Stigma sosial]]
[[Kategori:Covid-19]]
[[Kategori:Diskriminasi]]
[[Kategori:Komunikasi]]
|