Tradisi malam satu suro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alexdaiva86 (bicara | kontrib)
Macam-Macam Perayaan Tradisi Malam Satu Suro/Sura
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Referensi sebelum tanda baca)
 
(11 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Tradisi Malam Satu Suro/Sura''' adalah salah satu dari tradisi di bulan keramat berdasarkan kepercayaan masyarakat Pulau Jawa.<ref name=":1">MULYANI, M. (2023). ''TRADISI MALAM SATU SURO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT (Studi di Desa Kubuliku Jaya Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten Lampung Barat)'' (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG).</ref> Tradisi ini menjadi sebuah hal yang bersifat turun temurun darisejak dahulu kala yang kemudian terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memiliki berbagai macam ritual yang berbeda di setiap tempat. Tujuan dari pelaksanaan ritual atau upacara ini adalah untuk meminta keselamatan serta ilham dari Yang Maha Kuasa agar tidak melakukan hal-hal buruk selama berlangsungnya bulan keramat tersebut sebagaimana Masyarakat Jawa merasa bahwa bulan tersebut merupakan waktu yang suci untuk memperbaiki diri tentang berbagai hal yakni tentang ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, evaluasi atas segala dosa sepanjang satu tahun yang sudah terlewati.
 
== Latar Belakang dan Sejarah ==
'''Tradisi Malam Satu Suro''' selalu dilaksanakan tepat pada tanggal satu ''Muharram'' atau tahun baru Islam (sebutan Arab) ada pula sebutan lainnya yakni satu Suro atau tahun baru Jawa (sebutan Jawa). Jauh sebelum zaman berkembang, pola pengkalenderan ini tidak sama dengan kalender Masehi pada umumnya. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnyadi dalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.<ref name=":0">Triastanti, D., & Objantoro, E. (2021). Memanfaatkan Tradisi Malam Satu Suro Untuk Mengomunikasikan Injil. ''Jurnal Teologi Praktika'', ''2''(1), 56-66.</ref> Tradisi ini hanya diketahui oleh Masyarakat Jawa semata, sebab dalam bertumbuhnya tradisi ini, merekalah yang membangun arti, makna, serta simbol-simbol yang berlaku sehingga hal tersebutlah yang menjadikan Tradisi Malam Satu Suro merupakan upacara adat yang menjadi budaya turun temurun Masyarakat Jawa.
 
Tradisi ini bermula dari penggabungan antara [[Kalender Saka]] dengan [[Kalender Hijriah]] menjadi [[Kalender Jawa]] oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M.<ref name=":0" /> Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, kata Suro berasal dari bahasa arab yakni ‘asyura' yang berarti kesepuluh (tanggal 10 Muharram). Dalam kepercayaan agama Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan suci yang dianggap sakral oleh mayoritas masyarakat beragama Islam khususnya di pulau Jawa. Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Kata ''asyura'' dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi “''Suro''” yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam [[kalender Jawa]].<ref>Aryanti, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Satu Suro Di Tanah Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam. ''AL IMAN: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan'', ''4''(2), 342-361.</ref> Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “''Suro''” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “''kekeramatan''” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “''kesangaran''” bulan Suro itu sendiri.
Baris 12:
 
== Makna dan Simbolisme ==
Tradisi Malam Satu Suro adalah perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur,<ref>Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. ''Gondang: Jurnal Seni Dan Budaya'', ''2''(1), 28-35.</ref>, pada tanggal 1 Muharram menurut penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan kebudayaan yang penting serta mengandung makna dan simbolisme yang kaya.
 
Malam Satu Suro memiliki makna sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa dan dianggap sebagai malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya bahwa pada malam ini, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.
Tradisi Malam Satu Suro adalah perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur<ref>Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. ''Gondang: Jurnal Seni Dan Budaya'', ''2''(1), 28-35.</ref>, pada tanggal 1 Muharram menurut penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan kebudayaan yang penting serta mengandung makna dan simbolisme yang kaya.
Malam Satu Suro memiliki makna sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa dan dianggap sebagai malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya bahwa pada malam ini, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.
Simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro juga sangat kentara.
 
Selain itu,tradisi perayaan budaya malam satu Suro juga bermakna sebagai sarana untuk memperkuat hubungan silaturahmi, lalu ucapan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, yang melimpahkan rahmat, karunia dan rezeki kepada semua umat juga saling menghormati satu sama lain, serta mengingat dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Berikut ini adalah beberapa simbol yang sering dikaitkan dengan tradisi ini:
 
Bagi masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut, shalawatan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan. Shalawat mampu memberikan kedamaian dan ketenangan dalam kehidupan mereka. Dari perayaan tahlilan inilah muncul berbagai simbol-simbol tradisional malam Suro lainnya, seperti Jenang Suran (Panggul), Dupa, dan Tawasul.
1.Air Suro
 
1. Jenang Suran (Panggul)
Air Suro dipercaya memiliki kekuatan magis dan mampu membersihkan diri dari dosa-dosa. Masyarakat Jawa mengambil Air Suro dari mata air yang dianggap keramat pada malam 1 Muharram. Air ini kemudian digunakan untuk mandi dan minum sebagai bentuk penyucian diri.
 
Jenang Suran, dalam perayaan tahlilan malam satu Suro, melambangkan bahwa setiap individu harus memikul beban hidupnya sendiri. Tidak ada manusia yang terbebas dari tanggung jawab hidup. Artinya, seseorang yang hidup harus siap menerima segala risiko.
2. Sesaji
 
2. Dupa
Sesaji merupakan persembahan berupa makanan, bunga, dan dupa yang disiapkan sebagai penghormatan kepada roh-roh nenek moyang.
Sesaji biasanya ditempatkan di tempat-tempat suci atau di depan altar keluarga. Simbolisme Sesaji adalah ekspresi rasa syukur, penghormatan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam spiritual.
 
Tradisi dupa telah ada sejak zaman nenek moyang dan merupakan salah satu tradisi yang umum dilakukan oleh umat Hindu. Dalam memperingati satu Suro, tradisi ini dimulai dengan menyalakan dupa.
3. Kendi Mlathi
 
Para abdi dalem menyalakan dupa dengan tujuan agar leluhur yang mereka ziarahi merasa senang. Ketika mengunjungi makam seseorang, upaya diberikan untuk membawa sesuatu yang bisa memberikan kesenangan bagi leluhur tersebut. Selain itu, karena leluhur raja terdahulu menyukai dupa, maka dalam tradisi ini dupa juga dilibatkan.<ref>al Zahrah, F. (2020). Pemaknaan Simbol-Simbol Dalam Tahlilan Pada Tradisi Satu Suro Di Makam Raja-Raja Mataram Kotagede-Yogyakarta. ''Al-Tadabbur'', ''6''(2), 265-277.</ref>
Kendi Mlathi adalah wadah berisi air yang diletakkan di depan rumah pada malam Satu Suro. Kendi ini diyakini dapat menyerap energi positif dan menolak energi negatif. Simbolisme Kendi Mlathi adalah perlindungan dari kejahatan dan membawa keberuntungan bagi penghuni rumah.
 
3. Tawasul
4.Sesembahan Tuyul
 
Meskipun perayaan ini berfokus pada peringatan tahun baru Islam atau Muharram, sebelum memulainya, tawasul dilakukan terlebih dahulu kepada para leluhur. Tawasul bertujuan untuk menghormati jasa-jasa mereka yang berperan dalam penyebaran agama Islam.
Di beberapa daerah, terdapat tradisi melepas tuyul pada malam Satu Suro. Tuyul adalah makhluk halus yang dipercaya dapat membantu mencari harta dan kekayaan. Melepas tuyul memiliki simbolisme sebagai usaha untuk mendapatkan keberuntungan dan rejeki yang melimpah.
 
Selain simbol-simbol di atas, terdapat pula simbolisme dalam bentuk tarian, musik, dan berbagai ritual yang dilakukan dalam tradisi ini. Simbol-simbol tersebut memberikan identitas budaya dan spiritualitas yang dalam bagi masyarakat Jawa, serta mencerminkan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
 
Penting untuk diingat bahwa makna dan simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro dapat bervariasi tergantung pada interpretasi dan keyakinan masyarakat yang melaksanakannya. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menghormati leluhur, berdoa untuk berkah dan perlindungan, serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dan moral
 
== Macam-Macam Perayaan Tradisi Malam Satu Suro/Sura ==