Diponegoro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ariandi Lie (bicara | kontrib) k Mengembalikan suntingan oleh Kikakikuk (bicara) ke revisi terakhir oleh Ariandi Lie Tag: Pengembalian |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(59 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox royalty
| embed
| name
| image
| image_size
| caption
| title
| titletext
| more
| type
| regent =
| reg-type
| birth_name
| birth_date
| birth_place
| death_date
| death_place
| burial_place
| spouse
| spouse-type
| consort
| issue
| issue-link
| issue-pipe
| issue-type
| full name
| era name
| era dates
| regnal name =
| posthumous name =
| temple name
| house
| father
| mother
| religion
| occupation
| signature_type = Tanda tangan
| signature
| module =
| known_for = * [[Pahlawan Nasional Indonesia]]
* [[Perang Jawa|Panglima perang Jawa]]
}}
}}
'''
Sejarah mencatat
Perang Jawa berakhir setelah para pemimpinnya menyerahkan diri atau ditangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang ketika melakukan silaturahmi Idul Fitri atas perintah Jenderal De Kock. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhir hayatnya.
Diponegoro lahir di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (''garwa ampeyan''), bernama [[R.A. Mangkarawati]], dari [[Pacitan]] dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|title=Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20|archive-date=2022-08-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20220827135752/https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|dead-url=yes}}</ref> Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.<ref>{{Cite news|url=https://tirto.id/intrik-keraton-dan-misteri-kematian-sultan-hamengkubuwana-iv-cAS4|title=Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2017-12-06}}</ref> Nama Islamnya adalah Abdul Hamid.<ref name=":5" /> Setelah ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.▼
== Kehidupan awal ==
▲Diponegoro lahir di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (''garwa ampeyan''), bernama [[R.A. Mangkarawati]], dari [[Pacitan]] dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|title=Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20|archive-date=2022-08-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20220827135752/https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|dead-url=yes}}</ref> Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.<ref name=":0" /> Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di [[Tegalrejo, Yogyakarta|Tegalrejo]], berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan [[Hamengkubuwana I]], daripada tinggal di [[keraton]] sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam [[Babad Diponegoro]] di jelaskan kalau semasa kecil Diponegoro di ajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di tegal rejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.<ref name=":9">{{Cite web|last=|first=|date=2017-12-23|title=Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa|url=https://tagar.id/pangeran-diponegoro-komandan-perang-jawa|website=Tagar.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Dipnegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=162|url-status=live}}</ref>
== Nama dan gelar kepangeranan ==
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama asli Raden Mas Muntahar. Ia menerima nama dewasa dan gelar Bendara Raden Mas Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.{{Sfn|Carey|2017|p=18}} Pada usia itu pula Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim yang diambil dari bahasa Arab Shaykh 'Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri.{{Sfn|Carey|2017|p=56}}
Setelah ayahnya naik takhta sebagai Hamengkubuwana III, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara pada Juli 1812. Gelar Pangeran Dipanegara atau Diponegoro ini sebenarnya gelar yang lumrah diberikan kepada pangeran Jawa. Setidaknya salah seorang putra [[Pakubuwana I]] yang memberontak pada masa Perang Suksesi Jawa Kedua dan suami kedua dari putri [[Hamengkubuwana I]] yang meninggal pada 1787 pernah menyandang gelar tersebut. Gelar ini juga disandang adik [[Pakubuwana IV]] yang meninggal pada 1811. Mengingat hanya satu pangeran yang boleh menyandang gelar tertentu pada satu waktu dan gelar tersebut sudah lama tidak dipakai di Kraton Yogya sejak 1787, maka HB III menganugerahkan gelar itu pada anak tertuanya sekaligus putra kesayangannya. Diponegoro sendiri pada akhirnya mewariskan gelar tersebut ke anak sulungnya, Diponegoro II, sewaktu perjalanan ke pengasingan. Diponegoro memberikan analisis terkait makna namanya tersebut kepada pengawalnya di pengasingan, Julius Knoerle.{{Sfn|Carey|2017|p=186-187}}{{Sfn|Carey|2008|p=369-370}}
{{Cquote|quotetext="'Dipo' [dari bahasa Sankrit 'dipa'] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan [...] 'negoro' berarti suatu daerah [...] maka 'Diponegoro' berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)" (Knoerle, 'Journal', 10).|author=Carey 2017:187}}
Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit.<ref name=":5" /> Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} Gelarnya selama Perang Jawa adalah ''Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa'' yang berarti Sultan Abdul Hamid (Ngabdulkamit), Ratu Adil (''Erucokro''), Pemimpin Agama (''Sayyidin''), Penata Agama ''Panatagama'') dan Khalifah Rasulullah (''Kalifatu Rosulillah'') di tanah Jawa (''ing Tanah Jawa'').{{Sfn|Carey|2017|p=286}}
Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai "Pangeran Ngabdulkamit". Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai 'fakir' Ngabdulkamit. Pemilihan nama Ngabdulkamit ini mungkin berhubungan dengan [[Abdul Hamid I]], Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai [[Khalifah|'khalifah']] atau pemimpin umat Islam di seluruh dunia.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} Setelah Perang Diponegoro, di mana banyak keluarga dan kerabat Diponegoro yang dicap sebagai pemberontak dan diasingkan oleh pemerintah Belanda, gelar kepangeranan Diponegoro dilarang diberikan kepada seluruh anggota keluarga keraton-keraton Jawa tengah bagian selatan.{{Sfn|Carey|2014|p=413}}{{Sfn|Carey|2008|p=747}}
== Kehidupan pribadi ==
Baris 63 ⟶ 73:
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":8" /> Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.<ref name=":8" />
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo.
Pangeran kembali menikah
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda, meski lebih banyak menghabiskan hidup di pengasingan. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.<ref name=":1" />▼
Pangeran Diponegoro memiliki kemampuan berbahasa Jawa meski ia tak pandai menulis aksara Jawa{{Sfn|Carey|2008|p=109}}, sedikit [[bahasa Melayu]], dan sedikit [[bahasa Belanda]]. Namun, sebisa mungkin ia menghindari berbicara dalam bahasa Melayu, yang menurutnya seperti ''<nowiki/>'basa pitik''' (bahasa ayam) sehingga tak ada satupun pemimpin Jawa yang ingin mendengarnya.{{Sfn|Carey|2008|p=109}} Dengan kata lain ia memandang rendah status bahasa Melayu yang saat itu digunakan untuk perdagangan dan komunikasi (''[[Basantara|lingua franca]]'') antara orang pribumi dan orang Eropa.
== Kehidupan sebagai pangeran ==
Meski menjalani sebagian hidupnya di Tegalrejo, Diponegoro tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta. Ia tetap menghadiri Grebeg Maulud dan Grebed Puasa, dua upacara besar dalam tradisi Islam-Jawa.
Ia dikenal sebagai salah satu penasihat pribadi ayahnya selama ayahnya menjadi Putra Mahkota hingga diangkat sebagai Sultan HB III. HB III mendiskusikan banyak urusan dengan Diponegoro. Salah satunya saat mereka memutuskan mengangkat Danurejo IV untuk menggantikan Danurejo III yang sudah lanjut usia.{{Sfn|Carey|2017|p=196}} Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah dan Residen Inggris yang bernama [[John Crawfurd]] untuk menjadi sultan bahkan sampai dua kali. Padahal, sebagai anak laki-laki tertua ayahnya dan pangeran yang kompeten, Diponegoro layak menduduki posisi sultan. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang hanya ''garwa ampeyan'' (selir), bukan [[permaisuri]], membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu, dia juga tidak mau menjadi sultan karena melihat posisi ayahnya sebagai sultan tetapi kurang independen karena mendapatkan tekanan di sana-sini dari Inggris dan Belanda yang memengaruhi banyak kebijakan keraton.<ref name=":9" />
Saat HB III wafat, adik laki-laki Diponegoro yang masih berusia 10 tahun diangkat sebagai [[Hamengkubuwana IV]]. Diponegoro sangat memperhatikan dan mengawasi pendidikan sultan muda itu. Ia sering datang dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan ''<nowiki/>'Fatih al-Muluk''' (Kemenangan Raja-Raja). Diponegoro juga merekomendasi banyak teks bacaan{{Sfn|Carey|2017|p=204-205}} untuk adiknya. Meski demikian, HB IV bukanlah seseorang yang rajin belajar. Ia lebih suka kesenian dan berkuda ketimbang literatur Jawa.
=== Perwalian Hamengkubuwana V ===
▲Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan [[Sentot Prawirodirdjo|Sentot Prawiradirdja]], tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.<ref name=":17"/><ref>{{Cite web|url=https://daerah.sindonews.com/read/1103524/29/kisah-pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-di-sekelilingnya-1461424872|title=Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya|website=SINDOnews.com|language=id-ID|access-date=2020-03-22}}</ref>
Setelah Hamengkubuwana IV meninggal mendadak pada Desember 1822, ibunda HB IV, Ratu Ageng, dan janda HB IV, Ratu Kencono memohon Pejabat Residen Belanda, De Salis, untuk segera mengukuhkan Putra Mahkota yang baru berusia dua tahun untuk naik takhta sebagai [[Hamengkubuwana V]] sekaligus meminta Paku Alam I tidak lagi menjadi wali raja.
Setelah mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]], De Salis merekomendasikan dewan perwalian yang berisi empat orang, yakni Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertanggungjawab untuk mengasuh sultan. Sementara dua pangeran ditunjuk untuk pengelolaan keraton hingga sultan cukup umur. Dua pangeran wali juga menerima pembayaran pajak pasar dan pajak gerbang cukai senilai 100 ribu dolar Spanyol setiap tahunnya secara langsung tanpa melalui Patih [[Danurejo IV (III)|Danurejo IV]]. Patih hanya diperbolehkan mengendalikan pemerintahan jika kedua pangeran itu lalai dalam tugasnya.{{Sfn|Carey|2017|p=256}}
▲Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk [[Jawa]], [[Madura]], [[Sulawesi]], [[Maluku]], [[Australia]], [[Serbia]], [[Jerman]], [[Belanda]], dan [[Arab Saudi]].<ref>{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/2493678/pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-cantik|title=Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik|last=|first=|date=2016-04-27|website=Liputan6.com|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
Tak lama setelah HB V diangkat, terjadi penghapusan sewa tanah oleh orang Eropa sehingga keraton sebagai pemilik tanah harus memberikan ganti rugi kepada para penyewa. Diponegoro dan Mangkubumi yang mengemban tugas mengelola keuangan keraton bertindak atas nama sultan untuk bernegosiasi terkait skema ganti rugi. Residen Nahuys meminta kompensasi yang sangat tinggi yang ditolak oleh kedua pangeran itu sehingga akhirnya menawarkan harga 26 ribu dolar Spanyol. Ratu Ageng memerintahkan Danurejo IV untuk menerima tawaran itu tanpa persetujuan Diponegoro dan Mangkubumi. Kompensasi yang sangat besar itu berimbas pada keuangan keraton yang menipis hingga keraton perlu meminjam uang ke Kapitan Cina dan Diponegoro dipaksa menyetujuinya. Dalam banyak urusan keraton, termasuk urusan keuangan, Ratu Ageng dan Danurejo IV cenderung mengikuti permintaan Belanda karena takut terjadi apa-apa pada HB V yang masih anak-anak. Sementara Diponegoro dipaksa memberi cap persetujuan saja dan semua hal penting diputuskan tanpa kehadirannya.{{Sfn|Carey|2017|p=267-271}} Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.<ref name=":9" /> Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.{{Sfn|Carey|2017|p=270-271}}
▲Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.<ref name=":1" />
== Perang Diponegoro (1825–1830) ==
Baris 81 ⟶ 107:
=== Sumpah Ati Rata ===
Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan [[Pakubuwana VI]] (PB VI)/ [[Pakubuwana VI|R.M.
==== Dukungan Sunan Pakubuwana VI ====
{{Main article|Pakubuwana VI}}
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga didukung oleh [[Pakubuwana VI|Sunan Pakubuwana VI]] (PB VI) dan Sunan Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di [[Gua Raja, Selo|Gua Raja]] di lereng atas [[Gunung Merbabu]] yang masuk wilayah [[Selo, Boyolali|Sela]] (Sesela, nama kuno wilayah ini yang muncul di kumpulan Naskah Merapi-Merbabu, salah satunya Gita Sinangsaya<ref>{{Cite journal|last=Kriswanto|first=Agung|title=Gita Sinangsaya|url=https://www.academia.edu/12430330/Gita_Sinangsaya}}</ref>) dan di [[Alas Krendhawahana]]. Pertemuan-pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.
==== Tumenggung Prawiradigdaya ====
{{Main article|Prawiradigdaya}}
[[Tumenggung Prawiradigdaya]], dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu [[Ngabehi Prawirasakti]] (Adimenggala) dari [[Kadipaten Gagatan]] (saat ini masuk di wilayah [[Wonosegoro, Boyolali|Kecamatan Wonosegoro]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], [[Jawa Tengah]]), putra [[Raden Surataruna III]]. Ibunya, Raden Ayu Surataruna adalah putri [[Adipati Natakusuma]] (Pangeran Juru), patih kerajaan [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]] yang dibuang Belanda ke [[Sri Lanka|Ceylon]]. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni [[Ngabehi Prawirasakti]]. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta, menjadi murid [[Syekh Kaliko Jipang]] (Syeh Kholik dari Jipang, Penghulu Besar Kraton). Ngabehi Prawirasakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]]. Di pondok pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok pesantren Mlangi asuhan [[Kiyai Taptajani]]). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan bekalnya saat menjadi bupati pamajegan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di Gagatan bergelar [[Prawiradigdaya|R.T. Prawiradigdaya]].
=== Para panglima Diponegoro ===
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah [[Kiai Madja]], [[Pakubuwana VI]], dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.<ref name=":3" />
==== Kiai Maja ====
{{Main article|Kiai Madja}}
[[Kiai Madja|Kiyai Maja IV]] (Kiayi Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochamad Khalifah, merupakan buyut [[Kiyai Mojo I]]/ [[Kiayi Maja I|RT Citrosoma]] (1788-1820), cucu [[Kiayi Mojo II]], [[Kyai Baderan I|putra Kiayi Mojo III]].
Kiayi Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di [[Gua Selarong]]. Pengaruh dukungan Kiai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.<ref>{{Cite book|last=R.,|first=Carey, P. B.|last2=Bambang,|first2=Murtianto,|last3=Gramedia|first3=PT|url=https://www.worldcat.org/oclc/883389465|title=Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|location=Jakarta|isbn=9789797097998|oclc=883389465}}</ref> Menurut [[Peter Carey (sejarawan)|Peter Carey]] (2016) dalam ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.<ref name=":16">{{Cite web|last=Raditya|first=Iswara N.|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, [[Kabupaten Sleman|Sleman]], dekat Sungai [[Sungai Bedog|Bedog]], kemudian dibawa ke [[Kota Salatiga|Salatiga]]. Dalam penahanannya, Kiai Maja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Maja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name=":16" /> Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke [[Batavia]] dan diputuskan akan diasingkan ke [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Tondano]], [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=":16" /><ref name=":19" /> Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember [[1849]] di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak adanya kubu Kiai Maja dari pasukan Dipanegara.<ref name=":16" />[[Berkas:DiponegoroLeiden.jpg|jmpl|Diponegoro, c.1830.]]
Baris 116 ⟶ 142:
Untuk menangkap Sentot, Jenderal [[Hendrik Merkus de Kock|De Kock]] membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.<ref name=":12" />
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke [[Kota Salatiga|Salatiga]], [[Batavia]], hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke [[
==== Kerta Pengalasan ====
[[Kerto Pengalasan|Kerta Pengalasan]], lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.<ref name=":17"/> Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, [[Kabupaten Kulon Progo|Kulon Progo]]. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.<ref name=":02">{{Cite book|title=Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa|last=Carey|first=Peter|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|year=2017|isbn=978-602-424-680-8|location=|pages=}}</ref>
=== Para pendamping ===
Baris 184 ⟶ 209:
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.<ref name=":15" />
Sewaktu di Unggaran dalam perjalanannya ke Batavia menuju tempat pengasingan dengan dikawal oleh perwira Belanda, Pangeran Diponegoro berbicara cukup panjang dengan Kapten Roeps (dalam bahasa Jawa) tentang berbagai hal mengenai negosiasi yang baru terjadi dan mengatakan bahwa mendapat kesan kalau dalam negosiasi itu dia tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Jenderal De Kock, mereka akan mengizinkan dia kembali ke pegunungan (Banyumas) tanpa dihalang-halangi. Ini merujuk pada janji yang konon diberikan secara lisan kepada Pangeran Diponegoro dalam negosiasi damai awal di Remokamal (Banyumas) pada 16 Februari 1830 oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwira Belanda yang bertangung jawab atas negosiasi tersebut. Cleerens seakan berjanji kepada Pangeran Diponegoro bahwa Sang Pangeran akan diizinkan untuk kembali ke Pegunungan Banyumas seandainya negosiasi dengan Jenderal De Kock di Magelang tidak membuahkan hasil yang memuaskan baginya. Jaminan ini diabaikan oleh Jenderal De Kock ketika dia menahan Pangeran Diponegoro, tetapi Pangeran Diponegoro kemudian secara tidak langsung mengingatkan Cleerens melalui sepucuk surat yang dikirimkannya dari Makasar pada 14 Desember 1835.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=978-602-481-901-9|pages=51, 52|url-status=live}}</ref>
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan [[Kota Semarang|Semarang]], di [[Ungaran (kota)|Ungaran]], lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke [[Manado]] bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di [[Benteng Nieuw Amsterdam]]. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke [[Makassar]] hingga wafatnya di [[Benteng Rotterdam]] tanggal 8 Januari 1855.<ref name=":3" />▼
▲Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro
Pangeran Hendrik yang ayahnya kelak menjadi Raja Willem II (1840-49) menulis dalam buku hariannya saat bertemu dengan Pangeran Diponegoro saat dalam penggasingannya di Benteng Rotterdam, pada 7 Maret 1837. Didalamnya dia mengkritik cara pihak Belanda, khususnya Jenderal De Kock, memperlakukan Diponegoro karena memiliki dampak politik yang sangat buruk di daerah Hindia Belanda:<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=256-266|url-status=live}}</ref>
{{Cquote|Jika suatu hari kita menghadapi sebuah kondisi yang tidak diharapkan, yaitu terjadi sebuah perang lagi di Jawa, dimana salah satu diantara kita, entah pihak kita atau orang Jawa akan kalah, tentunya tidak akan ada lagi satu pun pemimpin mereka yang sudi bernegosiasi dengan kita. Saya yakin bahwa penyebab kampung Boonjol di Sumatra menolak untuk menyerah tidak lain disebabkan oleh apa yang diucapkan salah seorang pemimpin orang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol): "Jika saya bersedia datang untuk berunding dengan Belanda, saya yakin akan diperlakukan seperti Diponegoro." Namun, cukuplah tentang ini semua}}
==== Lukisan "Penangkapan Diponegoro" ====
Baris 264 ⟶ 294:
== Penghargaan sebagai Pahlawan ==
[[Berkas:Indonesia 1952 100 o.jpg|jmpl|200px|Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.]]
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, [[Stadion Diponegoro]]
Pada masa pemerintahan Presiden [[Soekarno]], pemerintah pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal [[8 Januari]] [[1955]], sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No 87/TK/1973.
Baris 275 ⟶ 304:
== Dalam budaya populer ==
Dalam film ''[[Pahlawan Goa Selarong]]'' (1972), Diponegoro diperankan oleh [[Ratno Timoer]]. Sementara dalam salah satu episode sinetron ''[[Lorong Waktu (seri televisi 1999)|Lorong Waktu]]'', Diponegoro diperankan oleh [[Andra PSP]] dan dipanggil sebagai "Om Dip" oleh [[Zidan (Lorong Waktu)|Zidan]].<ref name=OmDip>{{cite web |url=https://www.vidio.com/watch/1916942-lorong-waktu-1-episode-5 |title=Lorong Waktu Episode 5: Zidan Bertemu Pangeran Diponegoro |author=<!--Not stated--> |date= |website=[[Vidio.com]] |publisher=[[Demi Gisela Citra Sinema]] |access-date=7 April 2021 |quote= |archive-date=2021-10-15 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211015220216/https://www.vidio.com/watch/1916942-lorong-waktu-1-episode-5 |dead-url=no }}</ref>
Sosok Diponegoro juga dimunculkan dalam novel '' [[Sang Pangeran dan Janissary Terakhir]]'' (2019) karya Salim A. Fillah
=== Lukisan S. Sudjojono (1979) ===
Pelukis Modern tersohor Indonesia, [[Sindoedarsono Soedjojono|S. Sudjojono]] (1913-1985), pernah melukis kekalahan Belanda dalam pertempuran di desa [[Kejiwan, Wonosobo, Wonosobo|Kejiwan]] (antara [[Kalasan, Sleman|Kalasan]] dan [[Prambanan]]) pada 9 Agustus 1826 dalam sebuah gambar cat minyak yang mengedepankan figur Diponegoro berserban serta berbaju putih dan Mayor Sollewijn berberewok merah.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=167|url-status=live}}</ref> Gambar berjudul ''"Pasukan kita yang dipimpin Pangeran Diponegoro"'' (1979) dijual di Sotheby's [[Hongkong]] pada 6 April 2014 dengan harga yang cukup menghebohkan, yaitu 7,5 juta dolar AS, lukisan tersebut memecahkan rekor untuk karya pelukis Asia Tenggara,<ref>{{Cite web|date=2014-04-21|title=Saat Diponegoro Mengguncang Sotheby's|url=https://majalah.tempo.co/read/seni-rupa/145207/saat-diponegoro-mengguncang-sothebys|website=Tempo|language=en|access-date=2023-09-14}}</ref> dalam catatan katalognya, lukisan tersebut dibuat sebagai ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenang pahlawan yang telah gugur dan sebagai bentuk keprihatinannya kepada bangsa yang terjebak dalam pertarungan pengaruh asing dan cita-cita revolusioner di kala itu. Lukisan tersebut, dalam laman Sotheby's tertulis, berubah menjadi sebuah kritik sosial tentang kekuatan iman manusia di tengah tirani politik dan emosional dengan memberikan gambaran kesejajaran antara penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia.<ref>{{Cite web|title=Modern Contemporary Asian Art/Evening Sale/Lot 115|url=https://www.sothebys.com/en/auctions/ecatalogue/2014/modern-contemporary-asian-art-evening-sale-hk0528/lot.115.html|website=Sotheby's|access-date=14 September 2023}}</ref>
== Daftar pustaka ==
Baris 282 ⟶ 316:
* {{cite book|last=Sagimun|first=M.D.|title=Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional|location=Jakarta|publisher=Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=1976}}
* {{cite book|last=Yamin|first=M.|title=Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia|location=Jakarta|publisher=Pembangunan|date=1950}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter B.R|date=2008|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789067183031|title=The power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855|location=Leiden|publisher=KITLV Press|isbn=9789067183031|edition=2|ref=harv|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2017|title=Takdir: riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|location=Jakarta|publisher=Kompas Media Nusantara|isbn=9786232411821|editor-last=Mulyawan|editor-first=Karim|translator-last=Murdianto|translator-first=Th. Bambang|ref=harv|translator-last2=Laksono|translator-first2=P.M.|url-status=live}}
== Referensi ==
Baris 287 ⟶ 323:
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/08/metro/1071372.htm Sebelum Dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro Ditahan di Museum Sejarah], Kompas
{{Pahlawan Indonesia}}▼
▲{{Pahlawan Indonesia}}
{{Authority control}}
|