Bagindo Dahlan Abdullah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rang Djambak (bicara | kontrib)
Pranala luar: Bagian dari pemeliharaan Kategori:Tokoh Minangkabau
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(19 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox officeholder
|name = Bagindo Dahlan Abdullah
|image = Bagindo Dahlan Abdullah.jpg
|imagesize = 200px
|alt =
|caption =
|office = Duta Besar Indonesia untuk Irak
|order = ke-1
|term_start = 27 Maret 1950
Baris 27:
|death_date = {{Death date and age|1950|5|12|1895|6|15}}
|death_place = [[Baghdad]], [[Irak]]
|nationality = <!-- [[Indonesia]]Kolom ini hanya untuk warga negara asing -->
|other_names =
|alma_mater = [[Universitas Leiden]]
|occupation = [[Diplomat]]
|known_for = Pejuang kemerdekaan Indonesia
|religion = <!-- Kosongkan bagian ini; kolom terkait Suku, Agama dan Ras telah dinonaktifkan -->
<!--|religion = [[Islam]]-->
|spouse = {{ubl|Nafisah (cerai mati), |Siti Akmar}}
|children = <!-- Kolom ini diisi hanya jumlah anak; hanya nama anak yang secara independen sudah terkenal atau telah memiliki artikelnya di Wikipedia; bila ada rujukan/referensi, uraikan dan tulis pada artikel -->8
|children = Arsad (Ajo Tanjuang), Bagindo Jamaluddin Abdullah, Sidhawati Abdullah, Gandasari A. Win, Surniati Salim, Bagindo Taufik Anwar Abdullah, Bagindo Abdul Malik Abdullah, Fatmah Zahra Asmar
|parents = Abdullah (ayah) dan "Uniang" (ibu)
}}
[[Haji (gelar)|Haji]] '''Bagindo Dahlan Abdullah''' ({{lahirmati|Pasia, [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Hindia Belanda]]|15|6|1895|[[Baghdad]], [[Irak]]|12|5|1950}})<ref>{{cite article|last=Suryadi|first=Surya|authorlink=Surya Suryadi|date=21 Agustus 2014|url=https://scholarlypublications.universiteitleiden.nl/access/item%3A2885136/view|title=Nasionalisme Seorang Putra Pariaman: Mengenang Kepahlawanan H. Bagindo Dahlan Abdullah (1895-1950)|publisher=[[Universitas Leiden]]|place=[[Leiden]]|access-date=16 Juli 2021}}</ref> adalah seorang pejuang kemerdekaan dan [[diplomat]] [[Indonesia]] yang pernah menjabat sebagai [[Wakil Gubernur DKI Jakarta|Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta]] mendampingi [[Suwiryo|Raden Suwirjo]] di masa peralihan kekuasaan antara [[Masa Pendudukan Jepang|pendudukan Jepang]] dengan [[Pemerintah Indonesia]] dari 7 September 1945 hingga 23 September 1945.<ref name=":1">{{cite web|url=https://interaktif.kompas.id/baca/gubernur-jakarta/|title=Jakarta, 1945–kini|access-date=7 Januari 2022|website=Interaktif Kompas.id}}</ref> Dalam kiprahnya, ia pernah diutus negara untuk menjadi [[Duta Besar]] [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) untuk [[Irak]], [[Syria]], dan [[Jordania|Trans-Jordania]].<ref name="Goodreads">[https://www.goodreads.com/author_blog_posts/5781843-h-bgd-dahlan-abdullah-nasionalisme-seorang-putra-pariaman-bag-4 "H. Bgd. Dahlan Abdullah: Nasionalisme seorang Putra Pariaman"] ''[[Goodreads]]''. Diakses 10-6-2014.</ref>
 
[[Haji (gelar)|Haji]] '''Bagindo Dahlan Abdullah''' atau '''Baginda Dahlan Abdullah''' ({{lahirmati|Pasia, [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Hindia Belanda]]|15|6|1895|[[Baghdad]], [[Irak]]|12|5|1950}})<ref name=":0">Suryadi (2014). Hal 2</ref> adalah seorang pejuang kemerdekaan, [[diplomat]], dan tokoh pendidikan Indonesia. Dahlan menjadi ketua Perhimpunan Hindia tahun 1917 saat berusia 22 tahun, merupakan orang Indonesia pertama yang menggunakan kata istilah “Indonesia” dan “Kami Orang Indonesia” (''“Wij Indonesier”'') sebagai awal konsep Indonesia yang bermakna politis dan merujuk kepada suatu bangsa.<ref>{{Cite book|last=R.E. Elson|date=2009|title=The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan|location=Jakarta|publisher=Serambi Ilmu Semesta|isbn=978-979-024-105-3|pages=23|url-status=live}}</ref> Dahlan pertama kalinya mengucapkan kalimat ''“Wij Indonesier”'' itu dalam sebuah ceramah publik yang bernuansa politis dalam acara Indisch Studiecongres dalam rangka lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi (Indologenvereeniging) di Leiden pada 23 November 1917.
Ia diangkat sebagai duta besar untuk ketiga negara tersebut oleh [[Presiden Soekarno]] pada tahun 1950, dan resmi bertugas sebagai duta besar pada tanggal [[27 Maret]] 1950. Namun Bagindo menjabat duta besar dalam tempo yang amat singkat, kurang dari tiga bulan, karena ia meninggal dunia pada tanggal [[12 Mei]] 1950 akibat serangan jantung yang menimpanya.<ref name="Goodreads"/>
 
[[HajiPasca (gelar)|Haji]] '''Bagindo Dahlan Abdullah''' ({{lahirmati|Pasiakemerdekaan, [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Hindia Belanda]]|15|6|1895|[[Baghdad]], [[Irak]]|12|5|1950}})<ref>{{cite article|last=Suryadi|first=Surya|authorlink=Surya Suryadi|date=21 Agustus 2014|url=https://scholarlypublications.universiteitleiden.nl/access/item%3A2885136/view|title=Nasionalisme Seorang Putra Pariaman: Mengenang Kepahlawanan H. Bagindo Dahlan Abdullah (1895-1950)|publisher=[[Universitas Leiden]]|place=[[Leiden]]|access-date=16 Juli 2021}}</ref> adalah seorang pejuang kemerdekaan dan [[diplomat]] [[Indonesia]] yang pernah menjabat sebagai [[Wakil Gubernur DKI Jakarta|Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta]] mendampingi [[Suwiryo|Raden Suwirjo]] di masa peralihan kekuasaan antara [[Masa Pendudukan Jepang|pendudukan Jepang]] dengan [[Pemerintah Indonesia]] dari 7 September 1945 hingga 23 September 1945.<ref name=":1">{{cite web|url=https://interaktif.kompas.id/baca/gubernur-jakarta/|title=Jakarta, 1945–kini|access-date=7 Januari 2022|website=Interaktif Kompas.id}}</ref> Dalam kiprahnya, ia pernah diutus negara untuk menjadi [[Duta Besar]] [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) untuk [[Irak]], [[Syria]], dan [[Jordania|Trans-Jordania]].<ref name="Goodreads">[https://www.goodreads.com/author_blog_posts/5781843-h-bgd-dahlan-abdullah-nasionalisme-seorang-putra-pariaman-bag-4 "H. Bgd. Dahlan Abdullah: Nasionalisme seorang Putra Pariaman"] ''[[Goodreads]]''. Diakses 10-6-2014.</ref>
Sesuai saran dan nasihat [[Agus Salim|Haji Agus Salim]], jenazah Bagindo Dahlan Abdullah kemudian dimakamkan di [[Baghdad]], Irak, dengan upacara kebesaran di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani di kota tersebut. Saran dan nasihat Agus Salim itu bertujuan agar makam Bagindo akan dikenang lama dan menjadi simbol tali persahabatan antara Indonesia dan Irak.<ref name="Goodreads"/>
 
Ia diangkat sebagai duta besar untuk ketiga negara tersebut oleh [[Presiden Soekarno]] pada tahun 1950, dan resmi bertugas sebagai duta besar pada tanggal [[27 Maret]] 1950. Namun Bagindo Dahlan Abdullah menjabat duta besar dalam tempo yang amat singkat, kurang dari tiga bulan, karena ia meninggal dunia pada tanggal [[12 Mei]] 1950 akibat serangan jantung yang menimpanya.<ref name="Goodreads"/> Sesuai saran dan nasihat [[Agus Salim|Haji Agus Salim]], jenazah Bagindo Dahlan Abdullah kemudian dimakamkan di [[Baghdad]], Irak, dengan upacara kebesaran di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani di kota tersebut. Saran dan nasihat Agus Salim itu bertujuan agar makam Bagindo akan dikenang lama dan menjadi simbol tali persahabatan antara Indonesia dan Irak.<ref name="Goodreads" />
 
== Ditangkap Belanda ==
Dahlan Abdullah kembali ke Jakarta tahun 1922<ref>Suryadi (2014). Hal 12</ref>, dan aktif mengajar, terlibat dalam kegiatan politik serta mengorganisir berbagai bantuan kemanusiaan. Perjuangan Dahlan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia terus dijalankannya melalui Partai Indonesia Raya (Parindra). Di partai ini, Dahlan seangkatan dengan M. Husni Thamrin.
 
Ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda pada tahun 1942, Dahlan Abdullah bersama para pemimpin Indonesia lainnya seperti Soekarho, Hatta, Kiai H.M. Mansoer, Ki Hadjar Dewantara, memilih "pura-pura" bekerjasama dengan Jepang untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Tujuan akhirnya, sudah tentu, bukanlah untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendapatkan kemerdekaan untuk Indonesia. Pertemuan para pemimpin pergerakan Indonesia itu antara lain terlihat pada tanggal 7 Juli 1943 ketika Dahlan Abdullah bersama pemimpin pergerakan Indonesia ini bertemu dengan PM Jepang Hideki Tozko. Para pemimpin Indonesia tersebut selengkapnya adalah Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Kiai H.M. Mansoer, Ki Hadjar Dewantara, Soetardjo, Bagindo Dahlan Abdullah, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Prof. Mr. Soepomo dan Oey Tiang Tjoei sebagai wakil Tionghoa di Pulau Jawa. Indonesia kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945.<ref>Suryadi (2014). Hal 17</ref> Dahlan kemudian terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), satu badan yang terdiri dari wakil masyarakat untuk membantu Presiden mendirikan lembaga legislatif negara.<ref>Suryadi (2014). Hal 16</ref>
 
Belanda yang menganggap kemerdekaan Indonesia tidak sah, ingin menjajah Indonesia kembali dengan melakukan agresi yang mereka ebut sebagai "aksi polisionil". Namun bangsa Indonesia tidak mau dijajah kembali oleh Belanda. Sehingga dimana-mana terjadi perlawanan sengit dari oleh para patriot Indonesia.Dahlan diajak oleh oknum-oknum NICA Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia untuk bekerja dengan kelompok mereka.Dahlan menolak bekerja sama dengan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali sehingga Dahlan dituduh non-kooperator. Dahlan dituduh berbuat kriminal selama Jepang berada di Indonesia (Het Dagblad: uitgave van de Nederlandshe Dagbladpers te Batavia, 29&30-8-1946, tuduhan yang mungkin dicari-cari untuk menahannya karena beliau menolak bekerja sama dengan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Dahlan baru dibebaskan dari Penjara Gang Tengah pada Januari 1947, dan kemudian mengunjungi sahabatnya M. Hatta di tempat pengasingannya di Pulau Bangka.
 
Dalam suatu kesaksian di sebuah simposium di Jakarta, puteri Dahlan Adbullah, Dr Gandasari Abdullah Win, Profesor Emeritus menggambarkan masa perlawanan terhadap NICA ini memberikan dampak memilukan bahi Dahlan Abdullah dan keluarga. "Kami diharuskan pindah dari rumah wali kota di Jalan Diponegoro dan kami kembali ke Persatuan Guru. Ayahanda memboikot pemerintah NICA selama 5 tahun. Kami sangat menderita. Tak ada uang belanja dan juga tak ada penghasilan. Banyak teman-teman papa yang turut bekerja dengan NICA karena mereka tak tahan memboikot NICA. Selama 5 tahun, kami makan nasi jagung, makan sop tulang dan daun singkong. Bergantian kami pergi kerumah gadai untuk menggadaikan perhiasan emas Mama. Mama terpaksa menjual pakaian dan kain batik, masuk keluar rumah menjual barang-barang itu."<ref>{{Cite book|last=Gandasari|first=Abdullah Win|date=2017|title=Ayahanda|publisher=Sambutan Simposium tentang Dahlan Abdullah di Gedung Caraka Loka, Jakarta, Rabu 15 Maret 2017.|url-status=live}}</ref>
 
== Dahlan Abdullah dan Proklamasi Kemerdekaan RI ==
Dahlan Abdullah dan keluarga tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro, Jakarta) karena jabatannya saat itu sebagai wali kota Jakarta sejak Maret 1942. Kediaman Dahlan ini bertetangga dengan Mohammad Hatta, Mr. Soedjono dan Mohammad Yamin, menjadi petunjuk pentingnya posisi Dahlan Abdullah saat itu.Dekatnya jarak rumah para tokoh pergerakan ini membuat komunikasi diantara para tokoh begitu mudah. Apalagi posisi Dahlan saat itu sebagai pemimpin Kota Jakarta, dan juga teman lama Mohammad Hatta memungkinkan misalnya koordinasi dengan masyarakat khususnya pemuda, khususnya terkait perpindahan tempat dan waktu proklamasi kemerdekaan dari [[Lapangan Ikada]] ke Pegangsaan Timur (halaman rumah kediaman Soekarno) berjalan lancar. Kehadiran berbagai elemen pada malam penetapan dokumen proklamasi, termasuk Dahlan Abdullah,memungkinkan tindakan pengalihan massa rakyat berjalan dengan cepat. Dahlan Abdullah juga kemungkinan besar diminta Mohammad Hatta untuk memantau situasi di saat-saat yang genting itu. Informasi yang beredar pada awalnya mengatakan upacara proklamasi didadakan di [[Lapangan Ikada]] dan kepada Barisan Pelopor dan pemuda umumnya diminta menjaga keamanan. Massa juga diminta tidak perlu membawa panji-panji atau bendera supaya pihak Jepang tidak mencurigai upacara tersebut. Namun pada pagi hari itu ternyata tentara Jepang dengan bersenjata lengkap sudah hadir di Lapangan Ikada.Melihat kondisi itu maka Barisan Pelopor segera ditugaskan memasang kertas yang memuat instruksi agar segera menuju rumah kediaman Soekarno untuk melaksanakan upacara penting tersebut.<ref>Chaniago, Hasril; Nopriyasman; Abdullah, Iqbal Alan (2020). Hal 302-303</ref>
 
Tidak ada laporan resmi yang menyebutkan siapa saja yang hadir dalam proklamsi kemerdekaan di Pegangsaan Timur Nomor 56 pada hari Jumat 17 Agustus 1945 itu. Akan tetapi menurut keterangan Jamaluddin Abdullah (Alm) dan Gandasari, Dahlan Abdullah turut hadir dalam peristiwa mahapenting itu. Dahlan berdiri di belakang Soekarno pada saat itu.<ref>Chaniago, Hasril; Nopriyasman; Abdullah, Iqbal Alan (2020). Hal 304</ref>
 
== Pendiri UII, Menginisiasi Badan Penanganan Bencana ==
Bagindo Dahlan Abdullah berperan besar dalam dunia pendidikan dan juga menjadi inisiator bagi terbentuknya badan yang menangani bencana di Indonesia. Dalam dunia pendidikan antara lain Dahlan Abdullah turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kelak menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melalui rapat Masyoemi tahun 1945, bersama dengan tokoh besar lain seperti KH Abdul Wahid, KH Bisri, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, KH Hasyim, KH Faried Ma’ruf, KH Abdul Mukti, KH Imam Ghazali, Dr Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Anwar Cokroaminoto, Harsono Cokroaminoo, Mr. Moch. Roem, dan lainnya.<ref>{{Cite web|title=Peneliti Belanda Akan Paparkan Perjuangan Baginda Dahlan Abdullah|url=https://nasional.sindonews.com/berita/1187581/15/peneliti-belanda-akan-paparkan-perjuangan-baginda-dahlan-abdullah|website=SINDOnews Nasional|language=id-ID|access-date=2024-02-25}}</ref> Pendirian Sekolah Tinggi Islam ini sejalan dengan gagasan pribadinya sejak masih tinggal di Belanda, bahwa perguruan tinggi untuk orang Indonesia harus didirikan di Indonesia, bukan di Negeri Belanda.<ref>{{Cite book|last=Chaniago,Hasril;Nopriyasman;Abdullah,Iqbal Alan|date=2020|url=https://obor.or.id/Baginda-Dahlan-Abdullah-Bapak-Kebangsaan-Indonesia|title=Baginda Dahlan Abdullah: Bapak Kebangsaan Indonesia|location=Jakarta|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=9786024339074|pages=279|url-status=live}}</ref>
 
Kepedulian dalam dunia pendidikan ini ditunjukkan Dahlan Abdullah dengan mendorong kursus guru pertama ketika Dahlan menjadi wali kota Jakarta, yang diikuti kurus guru berikutnya yang sangat penting dalam melatih para pemuda di daerahnya masing-masing.<ref>Chaniago, Hasril (2020). Hal 275</ref> Dahlan juga tercatat sebagai Ketua Persatuan Guru, dengan memprakarsai pembangunan perumahan untuk guru-guru pribumi di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Jalan yang membelah komplek yang teridri atas 40 rumah itu kemudian ia beri nama Jalan Persatuan Guru. Sama dengan nama-nama jalan di Manggarai, daerah yang banyak dibangun fasilitas umum oleh Dahlan Abdullah selama menjabat ''Loco Burgermeester'', nama Jalan Persatuan Guru tetap dipertahankan sampai sekarang.<ref>{{Cite book|last=Saidi|first=Ridwan|date=2020|title=Dahlan Abdullah Menyeruak Sejarah (Pengantar Buku: Baginda Dahlan Abdullah, Bapak Kebangsaan Indonesia).|location=Jakarta|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia.|pages=11-12|url-status=live}}</ref>
 
Terpanggil dalam membantu masyarakat banyak yang seringkali dilanda bencana, Dahlan Abdullah mengisisiasi pembentukan lembaga-lembaga bantuan, seperti Barisan Puteri Amal tahun 1943 dimana Dahlan Abdullah sebagai penasihat bersama tokoh lainnya seperti K.H Mas Mansyur, St. Danil Syamsu Arifin, dan lainnya; serta inisiatif berdirinya Badan Penolong Kecelakaan (BPK) yang berdiri pada 23 Desember 1943 yang mana di organisasi ini Dahlan Abdullah ditunjuk menjadi ketua dan Slamet Sudibyo sebagai wakik ketua<ref>Chaniago, Hasril dkk (2020). Hal 274</ref>,
 
== Buku Habis Gelap Terbitlah Terang ==
Diantara karya Dahlan Abdullah lainnya adalah buku ''"Habis Gelap Terbitlah Terang",'' kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini, dimana Dahlan menjadi penerjemahnya dari versi bahasa Belanda ke bahasa Indonesia untuk pertama kalinya tahun 1922. Dalam versi bahasa Belanda karya yang dibukukan oleh J.H Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Karajinan Hindia Belanda saat itu diberi judul ''Door Duisternis Tot Licht'' yang arti harfiahnya ''"Dari Kegelapan Menuju Terang"'', namun oleh Dahlan Abdullah diterjemahkan dengan judul yang terkenal seperti saat ini "Habis Gelap Terbitlah Terang". Selain Dahlan, ikut terlibat dalam penerjamahan buku ini adalah Zainudin Rasad, kemudian pada penerbitan berikutnya dibantu juga oleh Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad (mereka disebut Empat Saudara).<ref>{{Cite book|last=Fillah|first=Efa|date=2008|title=Kartini menemukan Tuhan: analisis wacana surat-surat R.A. Kartini tahun 1899-1904|publisher=Media Wacana Press.|isbn=978-979-18512-0-6|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Chaniago,Hasril;Nopriyasman;Abdullah,Iqbal Alan|date=2020|title=Baginda Dahlan Abdullah: Bapak Kebangsaan Indonesia|location=Jakarta|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=9786024339074|pages=167-174|url-status=live}}</ref>
 
== Referensi ==
 
{{reflist}}
 
== Daftar Pustaka ==
 
# Suryadi (2014). ''Nasionalisme Seorang Putra Pariaman Mengenang Kepahlawanan H, Bagindo Dahlan Abdullah (1895 -1950)''. Leiden University.
# Chaniago,Hasril;Nopriyasman;Abdullah,Iqbal Alan (2020).''Baginda Dahlan Abdullah: Bapak Kebangsaan Indonesia.'' Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia ISBN 9786024339074
 
== Pranala luar ==
Baris 57 ⟶ 87:
{{s-aft | after = [[Tirtawinata]]}}
{{kotak selesai}}
 
[[Kategori:Abdullah]]
[[Kategori:Diplomat Indonesia]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh diplomat Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh pejuang Minangkabau]]
[[Kategori:Diplomat Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh diplomat Minangkabau]]
[[Kategori:Duta Besar Indonesia untuk Irak]]
[[Kategori:Alumni Universitas Leiden]]
[[Kategori:Tokoh Minangkabau]]
[[Kategori:Abdullah]]
[[Kategori:Tokoh dari Pariaman]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
 
[[Kategori:Duta Besar Indonesia untuk Irak]]