Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(4 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 12:
=== Undang-Undang Kewarganegaraan 1946 ===
{{utama|Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok}}
[[Berkas:Sino-Indonesian Dual Nationality Treaty signing, 1955.jpg|256px|right|thumb|Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri RRT [[Zhou Enlai]] berunding dengan Menteri Luar Negeri Indonesia [[Sunario Sastrowardoyo]] di Bandung, 1955.]]
Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan (kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948), orang-orang "bangsa Indonesia asli" dan orang di atas usia 21 tahun yang telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda ditetapkan sebagai warga negara Indonesia. Ketentuan ini menjamin hak kewarganegaraan Indonesia atas orang-orang Tionghoa yang sebelumnya berkewarganegaraan Belanda.<ref name=Chandra />
Baris 38 ⟶ 39:
"Orang asing" yang dimaksud dalam Perpres 10/1959 ditafsirkan sebagai orang-orang Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan RRT, tanpa memedulikan apakah mereka juga memiliki kewarganegaraan Indonesia karena kondisi yang diatur oleh Undang-Undang Kewarganegaraan 1958. Dari sekitar 86,690 perdagang kecil bangsa asing yang terdaftar pada pemerintah, hampir 90 persennya adalah orang Tionghoa. Harian ''[[Waspada (surat kabar)|Waspada]]'' yang terbit di Medan memperkirakan bahwa 25,000 warung dan kios milik orang Tionghoa akan terkena imbas PP No. 10/1959;<ref name=Waspada>{{Cite news|title=Penduduk Tionghoa Dipulangkan: PP No. 10 dan Masalah Pemulangan Hoakiao|date=|work=[[Waspada (surat kabar)|Waspada]]|publisher=|year=1960|location=[[Medan]]|page=36}}</ref> sedangkan majalah ''[[Tempo]]'' memperkirakan lebiih dari setengah juta pedagang Tionghoa terdampak.<ref name=Peraturan />
Di beberapa daerah, Perpres 10/1959 diterapkan dengan kekuatan militer, mengingat Indonesia pada saat itu sedang berada di bawah [[darurat militer]] (''staat van oorlog en beleg'') yang diatur oleh [[Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957]].<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/kala-tentara-menguasai-negara-PNelW|title=Kala Tentara Menguasai Negara|date=|access-date=17 Mei 2020|website=historia.id|last=Sitompul|first=Martin|publisher=[[Historia (majalah)|Historia]]}}</ref> Di [[Cibadak, Sukabumi]], terjadi pengusiran paksa yang menyebabkan bentrokan berdarah antara warga Tionghoa dan pasukan [[Komando Daerah Militer III/Siliwangi|Teritorium Siliwangi]].<ref name=Arsip>{{Cite news|url=https://majalah.tempo.co/read/kartun/124705/tempo-24-november-1990|title=Tempo 24 November 1990|date=24 November 1990|access-date=17 Mei 2020|work=[[Tempo.co]]|last=Administrator|publisher=[[Tempo (majalah)|Tempo]]}}</ref> Di [[
Pemerintah [[Republik Rakyat Tiongkok]] memprotes keras penerapan Perpres 10/1959. Duta Besar RRT di Jakarta [[Huang Chen]] mendesak [[Menteri Luar Negeri Republik Indonesia|Menteri Luar Negeri]] [[Soebandrio]] untuk meninjau kembali penerapan peraturan tersebut, namun permintaan tersebut ditolak. Soebandrio menegaskan di hadapan sidang [[Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong]] bahwa Perpres 10/1959 "sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti-Tiongkok", melainkan hanya sebagai penerus dari usaha-usaha nasionalisasi terhadap perusahaan yang dimiliki oleh bangsa asing di Indonesia.<ref name=Waspada /> Menyikapi hal tersebut, radio resmi RRT dari [[Beijing]] mulai menyerukan agar orang Tionghoa di Indonesia untuk berhijrah ke Tiongkok. Sekitar 199,000 orang Tionghoa mendaftar untuk pindah, namun pada akhirnya hanya sekitar 102,000 orang yang dapat diangkut oleh kapal yang dikirimkan oleh pemerintah RRT.<ref name=Terusir>{{Cite news|url=https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/124736/terusir-dari-kampung-sendiri|title=Terusir dari Kampung Sendiri|date=13 Agustus 2007|access-date=17 Mei 2020|work=[[Tempo.co]]|publisher=[[Tempo (majalah)|Tempo]]|last=Administrator}}</ref>
== Orde Baru ==
{{external media
| headerimage= [[File:Internet Archive logo and wordmark.svg|25px|right]]
| caption = via [https://archive.org The Internet Archive]
| topic = [https://archive.org/details/6835159292560423/321966/mode/2up Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 Tahun 1966]
}}
{{Wikisourcelang|id|Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966}}
{{Wikisourcelang|id|Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967}}
Baris 65 ⟶ 71:
Pada bulan Desember 1967, Soeharto (kini Pejabat Presiden) menetapkan Keputusan tentang "Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing". Keputusan ini menetapkan bahwa mereka adalah "Bangsa Indonesia jang tidak berbeda dalam hak dan kewadjiban dengan Bangsa Indonesia lainnja" dan menjamin "adalah sama kedudukannja di dalam Hukum Pemerintahan dengan Bangsa Indonesia lainnja".
Keputusan Presiden ini menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses [[asimilasi
=== Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ===
Baris 74 ⟶ 80:
=== Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta Nomor K.898/I/A Tahun 1975 ===
{{utama|Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 1975}}
Instruksi ini dikeluarkan oleh Wakil Kepala Daerah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] [[Paku Alam VIII]] pada bulan Maret 1975, yang isinya melarang orang-orang non-pribumi Eropa dan ''Vreemde Oosterlingen'' (Tionghoa, Arab, India) untuk memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.<ref>{{Cite news|title=Mengapa Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya?|url=https://tirto.id/mengapa-nonpribumi-tak-boleh-punya-tanah-di-yogya-bQZl|last=Kresna|first=Mawa|date=5 Oktober 2016|work=[[Tirto.id]]|access-date=17 Mei 2020}}</ref>
|