Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) pranala balik ke artikel khusus lambang Tag: halaman dengan galat kutipan |
||
(63 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
| conventional_long_name = Nagari Kasultanan Ngayogyakarta<ref>Nama resmi ini mengacu pada naskah dalam [[bahasa Jawa]] dari {{ke wikisource|Perjanjian Politik 1940}}. Nama resmi lainnya yang terdapat dalam dokumen resmi adalah ''Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat'' ({{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}), Daerah Kesultanan Yogyakarta ({{ke wikisource|Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950}})</ref>
| native_name = {{jav|ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀}}{{br}}{{sub|Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat}}
| religion = {{unbulleted list|[[Islam]] (resmi)|[[Kejawen
| year_start = 1755
| year_end = sekarang
Baris 25:
| s2 = Daerah Istimewa Yogyakarta
| flag_s2 = Flag of Yogyakarta.svg
| image_flag = Flag of Wirabraja - Gula Kelapa.svg
| flag_caption = Bendera
| image_coat = Yogyakarta Sultanate Hamengkubhuwono X Emblem.svg
| symbol_type = [[Lambang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Lambang Kesultanan (Praja Cihna)]]
| royal_anthem =
| image_map = Peta seri DIY AA 1957.png
| image_map_caption = Wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini
Baris 91:
}}
'''Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat''' adalah
Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun [[1950]] status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan [[Kadipaten Pakualaman]]) diturunkan menjadi [[daerah istimewa]] [[Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta|setingkat provinsi]] dengan nama [[Daerah Istimewa Yogyakarta]].
Baris 99:
=== Pembentukan ===
{{Main|Perjanjian Giyanti}}
Setelah ditandatanganinya [[Perjanjian Giyanti]] (13 Februari [[1755]]) antara [[Pangeran Mangkubumi]] dan [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] di bawah [[Gubernur-Jendral]] [[Jacob Mossel]], maka [[Kesultanan Mataram|Kerajaan Mataram]] dibagi dua. pendiri Kesultanan Yogyakarta yakni [[Pangeran Mangkubumi]] resmi diangkat sebagai [[Sultan]] bergelar [[Hamengkubuwana I]] dan berkuasa atas setengah daerah [[Kerajaan Mataram]]. Sementara itu Susuhunan [[Pakubuwana III]] tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru [[Kesunanan Surakarta]] dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC. Usaha-usaha untuk meredam peperangan yang terjadi di Jawa saat itu berakhir dengan perjanjian damai, yang kemudian dikenal oleh rakyat Jawa sebagai bentuk ''Palihan Nagari'' (pembagian negara), atau dikenal juga sebagai [[Perang Takhta Jawa Ketiga]].
Sultan [[Hamengkubuwana I]] kemudian segera membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran [[Kali Winongo|Sungai Winongo]] dan [[Sungai Code]]. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan [[Ngayogyakarta Hadiningrat]] dan [[lansekap]] utama berhasil diselesaikan pada tanggal [[7 Oktober]] [[1756]]. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa "'' ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat '' " ([[bahasa Indonesia]]: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.
=== Masa awal ===
Setelah wujud keraton mulai terbentuk pada tanggal 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwana I beserta pengikutnya segera melakukan ''boyong kedhaton'' atau melakukan perpindahan dari Pesanggrahan Ambarketawang Gamping menuju ke keraton yang baru. Perpindahan tersebut ditandai dengan surya sengkala ''[[Dwi Naga Rasa Tunggal]]'', yang memiliki nilai tahun 1756 Masehi, dengan makna tentang kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun. Saat itu, Sultan menggunakan ''Gedhong Sedhahan'' sebagai tempat untuk memerintah, mengingat keraton belum sepenuhnya selesai.
Di masa awal pemerintahannya, Sultan menerbitkan peraturan politik yang harus dipatuhi oleh Belanda. Empat peraturan tersebut antara lain:
Baris 131:
Meski demikian, sikap Sultan kepada Inggris sama saja dengan sikapnya kepada Belanda. Hubungan Sultan dengan anaknya juga sempat memanas, terlebih sang anak lah yang membuat dirinya dimakzulkan saat itu. Belum lagi nyaris terjadi pertumpahan darah antara utusan [[Thomas Stamford Raffles]], Gubernur Inggris dengan kerabat keraton di depan Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
* Beberapa bangunan di keraton hancur lebur, salah satunya adalah Pojok Beteng Lor Wetan yang dibangun oleh Sultan sendiri dan Ndalem Sawojajar yang merupakan tempat tinggal putra mahkota
* Sultan Hamengkubuwana II kembali diturunkan dan diasingkan ke [[Pulau Pinang]] (kini menjadi [[Penang]] di [[Malaysia]]), tahta kembali diduduki oleh ''Adipati Anom'' Hamengkubuwana III
Baris 141:
Periode ini ditandai dengan kembalinya pemerintahan Hindia Belanda setelah perang Napoleon. Sultan Hamengkubuwana III wafat pada tahun 1814, dan tahta digantikan oleh Pangeran ''Adipati Anom'' yang masih sangat belia, yakni Gusti Raden Mas Ibnu Jarot. Ibnu Jarot naik tahta pada umur 10 tahun dengan gelar Sultan [[Hamengkubuwana IV]]. Mudanya usia Sultan saat itu, memunculkan pembentukan wali sultan yang didapuk oleh Paku Alam I.
Masa-masa ini ditandai dengan pengaruh Belanda yang semakin kuat di Yogyakarta, terlebih setelah naiknya Patih Danureja IV. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton, dan mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta yang merugikan rakyat kecil. Kebijakan politik ini menuai beberapa kecaman dari beberapa pihak di dalam keraton, salah satunya dari [[Diponegoro|Pangeran Diponegoro]], kakak Sultan
Pemerintahan Hamengkubuwana IV secara mandiri baru dimulai pada 20 Januari 1820, setelah Paku Alam I meletakkan jabatannya selaku wali Sultan. Pemerintahan mandiri tersebut tidak berlangsung lama, hanya tiga tahun. Pada Desember 1823, Hamengkubuwana IV wafat di usia yang masih cukup muda, 19 tahun.
==== Periode 1823-1830 ====
Hamengkubuwana IV digantikan oleh anaknya, Gusti Raden Mas Gatot Menol yang saat itu masih berusia tiga tahun dengan gelar Sultan [[Hamengkubuwana V]]. Sama seperti ayahnya yang memiliki wali karena diangkat menjadi raja pada usia muda, ia juga memiliki wali
Pada periode awal pemerintahannya, Yogyakarta masih diwarnai kemelut akibat intrik politik Belanda dan Patih Danureja IV yang bertindak semena-mena. Hal ini kembali memunculkan kemarahan di benak Pangeran Diponegoro selaku wali Sultan saat itu. Belanda juga berniat untuk menyingkirkan Diponegoro dari keraton demi memuluskan rencana mereka.
Baris 172:
Pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, Yogyakarta mengalami masa kejayaan. Adanya politik pintu terbuka (''opendeur politiek'') yang dicanangkan oleh pemerintah Belanda pada awal 1920-an memberikan kesempatan bagi bangsa lain untuk melakukan penanaman modal internasional di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda dan Yogyakarta. Kebetulan, politik pintu terbuka tersebut sudah sesuai dengan peraturan agraria (''agrarische wet'') yang berlaku di Yogyakarta, sehingga menguntungkan keraton.<ref name=sejarah>[https://kotabarukel.jogjakota.go.id/detail/index/8690 Sejarah Kotabaru]</ref>
Kekayaan yang didapat digunakan oleh Sultan untuk merevitalisasi dan merenovasi sebagian fasad dan bangunan milik keraton yang rusak akibat gempa bumi. Sultan juga membangun banyak pabrik gula di wilayah Yogyakarta. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar
Yogyakarta juga mengalami masa transisi menuju ke arah modern pada masa Sultan Hamengkubuwana VII. Beberapa fasilitas pendidikan modern dibangun di sekitar keraton. Sultan juga mendukung perkumpulan pergerakan nasional seperti [[Boedi Oetomo]] dan [[Muhammadiyah]].
Baris 255:
=== Penduduk ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Prinsen en prinsessen in de kraton van Jogjakarta TMnr 60001477.jpg|ki|jmpl|lurus|Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan [[Hamengkubuwana
Pembagian wilayah menurut [[Perjanjian Palihan Nagari]] juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (''abdi Dalem'') dan rakyat (''kawula Dalem'') yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian [[tanah]] pada waktu itu yang menggunakan sistem ''[[tanah bengkok|lungguh]]'' (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada [[1930]] penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Baris 474:
| life5 = {{Birth date|1820|1|24|df=y}} – {{Death date and age|1855|6|5|1820|1|24|df=y}}
| reignstart5 = 1822
| reignend5 =
| notes5 =
| family5 = * [[Hamengkubuwana IV]], ayah
Baris 525:
| family9 = * [[Hamengkubuwana VIII]], ayah
* Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara, ibu
| image9 =
| alt9 =
|