Keraton Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Igornababan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(30 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox building
| name = Keraton Surakarta Hadiningrat
| native_name = {{jav|
| logo = Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg
| logo_size = 150
Baris 76:
| designations =
| known_for = Istana Kesunanan Surakarta
| website =
| embedded = {{Infobox cagar budaya|child=yes
| Name = Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Baris 105:
{{utama|Kesunanan Surakarta}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret tijdens een bezoek van de kroonprins de sultan Hamengkoe Negoro en Prins Pakoe Alam van Jogjakarta aan Pakoe Boewono X de Susuhunan van Solo TMnr 60001422.jpg|jmpl|ka|250px|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama [[Hamengkubuwana VII|Sultan Hamengkubuwana VII]] dan putra mahkota [[Kesultanan Yogyakarta]], serta [[Paku Alam VII|Adipati Paku Alam VII]] (berdiri di belakang), berfoto bersama di Bangsal Maligi, Keraton Surakarta (sekitar tahun [[1910]]-[[1921]]).]]
[[Kesultanan Mataram]] yang kacau akibat pemberontakan [[Trunajaya]] pada tahun [[1677]] ibu kotanya oleh Sri [[Sunan Amral|Susuhunan Amangkurat II]] dipindahkan di [[Keraton Kartasura]]. Pada masa Sri [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, pada tahun [[1742]], terjadi [[Perang Jawa (1741–1743)|perang besar]] hingga menyebabkan Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]], dan Mataram yang berpusat di [[Kartasura]] saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan [[Cakraningrat IV|Adipati Cakraningrat IV]], penguasa [[Bangkalan]] yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.<ref name="dunia"/>
Baris 126:
Kompleks ini meliputi [[Tugu Pamandengan]], Gapura Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan [[Masjid Agung Surakarta]]. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi [[Surakarta]], dan beberapa meter di sisi utaranya terdapat sebuah tugu yang disebut Tugu Pamandengan, yang berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Sunan ketika bermeditasi di Siti Hinggil.<ref name="Pamandengan">{{cite thesis|title=Javanese power: silent ideology and built environment of Yogyakarta and Surakarta|author=Ofita Purwani|year=2014|publisher=Edinburgh College of Art, Universty of Edinburgh|page=206|url=https://era.ed.ac.uk/handle/1842/9885}}</ref> Pada zaman dahulu, ''space area'' di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum ''digladag'' (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah ''Manunggaling Kawula-Gusti'' (Bersatunya Rakyat dengan Raja).
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (''Ficus benjamina''; Famili ''Moraceae'') yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (
[[Berkas:INTERIOR MASJID AGUNG SOLO.jpg|jmpl|kiri|Bagian dalam ruang utama [[Masjid Agung Surakarta]].]]
Baris 192:
[[Berkas:Sasana Sewaka Keraton Surakarta.JPG|jmpl|ka|Bagian dalam bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, dilihat dari arah Bangsal Maligi.]]
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton (Kadhaton) dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] pada tahun [[1792]] ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan ''Semar Tinandu'' ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri gerbang ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Di sebelah selatan Kori Sri Manganti merupakan kompleks Kedhaton (Kadhaton), dengan halaman yang dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon [[Sawo kecik|Sawo Kecik]] (''Manilkara kauki''; Famili ''Sapotaceae''). Sebagian kawasan halaman atau pelataran Kedhaton ini terbuka untuk wisatawan umum. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal (Topengan) Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] tepatnya pada tahun [[1985]] tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat ''grebeg'' (''garebeg''), ulang tahun raja, serta peringatan hari kenaikan takhta raja.<ref>{{cite web|title=Keraton Surakarta: Sasana Sewaka (Wawancara dengan KGPH. Puger)|author=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|website=Youtube.com|year=2016|accssdate=30 Juni 2023|url=https://www.youtube.com/watch?v=Qz_0_lQ9NYs&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=15}}</ref> Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga takhta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara penobatan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.
Baris 250:
== Warisan Budaya ==
[[Berkas:
Selain memiliki kemegahan bangunan, Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Di antaranya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara peringatan hari kenaikan takhta Sri Sunan (
=== Grebeg ===
Baris 274:
=== Pusaka (''heirloom'') dan Tari-Tarian Sakral ===
[[Berkas:Flickr - dalbera - Bedhoyo, musique et danse traditionnelle d'Indonésie (festival de l'imaginaire).jpg|jmpl|ka|250px|Pertunjukan tari klasik [[bedaya|bedhaya]] Keraton Surakarta di bawah pimpinan [[GKR Wandansari|GKR. Wandansari]] bersama komponis [[Rahayu Supanggah]], tahun [[2009]].]]
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi [[pusaka]] kerajaan di antaranya berupa singgasana dan regalia Sri Sunan, perangkat musik [[gamelan]], aneka macam koleksi [[senjata]], [[naskah|manuskrip]], [[wayang kulit]], serta berbagai benda-benda lainnya, baik yang dipamerkan di [[Museum Keraton Solo|Museum Keraton Surakarta]] maupun yang disimpan di lokasi-lokasi khusus di dalam kompleks keraton. Di antara sekian perangkat koleksi gamelan Keraton Surakarta adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu, yang hanya dimainkan atau dibunyikan pada saat upacara Grebeg Mulud dan Sekaten.
Selain memiliki berbagai pusaka berwujud benda, di Keraton Surakarta juga terdapat berbagai macam [[tari]] klasik (beksan), baik dalam bentuk [[bedaya|bedhaya]], [[srimpi]], maupun bentuk [[repertoar]] lainnya, yang di antaranya berstatus sebagai tarian pusaka dan hanya dipentaskan pada saat upacara-upacara tertentu. Tarian pusaka tertinggi Keraton Surakarta adalah [[Tari Bedhaya Ketawang]], yang hanya dipentaskan pada saat hari penobatan dan hari peringatan kenaikan takhta Sri Sunan yang dilaksanakan di Pendhapa Ageng Sasana Sewaka. Beberapa tari klasik Keraton Surakarta yang terkenal lainnya termasuk pula Tari Bedhaya Pangkur, Tari Bedhaya Sukaharja, Tari Srimpi Ludira Madura (Ludira Madu), serta Tari Srimpi Sangupati.
== Pemangku Adat Jawa Surakarta ==
Baris 280 ⟶ 284:
[[Berkas:President Sukarno, Paku Buwono XII, and Prince Mangkunegoro having dinner TimeLife image 651020.jpg|ka|250px|jmpl|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menerima kunjungan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan para pejabat pemerintah [[Republik Indonesia]] di Sasana Handrawina, Kompleks Keraton Surakarta, tahun [[1946]]; tampak hadir pula [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] dan [[Soeroso|R.P. Suroso]].]]
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (''Royal House'') yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan [[Kesunanan Surakarta]]. Setelah tahun [[1946]], peran Keraton Surakarta berpusat sebagai monarki seremonial Pemangku Adat Jawa khususnya [[budaya Jawa]] ''gagrag'' (gaya) [[Kesunanan Surakarta|Surakarta]]. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik dan pemerintahan, melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta Adat, simbol dan kepala monarki seremonial serta pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya [[Budaya Jawa|Jawa]] khususnya gaya Surakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma dan wibawa tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah [[Kesunanan Surakarta]] ([[Kota Surakarta]], [[Kabupaten Sragen]], [[Kabupaten Boyolali]], [[Kabupaten Klaten]], dan [[Kabupaten Sukoharjo]]); bahkan termasuk di wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]] ([[Kabupaten Karanganyar]] dan [[Kabupaten Wonogiri]]), serta di wilayah lainnya di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] (khususnya di kawasan bekas [[Karesidenan Semarang]], [[Karesidenan Madiun]] dan [[Karesidenan Kediri]]).
[[Berkas:IMG20240206-Pakoe-Boewono-XIII.jpg|jmpl|250px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] bersama istri serta beberapa putra-putri, menantu, dan cucu, berfoto bersama di beranda Sasana Narendra, Kompleks Keraton Surakarta, tahun [[2024]].]]
Sebagai kawasan pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]], Keraton Surakarta menjadi rujukan bagi para pelajar dan peneliti, bahkan yang berasal dari luar negeri, untuk belajar dan meneliti berbagai macam warisan budaya baik benda maupun tak benda yang dimiliki oleh keraton, seperti arsitektur, naskah dan kitab kuno, [[wayang kulit]], [[tari]], [[gamelan]], dan sebagainya. Keraton Surakarta juga menjadi salah satu elemen penting dalam penasehat pembangunan di kota dan kabupaten-kabupaten wilayah Surakarta Raya (yang dikenal dengan [[akronim]] Subosukawonosraten). Sebagai contoh yang paling besar adalah sebagai penasehat pembangunan [[Jalan tol Yogyakarta-Solo|Jalan Tol Yogyakarta-Surakarta]] dan [[KRL Jogja-Solo]].
Baris 320 ⟶ 328:
{{Cagar budaya peringkat nasional di Indonesia}}
{{Topik Surakarta}}
{{Istana di Indonesia}}
[[Kategori:Istana di Indonesia|Keraton Surakarta]]
Baris 326 ⟶ 335:
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Jawa Tengah]]
[[Kategori:Istana Kesultanan|Keraton Surakarta]]
[[Kategori:
[[Kategori:Kawasan cagar budaya di Indonesia]]
[[Kategori:Cagar budaya
[[Kategori:Keraton]]
|