Sultan Muhammad Syah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Sultan Muhammad Syah''' atau juga dikenal sebagai '''Sultan Alauddin Muhammad Da'ud Syah I''' ([[1802]] - [[1838]]) adalah sultan ketiga puluh satu [[kesultanan Aceh]]. Dia adalah penguasa keenam dari dinasti [[Kerajaan Wajo|Wangsa Diraja Bugis Wajo-Aceh]] memimpin kesultanan Aceh, ia memerintah antara tahun [[1823]]-[[1838]].
 
== Pengakuan dan konsolidasi Aceh ==
Sultan tua [[Sultan Alauddin Jauhar al-Alam|Alauddin Jauhar ul-Alam Syah]] telah memimpin pemerintahan bergolak dan tidak diakui di seluruh Aceh pada saat kematiannya pada bulan Desember [[1823]]. Saking lemahnya ia bahkan tidak mampu mengontrol ibu kota [[Banda Aceh|Bandar Aceh]]. Pada saat kematiannya ia meninggalkan enam anak, dua orang lahir permaisuri utama Puteri Siharibulan dan empat lainnya dari isterinya yang lain. Sebenarnya dalam wasiat (sarakata) sebelum kematiannya ia telah menunjuk seorang putera yang bernama Abdul Muhammad sebagai pengganti. Namun titah ini tidak diterima oleh [[Panglima Polem]] yang memimpin daerah XXII Mukim, salah satu dari tiga wilayah sagi utama Aceh.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 306.</ref> Sebaliknya seorang puteranya yang lain berusia 22 tahun dan terlahir dari isteri kedua Alauddin Jauhar al-Alam bernama Tuanku Daud diangkat menjadi sultan dan keputusan ini didukung oleh neneknya Pocut Meurah Awan. Muhammad Daud memimpin takhatatakhta dengan gelar Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah. Saudara kandungnya [[Sultan Mansur Syah|Tuanku Ibrahim]] ditunjuk sebagai Raja Muda, menduduki sebuah jabatan di mahkamah kesultanan sampai tahun [[1870]].
Puteri Siharibulan yang menolak keputusan itu melakukan perlawanan, ia mengajukan permohonan kepada [[Inggris]] di [[Penang]] untuk melakukan intervensi. Tindakan perlawanan Siharibulan kini mengancam munculnya perang saudara di Aceh. Namun pada saat yang sama Inggris tidak tertarik terlibat dalam politik Aceh. Puteri Siharibulan dan anak trinya Alauddin Muhammad Daud Syah akhirnya berdamai melalui mediasi dari Raja Muda. Sultan baru secara bertahap menerima pengakuan dari para panglima sagi (para kepala daerah), bangsawan, dan [[uleebalang]] yang sebelumnya menolak mengakuinya.<ref>Lee (1995), p. 308.</ref>
 
Baris 9:
 
== Konflik dan insiden dengan Belanda ==
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh sejumlah insiden kekerasan antara Aceh dan negara kolonial tetangganya yang berkedudukan di [[Batava]]. Ketika Belanda melancarkan ekspansi atas sebagai hasil dari ekspansi Belanda di Sumatra. Setelah kemenangan di [[SumatraSumatera Barat]] dalam [[Perang Paderi]] dengan alasan mengejar sisa-sisa kekuatan Paderi, Belanda melancarkan beberapa ekspansi yang mengancam wilayah-wilayah perbatasan Aceh. Pada tahun [[1829]] Belanda mencoba untuk mengambil kendali atas [[Barus]] dari Aceh tapi berhasil digagalkan. Upaya ini diulang lagi pada tahun [[1834]], sekali lagi ambisi Belanda ini berlalu tanpa keberhasilan. Belanda menyerang kota-kota penting perbatasan Aceh setelah sebelumnya mengkonsentrasikan kekuatan di daerah Tapanuli Tengah. Lewat politik adu dombanya yang terkenal ([[divide et impera]]) kolonial Belanda berhasil menarik kerajaan kecil [[Kerajaan Trumon|Trumon]] dari pengaruh Aceh. Peristiwa lepasnya Trumon ini terjadi pada tahun [[1830]] ketika Belanda melalui Residen Belanda di Pantai Barat Sumatra berhasil mengikat kontrak kerjasama dengan Raja Trumon.
Sementara itu perang paderi yang berkecamuk di [[Minangkabau]] semakin memperkeruh permasalahan itu, kemajuan yang dialami Belanda dalam perang telah memperluas kekuasaan Belanda hingga ke [[Natal]] di Tapanuli Selatan. Pada tahun [[1831]] kedudukan Belanda di Air Bangis dan Natal diserang oleh kaum Paderi di daratan dan oleh rakyat Aceh (Singkil) dari laut. Serangan itu nyaris memukul mundur Belanda dari pertahanannya atas Natal.<ref>Veth (1873), p. 97.</ref> Pada tahun [[1833]] Belanda mencoba mengukuhkan pengakuan atas perbatasan Aceh-Belanda di wilyah pantai Barat. Secara sepihak Belanda menganggap sungai [[Singkil]] menjadi garis wilayah perbatasan Aceh.
Baris 39:
<!--anda dapat berkontribusi dalam pelacakan artikel biografi tokoh muslim di wikipedia dengan menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam kategori pelacakan --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Muslim -->
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
|sort = {{PAGENAME}}Sultan Muhammad Syah
|hari_lahir =
|tgl_lahir_h =
Baris 65:
[[Kategori:Tokoh Aceh]]
[[Kategori:Kesultanan Aceh]]
 
 
{{Sultan-bio-stub}}