Kertajaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
regnal name Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(32 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
|name = Kertajaya
|image =
|title = Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita
|birth_date = [[Daha]]
|birth_place = [[Jawa Timur]]
Baris 10:
|place of burial =
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|issue = Jayasabha (menurut kitab [[Nagarakretagama]]
| succession = Raja [[Panjalu]] terakhir
| reign = [[1194]]
| predecessor = [[Kameswara]]
| religion = [[Hindu]]
|regnal name = Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Sarwweśwara Triwikramāwatārānindita Parākrama Śṛṅgalāncana Digjayottunggadewanāma
}}
'''Sri Maharaja Srengga''' atau dikenal sebagai '''Kertajaya''' dalam [[kitab Pararaton]] disebut juga dengan '''
== Sejarah ==
[[Image:Sapu_Angin_Inscription.jpg|180px|thumb|
Dalam [[bahasa Sanskerta]], Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti
Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam [[prasasti Sapu Angin]] (1190), [[prasasti Kamulan]] (1194), [[prasasti Palah]] (1197), [[prasasti Mleri II]] (1198), [[Prasasti Galunggung]] (1201), [[prasasti Biri]] (1202), [[prasasti Tuliskriyo]] (1202), [[prasasti Sumberingin Kidul|prasasti Sumberingin]] (1204), [[prasasti Lawadan]] (1205), [[prasasti Cemandi]] (1205) dan [[prasasti Merjosari]] (1216).
▲Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya adalah '''Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa'''.
Kertajaya merupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti juga disebutkan di [[kakawin]] [[Nagarakretagama]] karya pujangga masa [[Majapahit]] bernama [[Mpu Prapanca]], yang dibuat ratusan tahun setelah zaman [[Kadiri]].
== Pemberontakan Ken Arok ==
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
Dalam
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)
Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan bahwa Sri Maharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih melarikan diri dari ibu kota [[Daha]], dan oleh karena kelaliman serta perilakunya tersebut membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu Kota [[kerajaan Panjalu]]. Mereka menyingkir sambil terus menceritakan kesesatan maharaja Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Arok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini jabatan setingkat ''camat'') di wilayah [[Tumapel]]. Atas dukungan para [[Brahmana]], [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Panjalu]].▼
{{cquote|"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)
Turut diceritakan dalam teks naskah ''[[Pararaton]]'' bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya [[dewa]]. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain [[Siwa]]) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.▼
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-
[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang
=== Pertempuran Ganter ===▼
gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko
sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis
angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira
ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-
[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja,
atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha
parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur
měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...}} (Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).
Terjemahan:
(Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis,
raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha:
“Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah
kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua
pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri:
“Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”.
Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis:
“Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus
menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka
sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis
memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan
kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para
pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3,
rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa
menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke
Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...)<br>(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).
▲Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota [[Daha]]napura, dan
▲Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
{{Main|Pertempuran Genter}}
Pasukan [[Singhasari|Tumapel]] yang dipimpin [[Ken
Perang antara
''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa).
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.
== Kadiri menjadi bawahan Tumapel ==
Sejak kekalahan Kertajaya
Menurut keterangan yang didapat di dalam [[
== Daftar pustaka ==
Baris 61 ⟶ 103:
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[en:Kertajaya]]
|