Komisi Penyiaran Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k tambah pranala dalam |
|||
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 6:
|didirikan = 2002
|gambar = [[Berkas:Logo of Indonesian Broadcasting Commission.svg|180px]]
|dasar = Undang-Undang Nomor
|sifat = Independen
|alamat = Jl. Djuanda No. 36, [[Gambir, Jakarta Pusat]] 10120<ref>{{cite web|url=http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34662-kpi-pindah-kantor-baru-dpr-dan-menkominfo-minta-tingkatkan-produktivitas-dan-lebih-efektif|title=KPI Pindah Kantor Baru, DPR dan Kominfo Minta Tingkatkan Produktivitas dan Lebih Efektif|publisher=Komisi Penyiaran Indonesia}}</ref><br>[[DKI Jakarta]], [[Indonesia]]
Baris 48:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan KPI. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah [[publik]] harus dikelola oleh sebuah badan [[independen]] yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Hal ini berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan [[pemerintah]].
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan ''prinsip keberagaman isi'' adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis [[program]] maupun isi program. Sedangkan ''prinsip keberagaman kepemilikan'' adalah jaminan bahwa kepemilikan [[media massa]] yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, ''pertama'' pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. ''Kedua'' adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia,
Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada di tangan pemerintah (pada masa rezim Orde Baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari ''kooptasi'' negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung [[hegemoni]] rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tetapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam [[kolaborasi]] antara segelintir elitpenguasa dan [[pengusaha]].
Terjemahan semangat yang ''kedua'' dalam pelaksanaan sistem [[siaran]] berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki [[stasiun]] lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran [[lokal]] yang ada Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal. == Struktur kelembagaan ==
Baris 62 ⟶ 66:
== Daftar komisioner ==
:
:* Dr. Victor W. Menayang, M.A., Ph.D. (Ketua)
:* Dr. S. Sinansari Ecip (Wakil Ketua)
Baris 96 ⟶ 100:
:* Idy Muzayyad, M.Si. (Wakil Ketua)
:* Azimah Subagijo (Anggota)
:* [[Agatha Lily]], S.Sos, M.Si (Anggota)
:* Sujarwanto Rahmat Muhammad Arifin, S.Si (Anggota)
:* Fajar Arifianto Isnugroho, S.Sos, M.Si (Anggota)
Baris 136 ⟶ 140:
Selama ini, cukup banyak pihak yang mengkritik KPI, karena kinerjanya dianggap tidak maksimal dalam pengawasan penyiaran di Indonesia. Menurut Remotivi, terdapat tiga masalah yang menghantui KPI, yaitu kurang berhasil mengawasi konten penyiaran, gagal menyusun Pedoman Perilaku dan Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang berpihak kepada publik, dan kurang gesit menanggapi keluhan masyarakat.<Ref>[https://nasional.okezone.com/read/2016/02/05/337/1305687/kinerja-kpi-buruk-ini-faktor-faktornya Kinerja KPI Buruk, Ini Faktor-Faktornya]</ref> Pada beberapa kasus, KPI bertindak justru setelah banyak diperbincangkan (''viral'') atau menjadi polemik di dunia maya.<ref name=remotiv/> KPI juga dinilai banyak diintervensi kepentingan politik-ekonomi dan banyak anggotanya yang kurang kompeten.<Ref>[https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/01/defisit-ahli-dalam-seleksi-kpi Defisit Ahli dalam Seleksi KPI]</ref> Ada yang berpendapat, KPI kini kehilangan arah utamanya yang digariskan undang-undang dengan lebih banyak mengeluarkan [[kontroversi]] di masyarakat.<Ref>[https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-012587180/kpi-kehilangan-roh-rajin-bikin-kontroversi KPI Kehilangan Roh, Rajin Bikin Kontroversi]</ref>
Pada awal kemunculnya, KPI memang dimaksudkan memiliki wewenang yang besar, khususnya dalam kontrol atas industri penyiaran dengan kewenangannya yang kuat di bidang perizinan, kepemilikan, teknik dan persyaratan,
== Lihat juga ==
|