Perang Pacirebonan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(10 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Desember 2022}}
 
'''Perang Pacirebonan''' atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama '''Perang Pagrage''' adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan [[Kesultanan Cirebon]] ke wilayah [[Kesultanan Banten]] pada 2225 DesemberSeptember 1650 atau 30 Ramadan 1060 H. Dalam peristiwa ini, terdapat insiden kesalahan komunikasi antara kesatuan prajurit [[kesultanan Cirebon]] dengan prajurit kesultanan Banten di muara Pasiliyan dari sungai Ci Rumpak di [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]]. Pasukan Banten berhasil menyergap pasukan Cirebon dan menyita banyak kapal perang Cirebon.<ref>{{Cite web|date=2019-06-11|title=Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan|url=https://historia.id/militer/articles/perang-banten-cirebon-di-akhir-ramadan-vXjb5|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2023-10-03}}</ref>
{{Infobox military conflict
| date = 25 September 1650
| place = [[Cirebon]], [[Banten]]
| result = Kemenangan Banten
*[[Mataram]] berhenti untuk menaklukkan [[Banten]]
| combatants_header =
| combatant1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Kesultanan Mataram]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Kesultanan Cirebon]]
| combatant2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Kesultanan Banten]]
| commander1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Amangkurat I]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Pangeran Martasari]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} Abdul Karim
| commander2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Abu al-Mafakhir dari Banten]]<br/ >{{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Sultan Ageng Tirtayasa]]
}}
 
== Latar belakang ==
Baris 86 ⟶ 97:
=== Cirebon membantu Mataram membujuk [[kesultanan Banten]] ===
 
Sepeninggal Sultan Zainul Arifin, cucunya yaitu Abdul Karim naik menggantikannya sebagai Sultan Cirebon, pada masa itu ternyata Mas Rangsang ([[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]]) sudah meninggal terlebih dahulu sebelum Sultan Zainul Arifin, yakni pada tahun 1645. Kekuasaan Mataram kini dipegang oleh [[Amangkurat I|Mas Sayidin]] yang bergelar Amangkurat I, Amangkurat I pada awal pemerintahannya dikenal sebagai orang yang dengan mudah menyingkirkan orang yang berseberangan dengannya, misalnya saja peristiwa terbunuhnya ''Tumenggung'' Wiraguna dan Danupaya pada tahun 1647 yang merupakan pejabat senior di Mataram, kemudian terbunuhnya Pangeran Danupoyo (Mas Alit) adik Amangkurat I pada tahun yang sama karena menentang penumpasan tokoh tokoh senior. Pangeran Danupoyo terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpinnya, selesai dengan Pangeran Danupoyo, Amangkurat I lantas [[Pembantaian ulama oleh Amangkurat I|membantai ribuan ulama beserta keluarganya]] yang dianggap mendukung pergerakan Pangeran Danupoyo, dalam peristiwa pembantaian ini, Amangkurat I berpesan agar tidak ada satu ulamapun yang diloloskan.<ref>de Graaf, Hermanus Johannes, 1962. De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677, [[Leiden]]: Brill</ref>
 
Amangkurat I dikenal sebagai seorang penguasa yang dekat dengan Belanda, ketika Sultan Abdul Karim naik tahta di [[kesultanan Cirebon]], Amangkurat I dihadapkan dengan fakta bahwa belum seluruh pulau Jawa mengakui eksistensi Mataram sebagai sebuah kerajaan, [[kesultanan Banten]] salah satunya, ketika Sultan Abdul Karim tengah berkunjung ke Mataram, Amangkurat I meminta bantuannya membujuk [[kesultanan Banten]] agar mau bersahabat dengan Mataram dan menghentikan serangannya kepada Belanda.<ref name=erwantoro/>
 
=== Banten bersiap perang ===
Baris 104 ⟶ 115:
Pembicaraan yang terkesan lebih hangat karena dilakukan langsung antar keluarga besar kemudian digelar di Surosowan, Pangeran Martasari menyampaikan pesan dari [[Mataram]] agar Sultan Banten mau bertemu dengan Raja Mataram [[Amangkurat I]], mengakui eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda.<ref name=erwantoro/> Sultan Abul Mafakhir dengan segera menolak untuk pergi ke Mataram menemui raja [[Amangkurat I]], Sultan Abul Mafakhir berkata kepada pangeran Martasari dan rombongan [[kesultanan Cirebon]]
 
{{Cquote|isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun<br><br>saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri<ref name=titik2/> (sultan Mekah yaitu [[Mehmed IV]])}}
 
Pada pertemuan itu, Pangeran Surya (yang pada kemudian hari menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) mengajak kepada rombongan Cirebon agar [[kesultanan Cirebon]] lebih baik bersekutu dengan [[kesultanan Banten]] daripada dengan Mataram, Pangeran Surya mengingatkan bahwa Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan [[kesultanan Cirebon]].<ref name=erwantoro/>
 
Sikap Sultan Banten Abul Mafakhir kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Sultan Cirebon, Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sangat marah dengan kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta untuk meyakinkan [[Kesultanan Banten]] agar mau mengakui Mataram.<ref name=titik2/>
 
=== Sultan Abdul Karim ditahan oleh Mataram ===
 
Pada tahun 1650, setelah kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta, Amangkurat I mengundang Sultan Abdul Karim ke Mataram untuk acara syukuran kenaikan tahta Sultan Abdul Karim sebagai Sultan Cirebon. Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya,<ref name=iswara/> pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, pada tahun 1650 [[Amangkurat I]] dari Mataram mengundangnya beserta kedua anaknya yaitu Pangeran Kartawijaya dan saudaranya untuk berkunjung ke keraton Mataram di [[kota Gede]] sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon<ref>Ekajati, Edi Suhardi. 2003. Sejarah Kuningan: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten. [[Bandung]] : Kiblat Buku Utama</ref> dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya.<ref name=iswara>{{Cite web |url=http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ |title={{!}} Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. &#91;&#91;kota Bandung{{!}}Bandung&#93;&#93;: Universitas Pendidikan Indonesia |access-date=2019-08-24 |archive-date=2016-12-25 |archive-url=https://web.archive.org/web/20161225115911/http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ |dead-url=yes }}</ref>
 
== Perang Pacirebonan ==
Baris 122 ⟶ 133:
Pada pagi hari seluruh warga, ''ponggawa'', menteri dan aparat desa serta pedagang diperintahkan oleh Sultan Abul Mafakhir untuk berkumpul di alun alun, semua yang hadir mendekat ke ''siti hinggil'' Surosowan, di sana Sultan Abul Mafakhir berkata,
 
{{cquote| ''kabeh syami wikana, karsaning Cirebon iku arsa mangke naklukana''<br><br>kalian semua ketahuilah, keinginan Cirebon itu (sesungguhnya) ingin menaklukan (Banten)<br><br>''kaprebe yen ing besyuk kita katekan Mataram, kita iki negara alit, pastine nore kawawa musuh nagara gedhe, imbane kita punika, kadi ing wong satunggal den kembulane wong satus, yadyan kulita tambaga, kadi karubuwan wukir, nanging to lah isun sangga, sakawawa-wawaningwang, ora yen isun arepa taluk maring Mataram, amung to lah ratuisyun kanjeng sultan Jahed Mekah, iku ingkang amberkati, nanging syih iku menawa ing besyuk wong anom anom kang arep taluk marana, maring Ratu Mataram iku, silih karepisun, kaprebe ing wong kathah?''<br><br>bagaimana jika kelak kita diserbu Mataram, kita negara kecil pasti tidak seimbang jika melawan negara besar, ibaratnya kita ini seperti orang satu dikeroyok orang seratus walaupun kulitnya (dari) tembaga,(ibaratnya) seperti kerubuhan gunung, tetapi bagaimanapun akan aku sangga sekuat-kuatku, bagaimanapun aku tidak akan mau takluk kepada Mataram, rajaku hanyalah Kanjeng Sultan Jahed (di) Mekah (yang dimaksud adalah Zaid bin Muhsin, Syarif Mekah di bawah sultan Mehmed IV), itu yang memberkati Banten, tetapi itu sih kalaupun kelak yang muda-muda mau takluk ke sana kepada Raja Mataram itu berbeda dengan keinginanku, bagaimana menurut kalian semua?<ref name=titik2/>}}
 
Perkataan Sultan Abul Mafakhir dijawab oleh semua yang hadir di alun-alun Surosowan bahwa lebih baik [[kesultanan Banten]] hancur daripada harus takluk kepada Mataram. Sultan Banten lantas memerintahkan agar semua bersiap berperang, seluruh senjata dikeluarkan dari seluruh ''pasowan'' (balai pertemuan) yang ada, senjata telah tersedia di dua ''pasowanan'', dua orang pengawal yang berada di sana yaitu Tubagus Atmaja dan Tubagus Wiranantaya meyakinkan Sultan Banten bahwa senjata telah siap digunakan kapanpun. Sultanpun memerintahkan agar seluruh bala tentara berbaris rapi di Warutanjak, Sultan membagi-bagikan tugas kepada yang hadir di sana.<ref name=titik2/>