Kertajaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ibuku (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Nusantara1945 (bicara | kontrib)
k Perbaikan Pengetikan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(17 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3:
|name = Kertajaya
|image =
|title = Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita SrenggalancanaSrengga Lancana Digjaya Uttunggadewa
|birth_date = [[Daha]]
|birth_place = [[Jawa Timur]]
Baris 10:
|place of burial =
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|issue = Jayasabha (menurut kitab [[Nagarakretagama]]
| succession = [[Panjalu|Raja [[Panjalu]] terakhir
| reign = [[1194]] - [[1222]] M
| predecessor = [[Kameswara]]
| religion = [[Hindu]]
|regnal name = Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Sarwweśwara Triwikramāwatārānindita Parākrama Śṛṅgalāncana Digjayottunggadewanāma
}}
 
'''Sri Maharaja Srengga''' atau '''Sri Digjaya Resi''' dikenal sebagai '''Kertajaya''', padadalam [[kitab pararatonPararaton]] disebut juga dengan '''Dhandhang Gendhis''' meninggal pada tahun [[1222]], adalah raja terakhir dari [[kerajaanKerajaan Kadiri|Panjalu]] yang memerintah sekitar tahun (1194-12221188–1222). Di akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai [[dewa]]. Kertajaya atau prabu [[Srengga]] dikalahkan oleh [[Ken Arok]] (atau Sri Ranggah Rajasa) dari [[Tumapel]] atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa kerajaan Panjalu.<ref>https://www.britannica.com/biography/Kertajaya</ref>
 
== Sejarah ==
[[Image:Sapu_Angin_Inscription.jpg|180px|thumb|Gambar bentuk ''lanchana'' Kertajaya pada prasasti [[prasasti Sapu Angin|Sapu Angin]] dikeluarkan saat masih menjadi putra mahkota]]
 
Dalam [[bahasa Sanskerta]], Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya yang digunakan ialah '''Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita SrenggalancanaSrengga Lancana Digjaya Uttunggadewa'''.
 
Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam [[prasasti Sapu Angin]] (1190), [[prasasti GalunggungKamulan]] (1194), [[prasasti KamulanPalah]] (11941197), [[prasasti PalahMleri II]] (11971198), [[Prasasti Galunggung]] (1201), [[prasasti Biri]] (1202), [[prasasti Tuliskriyo]] (1202), [[prasasti Sumberingin Kidul|prasasti Sumberingin]] (1204), [[prasasti Lawadan]] (1205), [[prasasti Cemandi]] (1205) dan [[prasasti Merjosari]] (1216).
Nama Kertajaya terdapat di prasasti dan disebut dalam kitab ''[[Nagarakretagama]]'' karya pujangga masa [[Majapahit]] bernama [[Mpu Prapanca]], yang dibuat ratusan tahun setelah zaman [[Kadiri]].
 
Nama Kertajaya terdapatmerupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti danjuga disebutdisebutkan dalamdi kitab[[kakawin]] ''[[Nagarakretagama]]'' karya pujangga masa [[Majapahit]] bernama [[Mpu Prapanca]], yang dibuat ratusan tahun setelah zaman [[Kadiri]].
Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam [[prasasti Sapu Angin]] (1190), [[prasasti Galunggung]] (1194), [[prasasti Kamulan]] (1194), [[prasasti Palah]] (1197), [[prasasti Biri]] (1202), [[prasasti Tuliskriyo]] (1202), [[prasasti Sumberingin Kidul|prasasti Sumberingin]] (1204), [[prasasti Lawadan]] (1205) dan [[prasasti Merjosari]] (1216).
 
== Pemberontakan Ken Arok ==
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
Dalam [[Kitab Pararaton]] Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama '''Prabu Dhandhang Gendhis''', dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi kestabilan sosial [[kerajaan Kadiri]] mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan [[pendeta]], kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku [[otoriter]] terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam [[Tantu Panggelaran|Kitab Tantu Panggelaran]], di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan ''Śrī Mahārāja Taki''.
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)
 
Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan bahwa ŚrīSri MahārājaMaharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
{{cquote|"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu
hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)
 
DiceritakanTurut diceritakan dalam teks naskah ''[[Pararaton]]'' bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya [[dewa]]. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-
 
Baris 84 ⟶ 82:
Perang antara Tumapel dan Panjalu terjadi dengan begitu sengit di dekat wilayah Ganter (sekarang Dusun Ganten, [[Ngantang, Malang]]). Para panglima perang Panjalu yaitu '''Mahisa Walungan''' (adik Dandhang Gendis) dan '''Gubar Baleman''' mati di tangan [[Ken Arok]]. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.
 
''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa) ,yang memiliki makna kematiannya Kertajaya.
 
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.
 
== Kadiri menjadi bawahan Tumapel ==
Sejak kekalahan Kertajaya dalam pertempuran Ganter (palagan Ganter), pada tahun [[1222]] Panjalu menjadi daerah bawahan [[Tumapel]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat [[Ken Arok]] sebagai wakil bupatiadipati [[Kadiri]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama [[Jayakatwang]] yang menjadi bupatiadipati [[Gelanggelang]]. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel yang juga dikenal dengan [[Singhasari]].
 
Menurut keterangan yang didapat di dalam [[prasasti Mula Malurung]] (1255 M), menyebutkan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah [[Mahesa Wong Ateleng|Bhatara Parameswara]] putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Sementara Jayakatwang menurut [[Prasasti Kudadu|prasasti Penanggungan {{fact}}]] adalah bupatiadipati Gelang-Gelang ([[Madiun]]-[[Ponorogo]]), yang kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel atau [[Singhasari]] di tahun [[1292]].
 
== Daftar pustaka ==