Kesultanan Buton: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Envapid (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: gambar rusak VisualEditor
 
(7 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 24:
| common_languages = {{bulleted list|[[Bahasa Wolio|Wolio]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Cia-cia|Cia-cia]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Kulisusu|Kulisusu]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Tukang Besi|Kaumbeda]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Moronene|Moronene]],{{butuh rujukan}} dan|[[Bahasa Muna|Muna]]{{butuh rujukan}}}}
| government_type = [[Kesultanan]]
| title_leader = Sultan (''Yang Mulia Mahaguru'')<br>Sara Pangka (Eksekutif),<br> Sara Gau (Legislatif),<br> Sara Bitara (Yudikatif), Sultan
| currency =
| footnotes =
| p3 = Kesultanan Gowa
| flag_p3 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
}}
 
Baris 38 ⟶ 40:
{{main|Sejarah Buton (Wolio)}}
=== Sejarah Awal ===
Kerajaan [[Buton]] awalnya terdiri dari perkampungan kecil yang dinamakan '''Wolio''' (saat ini berada dalam wilayah [[Kota Bau-Bau]]) yang dipimpin dengan sistem pemerintahan tradisional dan berbentuk 4 '''Limbo''' (Empat Wilayah Kecil) yaitu '''Gundu-gundu''', '''Barangkatopa''', '''Peropa''' dan '''Baluwu''' yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang '''Bonto ''' sehingga lebih dikenal dengan '''Patalimbona'''. PemerintahannyaPemerintahan ini dirintis oleh kelompok [[Mia Patamiana]] (si empat orang) yaitu '''Sipanjonga''', '''Simalui''', '''Sitamanajo''', '''Sijawangkati''' yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah [[Melayu]] pada akhir abad ke – 13.<ref name="Pemkot Baubau"/>
 
Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti '''Tobe-tobe''', '''Kamaru''', '''Wabula''', '''Todanga''' dan '''Batauga'''. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu '''kerajaan Buton''' dan menetapkan [[Wa Kaa Kaa]] (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan [[Kerajaan Majapahit]]) menjadi Raja I pada tahun [[1332]] setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (yang dikemudian hari menjadi lembaga legislatif). [[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau [[Buton]] di dalam bukunya, [[Kakawin Nagarakretagama]].
 
Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti ''Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga'' dan ''Batauga''. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan [[Wa Kaa Kaa]] (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan [[Kerajaan Majapahit]]) menjadi Raja I pada tahun [[1332]] setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (yang dikemudian hari menjadi lembaga legislatif). [[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau [[Buton]] di dalam naskah [[Kakawin Nagarakretagama]], yang membuktikan adanya hubungan.<ref name="Pemkot Baubau">{{cite web | title=Pemerintah Kota Baubau | website=Selamat datang | url=https://web.baubaukota.go.id/pages_detail/sejarah-kota-baubau | language=id | access-date=2023-11-27}}</ref>
 
=== Raja Buton Masuk Islam ===
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa [[Kerajaan Bone]] di [[Sulawesi]] lebih dulu menerima agama [[Islam]] yang dibawa oleh [[Datuk ri Bandang]] yang berasal dari [[Minangkabau]] sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya [[Sayid Jamaluddin al-Kubra]] lebih dulu sampai di Pulau [[Buton]], yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh [[Raja]] [[Mulae Sangia i-Gola]] dan baginda langsung memeluk [[agama]] [[Islam]]. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang dikatakan datang dari [[Johor]]. Ia berhasil mengislamkan [[Raja]] [[Buton]] yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
 
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] di [[Buton]]. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al- Fathani]], diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan [[Kerajaan]] [[Buton]], didapati semua penduduknya beragama [[Islam]].<ref>{{Cite book|last=mubarok|first=frenky|date=2023|title=fungsi, jejaring, & budaya naskah nusantara|location=depok|publisher=Manassa|isbn=9786026018267|pages=122|url-status=live}}</ref>
 
Selain pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Johor]], ada pula pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Ternate]]. Dipercayai orang-orang [[Melayu]] dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau [[Buton]]. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun [[Bahasa]] yang digunakan dalam [[Kerajaan]] [[Buton]] ialah [[bahasa]] [[Wolio]], namun dalam masa yang sama digunakan [[Bahasa]] [[Melayu]], terutama [[bahasa]] [[Melayu]] yang dipakai di [[Malaka]], [[Johor]] dan [[Patani]]. Orang-orang [[Melayu]] tinggal di Pulau [[Buton]], sebaliknya orang-orang [[Buton]] pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang [[Bugis]] juga. Orang-orang [[Buton]] sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia [[Melayu]] dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
 
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaituyaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau [[Halu Oleo]]. Bagindalah yang diislamkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang datang dari [[Johor]]. Menurut beberapa riwayat bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] sebelum sampai di [[Buton]] pernah tinggal di [[Johor]]. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke [[Adonara]]. Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau [[Batu atas]] yang termasuk dalam pemerintahan [[Buton]].
[[Berkas:Rajaterakhir4.jpg|jmpl|300px|Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama [[Soekarno]]]]
Di Pulau [[Batu atas]], [[Buton]], [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] bertemu [[Imam Pasai]] yang kembali dari [[Maluku]] menuju [[Pasai]] ([[Aceh]]). [[Imam Pasai]] menganjurkan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] pergi ke [[Pulau Buton]], menghadap Raja [[Buton]]. [[Syeikh Abdul Wahid]] setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah [[Raja]] [[Buton]] memeluk [[Islam]], Baginda langsung ditabalkan menjadi [[Sultan Buton]] oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] pada tahun 948 H/1538 M.
Baris 71 ⟶ 72:
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja ataupun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
 
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara [[Patani]] dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahwa orang Buton sembahyang Jum'at di Ternate.
 
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan [[Martabat Tujuh]]. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
Baris 99 ⟶ 100:
 
== Birokrasi Kesultanan ==
Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat negeri tersusun dalam suatu sistem tata pemerintahan dimana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah Kesultanan Buton tersebut lerdiriterdiri alasatas Wilayah Inti, [[Suku Moronene|Moronene]] dan Barata. Dalam perkembangannya setelah agama Islam menjadi agama resmi bagi masyarakat Kerajaan Buton. Wilayah Kesultanan ya meliputi pulau Buton secara keseluruhan, pulau Muna bagian selatan, kepulauan Tukang Besi, pula Wawonii dan Jazirah Tenggara daratan pulau Sulawesi. Undang-undang "[[Murtabat Tujuh Kesultanan Buton]]" ditetapkan sejak tahun 1610 di masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin (1579- 1631). Undang-undang tersebut mengenal tiga tingkatan pemerintahan.<ref name=":0" />
 
* Pertama: Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio" meliputi tiga unsur yaitu; (1) Sultan, (2) Badan Sarana Wolio yang terdiri atas Pasopitumatana, Siolimbona, Sarana Hukumu dan (3) Staf khusus kesultanan.
Baris 105 ⟶ 106:
* Keliga: Pemerintahan Barata "Sarana Barata", meliputi Lakina/ Kepala Barata, sapati, Kanepulu, Bonto Ogena, Kapatilau, dan Lakina Agama.
 
Dengan susunan dan tingkatan seperti demikian maka jabatan tertinggi adalah Sultan. Pada tingkat pemerintahan wilayah (Kadie) 27 dipimpin Babato atau Bonto dan pada tingkat pemerintahan Barata dipimpin oleh Lakina Barata.<ref name=":0" />
 
=== Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio"<ref name=":0">{{Cite book|last=Zuhdi dkk|first=Susanto|date=1996|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/12819/1/Kerajaan%20tradisional%20sulawesi%20tenggara%20kesultanan%20buton.pdf|title=Kerajaan tradisional sulawesi tenggara kesultanan buton|location=Jakarta|publisher=Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (CV. Defit Prima Karya)|pages=26-32|url-status=live}}</ref> ===
 
# Sultan, adalah kepala Negara yang memimpin pemerintahan, pemimpin umat dan keagamaan yang memegang kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Dalam rangka mengemban tugas yang mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat lahir dan bathin. Sultan menjalankan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
Baris 132 ⟶ 133:
== Politik ==
 
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan [[Majapahit]], [[Kedatuan Luwu|Luwu]], [[Kerajaan Konawe|Konaw]]<nowiki/>e, dan [[Kerajaan Muna|Muna]]. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan [[uang]] yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem [[Desentralisasi]] (otonomio[[Daerah otonom|tonomi daerah]]) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
 
== Masyarakat ==
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperoleh dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
 
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu sering kali memunculkan konflik yang berujung kepada [[perang saudara]], bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
 
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung]]. Ada pula yang berasal dari [[Jawa]] yaitu Sri Batara dan [[Raden Jutubun]] yang merupakan putra dari [[Jayanagara|Jayanegara]].
 
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
 
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak [[Gajah Mada]] mengumumkan [[Sumpah Palapa|sumpah palapa]]-nya. Pada masa itu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]] mengalami kemunduran. Begitu juga [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]]. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
 
== Perekonomian ==
Baris 172 ⟶ 173:
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah [[kesultanan]], juga mulai membangun [[benteng]] dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan [[masyarakat]] dan [[pemerintah]] dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa [[Kerajaan]]/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun [[1332]] dan berakhir tahun [[1960]]) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan [[sejarah]], [[budaya]] dan [[arkeologi]]. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Dengan wacana p [http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html embentukan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527122800/http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html |date=2015-05-27 }} '''[http://www.kepbutonraya.com/ Provinsi Kepulauan Buton] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527185131/http://kepbutonraya.com/ |date=2015-05-27 }}''' yang terdiri dari [[Kabupaten Buton]], [[Kabupaten Wakatobi]], [[Kabupaten Buton Utara]], [[Kota Bau-Bau]], [[Kabupaten Buton Selatan]], dan [[Kabupaten Buton Tengah]]. Serta tiga daerah yang masuk dalam [[Sulawesi Tenggara|Provinsi Sulawesi Tenggara]] [[Kabupaten Konawe Kepulauan]], [[Kabupaten Bombana]], [[Kabupaten Muna]].
 
== Daftar Sultan Kesultananpenguasa Buton ==
'''3)=== Daftar sultanRaja / List of sultans<br>'''===
# Ratu ke I: [[Wa Kaa Kaa]]
 
# Ratu ke II: [[Bulawambona]]
1) 1491-1537: Sultan Murhum
# Raja ke III: [[Bataraguru]]
 
# Raja ke IV: [[tua rade|Tua Rade]]
2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi
# Raja ke V: [[Mulae]]
 
# Raja ke VI: La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / [[Murhum]]
3) 1566-1570: Sultan La Sangaji
 
4) 1578-1615: Sultan La Elangi
 
5) 1617-1619: Sultan La Balawo
 
6) 1632-1645: Sultan La Buke
 
7) 1645-1646: Sultan La Saparagau
 
8) 1647-1654: Sultan La Cila
 
9) 1654-1664: Sultan La Awu
 
10) 1664-1669: Sultan La Simbata
 
11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
 
12)1680-1689: Sultan La Tumpamana
 
13) 1689-1697: Sultan La Umati
 
14) 1697-1702: Sultan La Dini
 
15) 1702: Sultan La Rabaenga
 
16) 1702-1709: Sultan La Sadaha
 
17) 1709-1711: Sultan La Ibi
 
18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi
 
19) 1712-1750: Sultan Langkarieri
 
20) 1750-1752: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
 
21) 1752-1759: Sultan Hamim
 
22) 1759-1760: Sultan La Seha
 
23) 1760-1763: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
 
24) 1763-1788: Sultan La Jampi
 
25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu
 
26) 1791-1799: Sultan La Kopuru
 
27) 1799-1823: Sultan La Badaru
 
28) 1823-1824: Sultan La Dani
 
29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
 
30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa
 
31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
 
32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar
 
33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
 
34) 1914: Sultan Muh. Husain
 
35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali
 
36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
 
===Daftar sultan===
37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
# 1491-1537: Sultan Murhum
# 1545-1552: Sultan La Tumparasi
# 1566-1570: Sultan La Sangaji
# 1578-1615: Sultan La Elangi
# 1617-1619: Sultan La Balawo
# 1632-1645: Sultan La Buke
# 1645-1646: Sultan La Saparagau
# 1647-1654: Sultan La Cila
# 1654-1664: Sultan La Awu
# 1664-1669: Sultan La Simbata
# 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
# 1680-1689: Sultan La Tumpamana
# 1689-1697: Sultan La Umati
# 1697-1702: Sultan La Dini
# 1702: Sultan La Rabaenga
# 1702-1709: Sultan La Sadaha
# 1709-1711: Sultan La Ibi
# 1711-1712: Sultan La Tumparasi
# 1712-1750: Sultan Langkarieri
# 1750-1752: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1752-1759: Sultan Hamim
# 1759-1760: Sultan La Seha
# 1760-1763: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1763-1788: Sultan La Jampi
# 1788-1791: Sultan La Masalalamu
# 1791-1799: Sultan La Kopuru
# 1799-1823: Sultan La Badaru
# 1823-1824: Sultan La Dani
# 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
# 1851-1861: Sultan Muh. Isa
# 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
# 1886-1906: Sultan Muh. Umar
# 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
# 1914: Sultan Muh. Husain
# 1918-1921: Sultan Muh. Ali
# 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
# 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
# 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis
 
== Budaya ==
38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis
Meskipun menganut agama islam, masyarakat buton memiliki kepercaan akan adanya reinkarnasi pada seorang ulama. Salah satu kisahnya adalah kisah pada masa pemerintahan raja Mulae (Akhir Abad 15), terjadi percakapan antara syekh Abdul Wahid dan gurunya, [[Ahmed bin Chais]]. Yang terakhir menyuruh Abdul Wahid pergi dari [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] ke Buton. Dia bilang "Nanti di masa cucu kalian, saya akan datang ke Buton untuk menyempurnakan adat istiadat kalian". Ketika masa cucu Abdul Wahid hidup, yang bernama [[Imam Malanga]], datanglah ulama kedua ke Buton, yakni [[Firus Muhammad]]. Pada saat bersamaan lahirlah Mardana Ali, yang akan menjadi sultan pada 1647 hingga 1654.Lantas ulama tersebut mencari bayi dan menyakini sebagai reinkarnasi dari Ahmed bin Chais.<ref>{{Cite journal|last=Schoorl|first=J. W.|date=1985|title=Belief in Reincarnation on Buton, S.e. Sulawesi, Indonesia|url=https://www.jstor.org/stable/27863639|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=141|issue=1|pages=103–134|issn=0006-2294}}</ref>
 
== Pranala luar ==