Peristiwa Tanjung Priok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual VisualEditor
Heavenlyjump (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(1 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 5:
| image = [[Berkas:Tragedi_Tanjung_Priok.jpeg|300px]]
| caption =
| date = 13{{date Septemberand age|1984|9|12|df=yes}}
| place = [[Tanjung Priok, Jakarta (disambiguasi)Utara|Tanjung Priok]], [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], Indonesia
| coordinates =
| causes =
Baris 13:
| result = lihat [[#Akibat|Akibat]]
| methods = Penembakan
| side1 = {{Flagicon image|Flag of the Indonesian National Armed Forces (until 1999).png}} [[Tentara Nasional Indonesia]]
| side2 = Warga muslim Tanjung Priok
| side3 =
| leadfigures1 = {{flagicon|IDN}} [[Try Sutrisno]]<br/>{{flagicon|IDN}} [[Leonardus Benyamin Moerdani]]
| leadfigures2 = [[Amir Biki]]
| leadfigures3 =
| howmany1 = Tidak diketahui
Baris 29:
}}
 
'''Peristiwa Tanjung Priok''' adalah peristiwa [[kerusuhan]] yang terjadi pada [[12 September]] [[1984]] di [[Tanjung Priok, (disambiguasi)Jakarta Utara|Tanjung Priok]], [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], [[Indonesia]] yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.<ref name="BourchierHadiz2003">{{cite book|author1=David Bourchier|author2=Vedi R. Hadiz|title=Indonesian Politics and Society: A Reader|url=http://books.google.com/books?id=wgOOTMKCGRYC&pg=PA140|year=2003|publisher=RoutledgeCurzon|isbn=978-0-415-23750-5|page=140}}</ref><ref>{{cite book|title=Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942-1998|url=http://books.google.com/books?id=AgwfAR3uTVcC&pg=PA642|year=2008|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=978-979-407-412-1|page=642}}{{Pranala mati|date=Juni 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.<ref>{{Citation | last = Linton | first = S | title = Accounting for Atrocities in Indonesia | journal = The Singapore Year Book of International Law | year = 2006 | volume = 10 | page = 199–231 | url = http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SYBIL-2006/SYBIL-2006-199.pdf | accessdate = 12 September 2011 | language = Inggris}}</ref>
 
==Latar Belakang==
Baris 56:
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ''[[ad hoc]]'' untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.{{sfn|Junge|2008|hlm=21}} Presiden [[Abdurrahman Wahid]] juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Hasil islah tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik [[M.A. Rachman]] bahwa tuntutan harus dijatuhkan.{{sfn|Junge|2008|hlm=23}} Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}}
 
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan;{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}}{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}} Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel [[Sutrisno Mascung]], pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden [[Soeharto]] dan mantan Menteri Kehakiman [[Ismail Saleh]].{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Soeharto blamed}} Penuntutan dipimpin oleh [[Widodo Supriyadi]], dan Wakil Ketua DPR [[A.M. Fatwa]] bertugas sebagai saksi penuntutan.{{sfn|Taufiqurrahman 2004, I was tortured}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Court urged to pursue}} Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan.{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}} Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}} Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung Republik Indonesia]] RI.{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}
 
<!--
Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan [[subversif]], lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran [[hak asasi manusia]] pada peristiwa tersebut.<ref name="Foundation2007">{{cite book|author=LONTAR Foundation|title=Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images|url=http://books.google.com/books?id=SBUlQq7sz9cC&pg=PA202|year=2007|publisher=Lontar Foundation|isbn=978-9971-69-358-9|page=202}}</ref>
 
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah [[Sejarah Indonesia (1966-1998)|Orde Baru]] waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan asas tunggal [[Pancasila]]. Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan penangkapan seorang dari kelompok massa yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
 
Komandan yang paling bertanggung jawab atas hal ini adalah mantan wakil presiden Tri Sutrisno yang pada saat itu menjabat sebagai [[Try Sutrisno#KODAM V.2FJaya dan Insiden Tanjung Priok|Panglima KODAM V/Jaya]]
== Latar Belakang ==
Peristiwa ini diawali oleh tindakan oknum [[ABRI]], bernama Sersan Satu Hermanu yang mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau '[[SARA]]'. Namun Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, lalu menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan lebih dari itu ia menginjak-injak [[Al-Qur'an]]. Warga pun terpacing emosi dan Marah dan motor Sersan Hermanu pun dibakar Massa. Buntutnya, empat orang pengurus mushala ditangkap [[Kodim]]. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang pengurus yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.
 
Pada Tanggal 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal [[Pancasila]] lalu Malam harinya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dan lainnya. Menuntut Aparat agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita !"
 
== Peristiwa ==
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara).sebenarnya Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para Jamaah jatuh tersungkur dengan berlumuran darah. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau,gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.
 
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung Priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.
 
== Sumber ==
* Majalah Sabili
* TabloiD hikmah
* {{id}} [http://danilkasputrasejarah.blogspot.com/2011/07/peristiwa-tanjung-priok.html wwww.DanilKasputraSejarah.blogspot.com]-->
 
== Referensi ==
;Catatan kaki