Bahasa Jawa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pieselection77 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Gaung Tebono (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android App section source
 
(32 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
| imagecaption =
| pronunciation = [basa d͡ʒawa] <small>(dialek barat)</small><br>
[bɔsɔ d͡ʒɔwɔ] <small>(dialek tengah & timur)</small><br> [basə d͡ʒawə] <small>(dialek Serang)</small>
| states = {{plainlist|
*{{flag|Indonesia}}
Baris 15:
*{{flag|Kaledonia Baru}}
}} dan negara-negara lainnya
| region = {{flagicon image|Flag of Province of Central Java.svg}} [[Jawa Tengah]],<br>{{flagicon image|Flag of Yogyakarta.svg}} [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]<br>{{flagicon image|Flag of East Java.svg}} [[Jawa Timur]];<br>{{flagicon image|Flag of Lampung.svg}} [[Lampung]] <br>dan wilayah transmigrasi lainnya di [[Indonesia]]; daerah dengan diaspora Jawa yang signifikan di [[Belanda]], [[Suriname]], [[Malaysia]], dan [[Kaledonia Baru]]
| ethnicity = {{plainlist|
*[[Suku Jawa|Jawa]]
Baris 24:
| speakers = {{sigfig|58,4|3}} juta [[bahasa ibu|penutur jati]]
| date = 2023
| ref = <ref name=":2">{{Cite web|last=Wulandari|first=Trisna|title=Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?|url=https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badan-bahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-11-25}}</ref>
| familycolor = Austronesia
| fam2 = [[bahasa<!-- PARAMETER USANG Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]]>
| ancestor = [[Bahasa Jawa Kuno]]
| ancestor2 = [[Sastra Jawa Pertengahan|Bahasa Jawa Pertengahan]]
Baris 35:
|datastyle= text-align:left
|header1= [[#Dialek|''Lihat bagian dialek]]
|data2={{Tree list}}{{Dialeksilsilah bahasa Jawa/skema/JAV}}{{Tree list/end}}}}
| script = [[Alfabet Latin]]<br/>[[Aksara Jawa]]<br/>[[Abjad Pegon]]
| nation = [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]<ref name="perda-no-2-tahun-2021" />
Baris 62:
| HAM = ya
| contoh_cat = (Ditulis dalam [[aksara Jawa]] dan [[Pegon]])&nbsp;
|contoh_teks={{PWB norm text|Aksara Jawa|https://unicode.org/udhr/d/udhr_jav_java.html|mati}}<div style="line-height:1.7;">{{Lang|jv|꧋ꦱꦧꦼꦤ꧀ꦲꦸꦮꦺꦴꦁ ꦏꦭꦲꦶꦂꦫꦏꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦩꦂꦢꦶꦏ ꦭꦤ꧀ꦢꦂꦧꦺ ꦩꦂꦠꦧꦠ꧀ꦭꦤ꧀ꦲꦏ꧀ꦲꦏ꧀ꦏꦁ ꦥꦝ꧉ ꦏꦧꦺꦃ ꦥꦶꦤꦫꦶꦁꦔꦤ꧀ꦲꦏꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦏꦭ꧀ꦧꦸ ꦱꦂꦠ ꦏꦲꦗꦧ꧀ꦥꦱꦿꦮꦸꦁꦔꦤ꧀ꦲꦁꦒꦺꦴꦤ꧀ꦤꦺ ꦩꦼꦩꦶꦠꦿꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶ ꦭꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶꦤꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦗꦶꦮ ꦱꦸꦩ ꦢꦸꦭꦸꦂ꧉​ꦢꦸꦭꦸꦂ꧉}}</div>
{{PWB norm text|Pegon}}
{{rtl-para|سابَين أووَوڠ كالائيراكَي كانڟي مرديكا لان داربَي مرتبة لان حق كاڠ ڤاڎا. كابَيه ڤيناريڠان أكال لان كالبو سارتا كاأجاب ڤاسراوُونڠان أڠڮَونَي مَيميتران سيجي لان كانڟي جيوا سومادولور.}}
Baris 70:
| notice = IPA
| notice2 = Jawa
| catatan =<references group="ib"/>
}}
 
'''Bahasa Jawa''' atau '''Alfabet Jawa''' adalah bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku [[suku Jawa|Jawa]] di wilayah bagian tengah dan timur [[pulau Jawa]]. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa di wilayah lain di Indonesia, seperti di [[Sumatra]] dan [[Kalimantan]]; serta di luar Indonesia seperti di [[Suriname]], [[Belanda]], dan [[Malaysia]]. Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2">{{Cite web|last=Wulandari|first=Trisna|title=Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?|url=https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badan-bahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-11-25}}</ref> Sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]], bahasa Jawa juga berkerabat dengan bahasa [[bahasa Melayu|Melayu]], [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Bali|Bali]] dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, meskipun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya dalam rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus [[bahasa resmi]] di [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] di samping [[bahasa Indonesia]].
 
Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa [[bahasa Jawa Kuno|Jawa Kuno]], yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa [[#Bahasa Jawa Baru|Jawa Baru]] sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan [[aksara Brahmik|sistem aksara dari India]] yang kemudian diadaptasi menjadi [[aksara Jawa]], walaupun bahasa Jawa masa kini lebih sering ditulis dengan [[alfabet Latin]]. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah [[bahasa Melayu]].
Baris 80 ⟶ 81:
== Klasifikasi ==
[[Berkas:Klasifikasi bahasa Jawa.png|jmpl|ka|300px|Posisi bahasa Jawa (ditebalkan) dalam rumpun bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] menurut beberapa skema klasifikasi ahli bahasa dari masa ke masa.]]
Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.{{sfnsfnp|Dyen|1965|p=26}}{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}} Namun, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode [[leksikostatistik]], pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]] dan bahasa-bahasa "Melayik".{{efn|Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa [[bahasa Madura|Madura]] dan bahasa [[bahasa Aceh|Aceh]].}}{{sfnsfnp|Dyen|1965|p=26}}{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}} Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda, [[bahasa Madura|Madura]], dan [[bahasa Melayu|Melayu]]).{{sfnsfnp|Nothofer|1975|p=1}}
 
Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritik dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.{{sfnsfnp|Blust|1981}}{{sfnsfnp|Adelaar|2005|pp=357, 385}} Ahli [[linguistik sejarah]] Austronesia [[K. Alexander Adelaar]] tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Sumbawa|Melayu-Sumbawa]] (yang mencakup bahasa-bahasa [[rumpun bahasa Melayik|Melayik]], Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.{{sfnsfnp|Adelaar|2005|pp=357, 385}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain, [[Robert Blust]], juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Borneo Utara Raya|Borneo Utara Raya]] yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.{{sfnsfnp|Blust|2010|p=97}} Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok [[Rumpun bahasa Indonesia Barat|Indonesia Barat]] (yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.{{sfnsfnp|Smith|2017|pp=443, 453–454}}
 
== Sejarah ==
Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=1}}
 
=== Bahasa Jawa Kuno ===
{{utama|Bahasa Jawa Kuno}}
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu [[Prasasti Sukabumi]], berasal dari tahun 804 Masehi.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=2}} Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah ''kawi'' 'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara [[aksara Pallawa|Pallawa]] yang berasal dari India.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=2}} Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]], walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=2}}
 
Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=8}}
 
=== Bahasa Jawa Baru ===
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=1}} Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah [[pasisir|pantai utara Jawa]] yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}} Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi [[Abjad Arab|huruf Arab]] dan menyesuaikannya menjadi [[Abjad Pegon|huruf Pegon]].{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=1}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}
 
Kebangkitan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|p=57}} Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ''[[ngoko]]'' dan ''[[krama]]''.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=11}} Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=11}}
 
Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam [[aksara Jawa]], walaupun kemudian [[alfabet Latin]] juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}
 
== Demografi dan persebaran ==
[[Berkas:Numbers of Javanese speakers by province (dec point).svg|jmpl|500px|Jumlah penduduk setiap provinsi di Indonesia yang menggunakan bahasa Jawa sebagai [[bahasa ibu]], berdasarkan [[Sensus Penduduk Indonesia 2010|sensus 2010]].]]
 
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan komunitas [[bahasa ibu|penutur jati]] yang besar.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2" /> Sayangnya, 27% orang Jawa tidak lagi menuturkan bahasa ini di lingkup keluarga. Hal ini mendorong bahasa Jawa ke jurang kemunduran bahasa.<ref name=":2" />
 
Sebagian besar penutur bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah penutur jati bahasa Jawa yang berasal dari provinsi [[Jawa Tengah]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur]] mencakup 83% dari total jumlah penutur jati bahasa Jawa di Indonesia.{{sfnsfnp|Naim|Syaputra|2011|p=53}} Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa juga dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di [[Lampung]], sebagian wilayah [[Riau]], [[Jambi]], [[Kalimantan Tengah]], dan di tempat lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terpusat di beberapa negara, seperti di [[Suriname]], [[Hong Kong]], [[Belanda]], [[Kaledonia Baru]], dan [[Malaysia]] (terutama di pesisir barat [[Johor]]).{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|p=1}}
 
=== Status hukum ===
Bahasa Jawa ditetapkan sebagai [[bahasa resmi]] [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021.<ref name="perda-no-2-tahun-2021">{{cite web|title=Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa|url=https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/162614id/perda-provinsi-di-yogyakarta-no-2-tahun-2021|via=Database Peraturan JDIH BPK RI|accessarchive-dateurl=2021-03-19|archive-date=2021-04-13|archivedead-url=https://web.archive.org/web/20210413122928/https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/162614/perda-no|access-2date=2021-tahun03-202119|dead-urlvia=no}}</ref> Sebelumnya, [[Jawa Tengah]] menetapkan peraturan serupa—Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012—tetapi tidak menyiratkan status resmi.<ref>{{Cite web|title=Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012|url=https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|via=data.go.id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093916/https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|date=2015-09-03|title=Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas|url=https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|website=Republika Online|last=Putra|first=Yudha Manggala P.|language=id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093715/https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|dead-url=no}}</ref>
 
== Fonologi ==
Bahasa Jawa memiliki 23–25 fonem konsonan dan 6–8 fonem vokal.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=14}}{{sfnsfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=592–593}} Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=14–15, 17–18, 21–22}}
=== Vokal ===
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah [[fonem]] vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa [[E. M. Uhlenbeck]], bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan ([[alofon]]), kecuali fonem pepet {{IPA|/ə/}}.{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=27}} Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu {{IPA|/ɛ/}} dan {{IPA|/ɔ/}} yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari {{IPA|/e/}} dan {{IPA|/o/}}.{{sfnsfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}
 
{| class="wikitable" style="text-align: center;"
|+ 1. Vokal{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=66}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}
|-
!
Baris 145 ⟶ 146:
 
Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki [[alofon]] sebagai berikut:
* Fonem {{IPA|/i/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[i]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɪ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=67}}
:{|
| ||''mari''||{{IPA|[mari]}}||'sembuh'
Baris 151 ⟶ 152:
| ||''wit''||{{IPA|[wɪt]}}||'bibit'
|}
* Fonem {{IPA|/u/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[u]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ʊ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=68–69}}
:{|
| ||''kuru''||{{IPA|[kuru]}}||'kurus'
Baris 157 ⟶ 158:
| ||''mung''||{{IPA|[mʊŋ]}}||'hanya'
|}
* Fonem {{IPA|/e/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[e]}} dan {{IPA|[ɛ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=69–70}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/e/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɛ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
| ||''saté''||{{IPA|[sate]}}||'satai'
Baris 165 ⟶ 166:
| ||''kalèn''||{{IPA|[kalɛn]}}||'selokan'
|}
* Fonem {{IPA|/o/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[o]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=70–71}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/o/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
| ||''loro''||{{IPA|[loro]}}||'dua'
Baris 173 ⟶ 174:
| ||''sorot''||{{IPA|[sorɔt]}}||'cahaya'
|}
* Fonem {{IPA|/a/}} memiliki dua alofon, yaitu alofon {{IPA|[a]}} yang umumnya muncul dalam suku kata [[penultima]] (kedua terakhir) dan antepenultima (ketiga dari akhir),{{efn|[[Ultima]] merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.}} baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=71–72}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/a/}} hanya dapat direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan {{IPA|/a/}}.{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
| ||''bali''||{{IPA|[bʰali]}}||'pulang'
Baris 181 ⟶ 182:
| ||''kaya''||{{IPA|[kɔyɔ]}}||'seperti'
|}
* Fonem {{IPA|/ə/}} selalu diucapkan sebagai {{IPA|[ə]}}.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=70}}
:{|
| ||''metu''||{{IPA|[mətu]}}||'keluar'
Baris 189 ⟶ 190:
 
=== Konsonan ===
Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosakata "asli". Sekitar 2–4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=73–74}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=592}}
{| class="wikitable" style="text-align: center" |
|+ 2. Konsonan{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=73–74}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=592}}{{sfnsfnp|Nothofer|2009|p=560}}
|-
!
! [[Konsonan bibir|Labial]]
! [[Konsonan dental|Dental]]/[[Konsonan alveolar|alveolar]]{{efn|Fonem {{IPA|/n/}}, {{IPA|/l/}}, {{IPA|/r/}}, dan {{IPA|/s/}} (serta {{IPA|/z/}}) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis {{harvcoltxt|Ogloblin|2005}}, alveolar dalam analisis {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk.|2006}}, dan retrofleks dalam analisis {{harvcoltxt|Nothofer|2009}}. Fonem {{IPA|/t/}} dan {{IPA|/d/}} secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental; {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk.|2006}} secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=80}}}}
! [[Retrofleks]]
! [[Palatal]]
Baris 212 ⟶ 213:
| {{IPA|p}}&nbsp;{{IPA|b}}
| {{IPA|t}}&nbsp;{{IPA|d}}
| {{IPA|ʈ}}&nbsp;{{IPA|ɖ}}{{efn|Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk.|2006}}.}}
| {{IPA|tʃ}}&nbsp;{{IPA|dʒ}}
| {{IPA|k}}&nbsp;{{IPA|ɡ}}
| {{IPA|ʔ}}
|-
! [[Frikatif]]{{efn|{{harvcoltxt|Wedhawati, dkk.|2006}} tidak memasukkan {{IPA|/ʃ/}} dan {{IPA|/x/}} sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.}}
| {{IPA|(f)}}
| {{IPA|s}}&nbsp;{{IPA|(z)}}
Baris 241 ⟶ 242:
|
|}
Kecuali dalam kluster sengau homorganik{{efn|Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti {{IPA|/mb/}} dan {{IPA|/nd/}}.}}, fonem {{IPA|/b/}}, {{IPA|/d/}}, {{IPA|/ɖ/}}, {{IPA|/dʒ/}}, dan {{IPA|/ɡ/}} dalam posisi awal suku kata cenderung diucapkan dengan [[Aspirasi (linguistik)|aliran udara]] yang lebih besar daripada biasanya dan hampir tanpa [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]], sehingga mendekati bunyi {{IPA|[pʰ]}}, {{IPA|[tʰ]}}, {{IPA|[ʈʰ]}}, {{IPA|[tʃʰ]}}, dan {{IPA|[kʰ]}}.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}} Ahli [[ilmu fonetik]] [[Peter Ladefoged]] dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat "bersuara kendur" (''slack voiced''), kontras dengan seri fonem {{IPA|/p/}}, {{IPA|/t/}}, {{IPA|/ʈ/}}, {{IPA|/tʃ/}}, dan {{IPA|/k/}} yang "bersuara kencang" (''stiff voiced''). Walaupun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan pita suara dalam beberapa kondisi, seri konsonan kendur memiliki bukaan [[pita suara]] yang lebih lebar daripada seri konsonan kencang.{{sfnsfnp|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti seri konsonan kendur juga diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar (''breathy voice'').{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnsfnp|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan ({{IPA|/p/}} diucapkan {{IPA|[p̚]}}, {{IPA|/t/}} diucapkan {{IPA|[t̚]}}, {{IPA|/k/}} diucapkan {{IPA|[k̚]}}, dan seterusnya).{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=75, 81, 91–92}}
 
=== Fonotaktik ===
Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah {{abbr|V|vokal}}, {{abbr|K|konsonan}}V, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara ({{abbr|N|konsonan nasal/sengau}}KV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi [[likuida]] dan [[semivokal]] (NKKV, NKKVK).{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=97}}
:{|
| ||V||: ''ka-'''é''''' 'itu'
Baris 260 ⟶ 261:
| ||NKKVK||: '''''ngglam'''-byar'' 'tidak fokus'
|}
Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah ''wo'''nt'''en'' 'ada', ''ba'''ngs'''a'' 'bangsa', dan ''sa'''ntr'''i'' 'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami [[Kebulatan vokal|pembulatan]] menjadi {{IPA|[ɔ]}}. Kata ''tampa'' 'terima', misalnya, diucapkan sebagai [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata ''tanpa'' 'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanpɔ].{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|pp=593–594}}
 
Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=593}}
 
== Tata bahasa ==
{{main|Tata bahasa Jawa}}
=== Pronomina persona ===
Bahasa Jawa tidak memiliki [[pronomina]] persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata ''kita'' dan ''kami.'' Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal ''aku kabèh'' 'kami', ''awaké dhéwé'' 'kita', ''dhèwèké kabèh'' 'mereka' dan semacamnya.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=598}}
 
{| class="wikitable" style="text-align: left;"
|+ 3. Pronomina persona{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=598}}{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=242}}{{sfnsfnp|Robson|2014|p=1}}
|-
! rowspan="2" | Glos
Baris 315 ⟶ 316:
|-
| {{gcl|3SG}}, {{gcl|3PL}}<br />'dia, ia, ia, mereka'
| ''dhèwèké''{{efn|Varian ''dhèwèkné'', ''dhèkné'', dan ''dhèknéné'' juga umum ditemui.{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=242}}}}
| –
| ''piyambakipun''
| ''panjenengané'',<br />''panjenenganipun''{{efn|''Panjenengané'' dipakai dalam konteks ''ngoko'', sementara ''panjenenganipun'' dipakai dalam konteks ''krama''.{{sfnsfnp|Robson|2014|p=1}}}}
| ''di''-, ''dipun-''
| -''(n)é'', -''(n)ipun''
|}
 
Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.{{sfnsfnp|Robson|2014|p=1}}{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=239}} Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=268–269}}
 
=== Demonstrativa ===
[[Demonstrativa]] atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=270–275}}
{| class="wikitable" style="text-align: left;"
|+ 4. Demonstrativa{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|pp=270–275}}
|-
!
Baris 366 ⟶ 367:
|}
 
Kata ''iki'' dan ''iku'' dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk ''kiyi'', ''kiyé'', ''kuwi'', dan ''kuwé'' utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk ''ika'' hanya dipakai dalam tembang. Bentuk ''madya'' dari ''iki/kiyi/kiyé'', ''iku/kuwi/kuwé'' dan ''kaé'' adalah ''niki'', ''niku'', dan ''nika''. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu ''punika'' atau ''menika'', walaupun dalam beberapa kasus, kata ''mekaten'' atau ''ngaten'' juga digunakan sebagai padanan ''krama'' dari ''kaé''.{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|pp=248–249}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=270}}
 
=== Nomina ===
Dalam bahasa Jawa, atribut pewatas (''modifier'') nomina inti diletakkan setelah nomina.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=243}} Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut [[adjektiva]] atau verba non-pasif (penanda tujuan atau kegunaan) yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit tanpa imbuhan, atau secara eksplisit dengan akhiran ''-(n)é'' atau ''-(n)ipun'' pada nomina inti.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=608}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=252}}
:{|
| ||''wit kinah''||'pohon kina'
Baris 381 ⟶ 382:
| ||''omahé Marsam''||'rumahnya Marsam'
|}
Imbuhan ''-(n)ing'', yang utamanya digunakan dalam ragam tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=608}}
:{|
| ||''ratuning buta''||'rajanya para raksasa'
Baris 391 ⟶ 392:
 
=== Numeralia ===
[[Numeralia]] atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=305}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=608–609}}
:{|
| ||''wong siji''||'satu orang'
Baris 400 ⟶ 401:
|}
 
Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal ''-ng'' jika berakhir dengan bunyi vokal, atau ''-ang'' jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia ''siji'' 'satu' yang diganti dengan imbuhan ''sa-/se-/s-'' dalam konteks ini.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=305}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=608–609}}
:{|
| ||''telungtelu-ng puluh''||'tiga puluh'
|-
| ||''patangpat-ang pethi''||'empat peti'
|-
| ||''sa-genthong''||'satu tempayan'
Baris 420 ⟶ 421:
TR2:transitif II, kausatif
</div><section end="list-of-glossing-abbreviations"/>
Paradigma verba bahasa Jawa baku dapat diringkaskan sebagai berikut:{{sfnsfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=133}}
{| class="wikitable" style="text-align: left"
|+ 5. Paradigma verba{{sfnsfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=133}}
|-
! rowspan="2" |modus
Baris 485 ⟶ 486:
|}
 
Tidak semua imbuhan verba dalam paradigma yang dijabarkan di atas lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya umumnya memiliki paradigma verba yang lebih sederhana, seperti misalnya dialek Tengger yang tidak menggunakan imbuhan berbeda bagi verba dengan modus [[modus subjungtif|subjungtif]] dan [[modus imperatif|imperatif]] (walaupun dialek baku juga tidak membedakan keduanya dalam bentuk aktif, sama-sama ditandai dengan imbuhan ''N-'' dan ''-a'').{{sfnsfnp|Conners|2008|pp=200, 237–238}}
 
Verba [[transitif]] dalam bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau ''N-'' pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti ''di-'', ''tak-'', dan ''kok-'' untuk bentuk pasif.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=600}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(1) |indent=2
|Wis '''nemu''' akal aku
Baris 499 ⟶ 500:
}}
 
Penambahan akhiran ''-i'' dan ''-aké'' umumnya menandakan [[Valensi (linguistik)|valensi]] yang lebih tinggi.{{efn|Valensi adalah konsep tata bahasa mengenai hubungan antara verba dengan jumlah [[Argumen (linguistik)|argumen]] yang dirujuk olehnya. Semakin tinggi valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, memiliki valensi terkecil, karena hanya dapat merujuk pada satu argumen saja.}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Akhiran ''-i'' biasanya bersifat aplikatif, seperti dalam kata ''tanduri'' 'tanami (dengan sesuatu)' dari kata dasar ''tandur'' 'tanam'. Akhiran ''-aké'' (bentuk ''krama'': ''-aken'') dapat membentuk verba kausatif dari verba transitif, contohnya kata ''lebokaké'' 'masukkan (ke dalam sesuatu)' dari kata ''mlebu''. Jika dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya seperti kata ''jupukaké'' 'ambilkan (untuk seseorang)' dari bentuk dasar ''jupuk'' 'ambil'.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=610–611}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(3) |indent=2
|Kuwi '''mangan-i''' godhong tèh
Baris 511 ⟶ 512:
}}
 
Baik verba transitif maupun intransitif memiliki beberapa bentuk tergantung [[modus|modus gramatikanya]]. Selain bentuk dasar atau bentuk [[Modus indikatif|indikatif]], ada pula bentuk [[Modus irealis|irealis]]/subjungtif, imperatif, dan propositif.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan imbuhan ''-a'', yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu:{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=605}}
* Menyatakan kemungkinan (''potential'').
:{{interlinear |lang=jv |number=(5) |indent=2
Baris 537 ⟶ 538:
}}
 
Verba dengan modus imperatif tidak dapat diawali dengan [[pelengkap]] yang berupa pelaku, dan ditandai dengan imbuhan ''-en'' atau ''-a''. Verba intransitif tidak memiliki bentuk imperatif khusus.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|pp=600, 603}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(9) |indent=2
|Mripat{{=}}mu '''tutup-an-a'''
Baris 544 ⟶ 545:
}}
 
Bentuk propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|pp=600, 603}} Morfem ''tak'' atau ''dak'' digunakan sebelum verba untuk memarkahi modus propositif aktif. Tidak seperti awalan pronominal ''tak-'' atau ''dak-'' yang tidak dapat didahului oleh subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan ''tak/dak'' dapat didahului oleh subjek ({{abbr|mis.|misal}} '''''aku''' tak nggorèng iwak'' 'aku bermaksud menggoreng ikan'). Pemarkah propositif aktif ini juga bisa dipisahkan dari verba yang mengikutinya, seperti yang bisa dilihat dari contoh (10–11).{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=605}}{{sfnsfnp|Uhlenbeck|1982|p=135}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(10) |indent=2
|Aku '''tak''' '''nusul''' Bapak dhéwéan
Baris 556 ⟶ 557:
}}
 
Imbuhan ''-é'' atau ''-ipun'' digunakan untuk menandakan bentuk propositif pasif.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Di sini morfem ''tak-'' berfungsi serupa dengan awalan pronomina ''tak-'' yang digunakan dalam bentuk pasif pada modus indikatif dan irealis.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=606}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(12) |indent=2
|'''Tak{{=}}Ø-plathok-an-é''' kayu{{=}}mu
Baris 563 ⟶ 564:
}}
 
Dalam bentuk-bentuk non-indikatif (irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif), imbuhan ''-i'' dan ''-aké'' bersinonim dengan imbuhan ''-an'' dan ''-n'' seperti dalam rangkaian imbuhan ''-an-a'', ''-an-é'', ''-n-a'', dan ''-n-é''. Imbuhan-imbuhan ini sering dianggap sebagai bentuk yang padu (''-ana'', ''-ané'', ''-na'', dan ''-né''), walaupun beberapa linguis menganggap bahwa imbuhan-imbuhan ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu ''-an'' dan ''-n'' yang merupakan imbuhan derivatif, serta ''-a'' dan ''-é'' yang merupakan pemarkah modus.{{sfnsfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=600}}{{sfnsfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|p=111}}
 
== Sistem penulisan ==
Baris 570 ⟶ 571:
=== Aksara Jawa ===
{{utama|Aksara Jawa}}
Aksara Jawa merupakan [[Rumpun aksara Brahmi|aksara berumpun Brahmi]] yang diturunkan dari [[aksara Pallawa]] lewat [[aksara Kawi]]. Aksara tersebut muncul pada abad ke-16 tepatnya pada era keemasan hingga akhir Majapahit.<ref name=":1">{{Cite book|first=Javaholic Genk Kobra Community|url=https://www.worldcat.org/oclc/953823997|title=Gaul aksara Jawa|otherslocation=Yogyakarta|publisher=Javaholic Genk Kobra Community,, LKiS Pelangi Aksara,|isbn=978-602-0809-08-3|edition=Cetakan I1|locationothers=Yogyakarta|oclc=953823997|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Kozok|first=Uli|date=1999|url=https://www.worldcat.org/oclc/46390839|title=Warisan leluhur : sastra lama dan aksara Batak|lastlocation=Kozok,Jakarta Uli.|date=1999[Indonesia]|publisher=Ecole française d'Extrême-Orient|isbn=979-9023-33-5|others=École française d'Extrême-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia.|isbn=979-9023-33-5|location=Jakarta [Indonesia]|oclc=46390839|access-date=2019-12-25|archive-date=2023-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225703/https://www.worldcat.org/title/46390839|archive-date=2023-04-12|url-status=live|dead-url=no}}</ref>
 
Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pengurutan Hanacaraka. Pengurutan aksara ini diciptakan menurut legenda [[Aji Saka]] untuk mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang boleh mengambil pusaka tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka untuk membawakan pusaka Aji Saka ke Tanah Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka memiliki kesaktian yang setara dan kedua-duanya pun mati.<ref>{{Cite book|last=Dwiyanto|first=Djoko|date=2009|url=https://www.worldcat.org/oclc/320349826|title=Kraton Yogyakarta : sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan|lastlocation=Djoko Dwiyanto, 1953-|date=2009Yogyakarta|publisher=Paradigma Indonesia|isbn=978-979-17834-0-8|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=320349826|url-status=live}}</ref>
 
Aksara Jawa saat ini digunakan secara luas di ruang publik, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada papan nama jalan, papan nama instansi, maupun di tempat umum.<ref>{{Cite news|url=https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|title=Solo Wajibkan Aksara Jawa di Papan Nama|last=Sumarno|date=2008-02-04|work=[[Okezone.com]]|language=id-ID|access-date=2019-12-25|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043647/https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite news|url=https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|title=Papan Nama Jalan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Khas|last=widjanarkoWidjanarko|first=Tulus|date=2017-05-12|work=[[Tempo.co]]|language=id|access-date=2019-12-25|editor-last=widjanarkoWidjanarko|editor-first=Tulus|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043648/https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|dead-url=no}}</ref>
 
Aksara yang berkerabat dengan aksara Jawa adalah [[aksara Bali]] yang diturunkan dari versi awal dari aksara Jawa pada abad ke-16.
Baris 581 ⟶ 582:
{{utama|Abjad Pegon}}
[[Berkas:Javanese John 3 16.png|jmpl|Sampel teks Pegon untuk Alkitab terjemahan bahasa Jawa ([[Yohanes 3:16|Yoh 3:16]])]]
Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang selama masa-masa keemasan Kerajaan Demak hingga Pajang, [[abjad Pegon]] yang bersaudara dengan [[abjad Jawi]] (Arab-Melayu) mengadopsi huruf-huruf Arab standar dengan ditambahkan huruf-huruf baru yang sama sekali tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab asli. Kecuali jika orang Arab memahami dan menguasai bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Jika abjad Jawi selalu tanpa [[harakat]] (penanda vokal), abjad Pegon ada yang berharakat dan ada yang tidak. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib yang diajarkan di banyak pesantren Jawa. Kata ''pegon'' berarti "menyimpang", maksudnya adalah bahwa "bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang tidak lazim."<ref name=":0">{{Cite web|url=https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|title=BUDAYA–Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara|access-date=2019-09-05|archive-date=2019-09-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152326/https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|date=2016-07-01|title=Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu|url=http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|title=Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu|date=2016-07-01|website=Poskota News|language=en|access-date=2019-09-05|archive-date=2019-09-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152327/http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|archive-date=2019-09-05|dead-url=yes|access-date=2019-09-05}}</ref><ref>{{Cite book|last=Sedyawati|first=Edi|date=2001|url=https://www.worldcat.org/oclc/48399092|title=Sastra Jawa : suatu tinjauan umum|datelocation=2001Jakarta|publisher=Pusat Bahasa|others=Sedyawati, Edi, 1938-|isbn=979-666-652-9|edition=Cet. 1|locationothers=Jakarta|oclc=48399092|access-date=2019-12-25|archive-date=2023-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225707/https://www.worldcat.org/title/48399092|archive-date=2023-04-12|url-status=live|dead-url=no}}</ref>
 
=== Alfabet Latin ===
Baris 587 ⟶ 588:
 
=== Aksara lain ===
Pada masa lampau, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan [[aksara Kawi]] dan [[Aksara Nāgarī|aksara Nagari]]. Banyak dijumpai di prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.<ref>{{Cite book|last=Nala|first=Ngurah|date=2006|url=https://www.worldcat.org/oclc/170909278|title=Aksara Bali dalam Usada|lastlocation=Nala, Ngurah, 1936-2010.|date=2006Surabaya|publisher=Pāramita|isbn=979-722-238-1|edition=Cet. 1|locationoclc=Surabaya170909278|oclcurl-status=170909278live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Rochkyatmo|first=Amir|year=1996|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/7638/1/PELESTARIAN%20DAN%20MODERNISASI%20AKSARA%20DAERAH.pdf|title=Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa|lastlocation=Rochkyatmo|first=A.Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|yearisbn=1996|isbneditor-last=Guritno|locationeditor-first=JakartaSri|pages=|url-status=live}}</ref>
 
== Sastra ==
{{utama|Sastra Jawa}}
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan budaya kesusastraan paling tua. Bahasa Melayu Kuno, walaupun lebih dulu muncul secara kronologis dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.{{sfnsfnp|Conners|2008|p=19}} Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk ''[[kakawin]]'', sementara sastra Jawa Pertengahan banyak yang menggunakan bentuk ''[[kidung]]''.{{sfnsfnp|Conners|2008|p=20}} Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berasal dari India, seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]].{{sfnsfnp|Conners|2008|pp=20–21}}
 
Sejak setidaknya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra tulisan sebagai sesuatu yang tidak lagi eksklusif ditemui pada kalangan aristokrat semata. Karya-karya sastra pun bermunculan dalam genre yang lebih beragam.{{sfnsfnp|Ras|1979|pp=1–2}}
<!--sastra lisan-->
 
Baris 599 ⟶ 600:
{{utama|Daftar dialek bahasa Jawa}}
<!--ringkasan klasifikasi dialek Poerwadarminta, Wurm/Hattori, dan Ras; penjabaran variasi fonologi utama (pengucapan /a/ di posisi ultima, realisasi fonem hambat, dst)-->
Bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat yang masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai {{IPA|[a]}} di posisi terbuka, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti {{IPA|[a]}} dengan {{IPA|[ɔ]}}. Konsonan hambat dalam kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]].{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}
 
Menurut [[J. J. Ras]], profesor emeritus bahasa dan sastra Jawa di [[Universitas Leiden]], dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan berdasarkan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1) dialek-dialek barat, 2) dialek-dialek tengah, dan 3) dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah sebagai berikut:{{sfnsfnp|Ras|1985|pp=304–306}}
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah barat/Banyumasan (Kulon)
## Banyumas–Wonosobo–Kebumen Barat ([[Bahasa Jawa Banyumasan|Banyumasan]])
## Indramayu–Cirebon ([[Bahasa Jawa Indramayu|Indramayu]]–[[Bahasa Cirebon|Cirebon]])
## Tegal–Brebes–Pemalang–Pekalongan ([[Bahasa Jawa Tegal|TegalanTegal]]–Brebes–[[Bahasa Jawa Pemalang|Pemalang]]–[[Bahasa Jawa Pekalongan|KalongananPekalongan]])
## Banten ([[Bahasa Jawa Serang|Jawa Serang]])
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah (Tengah)
## Kebumen–Bagelen–Magelang–Temanggung ([[Bahasa Jawa Kedu|Jawa Kedu]])
## Surakarta–Yogyakarta ([[Bahasa Jawa Surakarta|Mataram]])
## Madiun–Kediri–Blitar ([[Bahasa Jawa Mataraman|Mataraman]])
## Semarang–Demak–Kudus–Jepara ([[Bahasa Jawa Semarang|Jawa SemarangSemarangan]])
## Blora–Rembang–Pati–Bojonegoro–Tuban ([[Bahasa Jawa Muria|Muria/Aneman]])
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah timur (Wetanan)
## Surabaya–Malang–Pasuruan ([[Rumpun dialek Arekan|Arekan]])
## Banyuwangi ([[Bahasa Osing|Osing]])
 
== Tingkat tutur ==
Baris 621 ⟶ 622:
{{dab|Informasi lebih lanjut mengenai kosakata: [[Kata ngoko]], [[Kata krama]], dan [[Kata krama inggil]]/[[Kata krama andhap|andhap]]}}
[[Berkas:WIKITONGUES- Disa and Niken speaking Javanese.webm|jmpl|320px|Percakapan bahasa Jawa yang menggunakan tingkat tutur ''krama'']]
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=10}}{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=56–57}} Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57}} Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ''ngoko'', 2) ''madya'', dan 3) ''krama''.{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=10}} Bentuk ''ngoko'' digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk ''krama'', yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan ''krama''. Sementara itu, bentuk ''madya'' jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnsfnp|Wedhawati, dkk.|2006|p=10–11}}{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}
 
Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (''honorific'') atau perendahan diri (''humilific''), yaitu ''krama inggil'' dan ''krama andhap''.{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfnsfnp|Robson|2014|p=xvii}} Bentuk ''krama inggil'' digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk ''krama andhap'' digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan ''krama andhap''.{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}} Karena bentuk ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfnsfnp|Robson|2014|p=xvii}} Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah sekitar 280 buah.{{sfnsfnp|Ogloblin|2005|p=591}}
 
Padu-padan kosakata dari kategori-kategori ini membentuk tiga tingkat tutur kalimat, sesuai nama leksikon utama yang digunakan, yaitu ''ngoko'', ''madya'', dan ''krama'', yang masing-masingnya juga memiliki beberapa subtingkat. Pilihan penggunaan tingkat tutur ini bergantung pada keakraban atau kedekatan hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Perbedaan antara subtingkat dalam setiap tingkat tutur biasanya tergantung pada penggunaan leksikon ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' yang menandakan penghormatan pembicara kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.{{sfnsfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=58–59}}
 
=== Perubahan Pronomina Persona ===
{| class="wikitable"
|+Perubahan Pronomina Persona<ref name=":3">{{Cite book|last=Yulianti|first=Fitri Eva|date=2023|url=https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/220432|title=Analisis Kontrastif Verba dalam Ragam Keigo Bahasa Jepang dan Ragam Krama Bahasa Jawa|location=Yogyakarta|publisher=Universitas Gadjah Mada|url-status=live}}</ref>
!Bahasa Jawa Ngoko
!Bahasa Indonesia
!Bahasa Jawa Krama
!Bahasa Indonesia
|-
|''aku''
|aku
|''kula''
|Saya
|-
|''kowé''
|kamu
|''panjenengan''
|Anda
|}
 
=== Perubahan Affiks ===
{| class="wikitable"
|+Perubahan Affiks<ref name=":3" />
!Bahasa Jawa Ngoko
!Bahasa Indonesia
!Bahasa Jawa Krama
!Bahasa Indonesia
|-
|''di-''
|
|''dipun-''
|
|-
|''kok-''
|
|''panjenengan-''
|
|-
|''tak-''
''dak-''
|
|''kula-''
|
|-
|''-é''
|
|''-ipun''
''-nipun''
|
|-
| -''ku''
|
| -''kula''
|
|-
| -''mu''
|
| -''panjenengan''
|
|}
 
== Keterangan ==
Baris 651 ⟶ 712:
* {{cite book |last1=Subroto |first1=Daliman Edi |last2=Soenardji |last3=Sugiri |year=1991 |title=Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=V6ZkAAAAMAAJ |location=Jakarta |publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan |ref=harv}}
* {{cite book |last=Uhlenbeck |first=Eugenius Marius |authorlink=Eugenius Marius Uhlenbeck |year=1982 |title=Kajian morfologi bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=lW9JSQAACAAJ |series=Indonesian Linguistics Development Project |volume=4 |location=Jakarta |publisher=Penerbit Djambatan |ref=harv}}
* {{cite book |authoreditor-last1=KawruhWedhawati Basa|editor-last2=Nurlina Jawa,|editor-first2=Wiwin dkkErni Siti |editor-last3=Setiyanto |editor-first3=Edi |year=20232006 |title=Tata bahasa Jawa mutakhir |url=https://kawruhbasa.com/ejaan-bahasa-jawa/?id=GgUSxxXw0JIC |location=Yogyakarta |publisher=[[Kanisius]] |isbn=9789792110371 |ref=harv{{harvid|Wedhawati dkk.|2006}}}}
 
== Bacaan lanjutan ==
Baris 695 ⟶ 756:
[[Kategori:Bahasa di Indonesia]]
[[Kategori:Bahasa di Suriname]]
[[Kategori:Bahasa di Ngawi]]
[[Kategori:Bahasa di Jawa Timur]]
[[Kategori:Bahasa di Jawa]]
[[Kategori:Bahasa di Jawa Tengah]]
[[Kategori:Bahasa di Banten]]
[[Kategori:Bahasa di Surakarta]]
[[Kategori:Bahasa di Surabaya]]
[[Kategori:Bahasa di Semarang]]
[[Kategori:Rumpun bahasa Melayu-Polinesia]]
[[Kategori:Bahasa aglutinatif]]
[[Kategori:Bahasa di Malaysia]]
[[Kategori:Bahasa berpola subjek–predikat–objeksubjek-verba-objek]]