Kerajaan Badung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambahkan lebih banyak kategori Tag: Dikembalikan halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(49 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{pp-protected}}
{{pp-vandalism}}
{{Infobox Former Country
| native_name =
| conventional_long_name = Kerajaan Badung
| common_name = Kerajaan Badung
| region = [[Asia Tenggara]]▼
| religion = [[Hindu]]
| image_flag = Bendera kerajaan badung.gif
Baris 13 ⟶ 11:
| p1 = Kerajaan Gelgel
| p2 =
| s1 =
| s2 = Kabupaten Badung
| flag_p1 =
| flag_p2 =
| flag_s1 = Flag of Indonesia.svg
| year_start = 1788
| year_end = 1906
Baris 36 ⟶ 35:
| government_type = Monarki
| title_leader = Cokorda
| leader1 = [[I Gusti Ngurah Made Pemecutan]] {{small|(pertama)}}
| year_leader1 = 1788-1813
| leader4 = [[I Gusti Ngurah Made Agung]] {{small|(terakhir)}}
| year_leader4 = 1902–1906
| currency =
|
}}
{{Sejarah Indonesia}}
'''Kerajaan Badung''' adalah suatu [[kerajaan]] yang berdiri di [[Pulau Bali]] bagian selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan Badung berada di Puri Agung Denpasar sampai akhirnya pasukan [[Belanda]] mengalahkan Kerajaan Badung melalui [[Intervensi Belanda di Bali (1906)|Perang Puputan Badung]] pada tahun [[1906]].<ref
[[Hindia Belanda]] merestorasi kerajaan ini pada tahun [[1929]], dan menjadikan Badung sebagai [[swapraja|wilayah swapraja]] pada tahun [[1938]]. Setelah kemerdekaan [[Republik Indonesia]], wilayah Kerajaan Badung berstatus sebagai [[Kabupaten Badung|Daerah Tingkat II Badung]] dan [[Denpasar|Daerah Tingkat II Denpasar]] dalam pemerintahan [[Provinsi Bali]].
Baris 52 ⟶ 50:
== Sejarah ==
=== Berdirinya Kerajaan Badung ===
Pada tahun [[1343]], [[Majapahit]] berkuasa di [[Bali]] dan berpusat di Samprangan dengan penguasanya, [[Sri Aji Kresna Kepakisan|Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan]], yang memiliki putra mahkota bernama I Dewa Anom Pemayun, yang dikemudian hari, karena suatu peristiwa, oleh Dalem diubah namanya menjadi Sira Arya Benculuk Tegeh Kori. Menurut cerita rakyat, Sira Arya Benculuk Tegeh Kori melakukan perjalanan panjang menuju [[Pura Ulun Danu Batur]] dan memohon kepada Ida Betari Ulun Danu Batur untuk diberikan ''panugrahan'' (berkat/hikmat) agar kelak menjadi seseorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya.<ref>{{cite
Setelah itu, bersama warganya, Ki Bendesa membangun istana untuk Sira Arya Benculuk Tegeh Kori yang diberi nama Puri Benculuk dan menetapkan nama wilayah kekuasaannya menjadi ''Badung'' yang berasal dari kata ''Badeng'',<ref
Ida Betari Ulun Danu Batur }}</ref> sesuai dengan titah Ida Bhatari Batur yakni ''"Tonja Yang Jakang Wana Badeng"''. Sira Arya Benculuk Tegeh Kori kemudian menghadap penguasa [[Kerajaan Bedahulu|Bali]], Dalem Sri AJi Kresna Kepakisan, yang bertahta di Samprangan dan melaporkan bahwa ia telah diangkat menjadi penguasa Badung pertama dan oleh Dalem, diberi gelar Dalem Benculuk Tegeh Kori. Pada masa selanjutnya, para penguasa Badung sebagai bawahan dari [[Gelgel, Klungkung, Klungkung|Kerajaan Gelgel]] juga membangun Puri Ksatriya dan Puri Tegal Agung. Masa Pemerintahan para keturunan Tegeh Kori ini diperkirakan berlangsung pada tahun [[1360]]-[[1750]].<ref
Pada akhir abad ke-18 M, kekuasaan Puri Ksatriya jatuh kepada Kyayi Ngurah Made, sebagai penerima tahta dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya. Karena Puri Ksatriya telah rusak karena perang perebutan kekuasaan. Pada masa kekuasaannya, Kyayi Ngurah Made memerintahkan untuk membuat puri baru yang terletak di ''Tetaman Den-Pasar''<ref
=== Penaklukkan Badung oleh Belanda ===
Baris 64 ⟶ 61:
[[Berkas:1906 Puputan monument in Denpasar.jpg|jmpl|kiri|210px|Monumen Puputan Badung di kota [[Denpasar]].]]
Pada tahun [[1826]], [[Belanda]] diizinkan Raja I Gusti Made Ngurah untuk mendirikan stasiunnya di [[Kuta]],<ref
Pada tahun [[1904]], sebuah kapal dagang berbendera Belanda milik seorang [[Tionghoa]] dari [[Banjarmasin]] bernama "Sri Komala" kandas di [[Pantai Sanur]].<ref
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota [[Denpasar]]. Belanda mencapai pintu gerbang kota tanpa mendapatkan perlawanan berarti, namun tiba-tiba mereka disambut oleh sekelompok orang berpakaian serba putih, siap melakukan "''[[puputan|perang puputan]]''" (mati berperang sampai titik darah terakhir).<ref
Dikabarkan bahwa sebelum terjadi puputan, putra mahkota dari I Gusti Ngurah Made Agung bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di [[Seminyak|Desa Seminyak]], [[Kuta]].<ref
Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal [[1 Oktober]] [[1917]], atas desakan para tokoh masyarakat di [[Lombok]] seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] ke Denpasar, selain itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.<ref
=== Masa Pendudukan Belanda ===
[[Berkas:Paruman Agung 1938.jpg|jmpl|ka|270px|Para raja Bali saat dilantik di [[Pura Besakih]] pada [[30 Juni]] [[1938]]. Cokorda Alit Ngurah sebagai Raja Badung VII berdiri di ujung kiri.]]
Pada tahun [[1929]], setelah pembangunan kembali Puri Agung Denpasar yang hancur saat [[puputan]], I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh [[Hindia Belanda]] sebagai ''Regent'' Badung dengan gelar Cokorda Alit Ngurah.<ref
Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk ''Zelbestuur Badung'' kekuasaan dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (''abhiseka'') dia dilakukan serentak dengan 8 raja-raja lainnya di [[Pura Besakih]], [[Kerajaan Karangasem|Karangasem]] pada tanggal [[30 Juni]] [[1938]]. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron.<ref
=== Masa Pendudukan Jepang ===
Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] mendarat di [[Pantai Sanur]] pada tanggal [[18 Februari|18]] dan [[19 Februari]] [[1942]]. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota [[Denpasar]] dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (''Rikugun''). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke [[Bali]], Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi ''Sutyo Renmei''.<ref
=== Masa Kemerdekaan Indonesia ===
Pada tahun [[1945]] setelah [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] menyerah dan kemerdekaan [[Republik Indonesia]], [[Bali]] menjadi bagian dari Pemerintah [[Negara Indonesia Timur]]. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam [[Republik Indonesia]] pada tanggal [[17 Agustus]] [[1950]]. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di [[Denpasar]] dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan [[Oktober]] [[1950]], pemerintahan Swapraja Badung berbentuk Dewan Pemerintahan Badung yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.
Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal [[1 Desember]] [[1958]], daerah-daerah swapraja di [[Bali]] diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat [[kabupaten]], termasuk Badung. [[Denpasar]] menjadi ibu kota dari pemerintah daerah [[Kabupaten Badung]], selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi [[Provinsi Bali]] yang semula berkedudukan di [[Singaraja]]. <ref>Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur</ref>
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi [[kota administratif]], dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal [[15 Januari]] [[1992]], berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi [[kotamadya]], yang kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal [[27 Februari]] [[1992]].<ref
== Daftar Raja-Raja Badung ==
Baris 124 ⟶ 121:
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara]]
|