Keraton Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib) Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(11 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox building
| name = Keraton Surakarta Hadiningrat
| native_name = {{jav|
| logo = Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg
| logo_size = 150
Baris 76:
| designations =
| known_for = Istana Kesunanan Surakarta
| website =
| embedded = {{Infobox cagar budaya|child=yes
| Name = Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Baris 126:
Kompleks ini meliputi [[Tugu Pamandengan]], Gapura Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan [[Masjid Agung Surakarta]]. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi [[Surakarta]], dan beberapa meter di sisi utaranya terdapat sebuah tugu yang disebut Tugu Pamandengan, yang berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Sunan ketika bermeditasi di Siti Hinggil.<ref name="Pamandengan">{{cite thesis|title=Javanese power: silent ideology and built environment of Yogyakarta and Surakarta|author=Ofita Purwani|year=2014|publisher=Edinburgh College of Art, Universty of Edinburgh|page=206|url=https://era.ed.ac.uk/handle/1842/9885}}</ref> Pada zaman dahulu, ''space area'' di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum ''digladag'' (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah ''Manunggaling Kawula-Gusti'' (Bersatunya Rakyat dengan Raja).
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (''Ficus benjamina''; Famili ''Moraceae'') yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (
[[Berkas:INTERIOR MASJID AGUNG SOLO.jpg|jmpl|kiri|Bagian dalam ruang utama [[Masjid Agung Surakarta]].]]
Baris 192:
[[Berkas:Sasana Sewaka Keraton Surakarta.JPG|jmpl|ka|Bagian dalam bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, dilihat dari arah Bangsal Maligi.]]
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton (Kadhaton) dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] pada tahun [[1792]] ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan ''Semar Tinandu'' ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri gerbang ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Di sebelah selatan Kori Sri Manganti merupakan kompleks Kedhaton (Kadhaton), dengan halaman yang dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon [[Sawo kecik|Sawo Kecik]] (''Manilkara kauki''; Famili ''Sapotaceae''). Sebagian kawasan halaman atau pelataran Kedhaton ini terbuka untuk wisatawan umum. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal (Topengan) Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] tepatnya pada tahun [[1985]] tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat ''grebeg'' (''garebeg''), ulang tahun raja, serta peringatan hari kenaikan takhta raja.<ref>{{cite web|title=Keraton Surakarta: Sasana Sewaka (Wawancara dengan KGPH. Puger)|author=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|website=Youtube.com|year=2016|accssdate=30 Juni 2023|url=https://www.youtube.com/watch?v=Qz_0_lQ9NYs&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=15}}</ref> Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga takhta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara penobatan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.
Baris 250:
== Warisan Budaya ==
[[Berkas:
Selain memiliki kemegahan bangunan, Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Di antaranya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara peringatan hari kenaikan takhta Sri Sunan (Tingalan Dalem Jumenengan) upacara [[Grebeg]], upacara [[Sekaten]], dan upacara [[Satu Suro|Malem Siji Sura]] (1 Sura). Upacara yang berasal sejak zaman lampau ini, hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan [[budaya Indonesia]] yang dilindungi.
Baris 286:
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (''Royal House'') yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan [[Kesunanan Surakarta]]. Setelah tahun [[1946]], peran Keraton Surakarta berpusat sebagai monarki seremonial Pemangku Adat Jawa khususnya [[budaya Jawa]] ''gagrag'' (gaya) [[Kesunanan Surakarta|Surakarta]]. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik dan pemerintahan, melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta Adat, simbol dan kepala monarki seremonial serta pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya [[Budaya Jawa|Jawa]] khususnya gaya Surakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma dan wibawa tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah [[Kesunanan Surakarta]] ([[Kota Surakarta]], [[Kabupaten Sragen]], [[Kabupaten Boyolali]], [[Kabupaten Klaten]], dan [[Kabupaten Sukoharjo]]); bahkan termasuk di wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]] ([[Kabupaten Karanganyar]] dan [[Kabupaten Wonogiri]]), serta di wilayah lainnya di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] (khususnya di kawasan bekas [[Karesidenan Semarang]], [[Karesidenan Madiun]] dan [[Karesidenan Kediri]]).
[[Berkas:IMG20240206-Pakoe-Boewono-XIII.jpg|jmpl|250px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] bersama istri serta beberapa putra-putri, menantu, dan cucu, berfoto bersama di beranda Sasana Narendra, Kompleks Keraton Surakarta, tahun [[2024]].]]
Baris 328:
{{Cagar budaya peringkat nasional di Indonesia}}
{{Topik Surakarta}}
{{Istana di Indonesia}}
[[Kategori:Istana di Indonesia|Keraton Surakarta]]
Baris 334 ⟶ 335:
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Jawa Tengah]]
[[Kategori:Istana Kesultanan|Keraton Surakarta]]
[[Kategori:
[[Kategori:Kawasan cagar budaya di Indonesia]]
[[Kategori:Cagar budaya
[[Kategori:Keraton]]
|