Kesultanan Bulungan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PeragaSetia (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
| status =
| government_type = Monarki
| image_flag = East BorneoBulungan Sultanate FlagsFlag.pngjpg
| image_coat =
| year_start = 1731
Baris 38:
| stat_pop1 =
| today = {{flag|Indonesia}}
| image_flag2 = East Borneo Sultanate Flags.png
| flag_caption = '''Kanan''': Bendera kesultanan pada abad ke-19
}}
 
'''Kesultanan Bulungan''' atau '''Bulongan'''<ref>{{nl}} {{cite book|pages=2|url=http://books.google.co.id/books?id=JRQ5AQAAIAAJ&dq=Sulthan%20Soerian%20Sjach&hl=id&pg=PA9#v=onepage&q=Sulthan%20Soerian%20Sjach&f=false|title=De bandjermasinsche krijg van 1859-1863|first=[[Willem Adriaan van Rees|Willem Adriaan]]|last=Rees|publisher=D. A. Thieme|year=1865}}</ref> adalah [[kesultanan]] yang pernah menguasai wilayah pesisir [[Kabupaten Bulungan]], [[Kabupaten Tana Tidung]], [[Kabupaten Malinau]], [[Kabupaten Nunukan]], [[Kota Tarakan]], [[Tawau]], [[Kalabakan]], dan sebagian [[Semporna]] [[Sabah]] sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun [[1731]], dengan raja pertama bernama [[Wira Amir]] bergelar ''Amiril Mukminin'' ([[1731]]–[[1777]]), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras bergelar [[Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin]] ([[1931]]-[[1958]]).<ref>{{id}}[http://www.bulungan.go.id/v01/bulungan/sejarah-bulungan/hari-jadi-dan-sejarah.html Sejarah Bulungan di situs Kabupaten Bulungan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070927235922/http://www.bulungan.go.id/v01/bulungan/sejarah-bulungan/hari-jadi-dan-sejarah.html |date=2007-09-27 }}</ref>

Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik [[Kesultanan Berau]] yang telah memisahkan diri<ref>[http://bumibatiwakkal.blogspot.com/2009/01/historis-asal-usul-berau.html Historis asal usul berau ]</ref> sehingga dalam perjanjian [[Kesultanan Banjar]] dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari Kesultanan Berau (Berau adalah bekas [[vazal]] Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).<ref>{{en}} (1848){{cite journal|pages=438 |url=http://books.google.co.id/books?id=sJAaAQAAIAAJ&dq=Fran%C3%A7ois%20Wittert.&pg=PA438#v=onepage&q&f=false|title=The Journal of the Indian archipelago and eastern Asia|volume=2}}</ref><ref>http://bunyoro-kitara.org/73.html</ref> Pada kenyataannya sampaisebelum tahun 1850, [[Bulungan]] beradamerupakan dibagian bawah dominasidari [[Kesultanan Sulu]].<ref name="indonesianhistory.info">{{en}} (2007){{cite web|url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|title=Borneo in 1850|publisher=Robert Cribb|date=|work=Digital Atlas of Indonesian History|accessdate=1 August 2011|archive-date=2012-06-10|archive-url=https://web.archive.org/web/20120610194305/http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|dead-url=yes}}</ref>
 
== Sejarah Kerajaan Bulungan ==
Baris 56 ⟶ 60:
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “''lungun''” atau peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu [[ani-ani]] (''kerkapan''), ''kedabang'', sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (''bersairuk''). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
 
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di hulu kampung Long PelbanPeleban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan, seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara yang melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. ''Tanjung hanyut itu'' sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan ''Busang Mayun'', artinya ''Pulau Hanyut''.
 
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari [[Kota Tanjung Selor]], ibu kota [[Kabupaten Bulungan]] sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung [[Tanjung Palas Barat, Bulungan|Long Mara]], [[Antutan, Tanjung Palas, Bulungan|Antutan]] dan [[Pimping, Tanjung Palas Utara, Bulungan|Pimping]]. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari [[Brunei]], yaitu Datuk Mencang.
Baris 98 ⟶ 102:
Pada 1881, Perusahaan ''North Borneo Chartered'' dibentuk, yang sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1880-an. Belanda mendirikan sebuah pos pemerintah di [[Tanjung Selor]] pada tahun [[1893]]. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani ''Korte Verklaring'', pernyataan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
 
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun [[1915]]. Kesultanan ini diberikan status sebagai wilayah ''Zelfbestuurzelfbestuur'' (administrasi sendiri[[swapraja]]) pada tahun 1928, seperti banyak kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda. Penemuan minyak oleh [[Bataafsche Petroleum Maatschappij]] (BPM) di [[Pulau Bunyu]] dan [[Tarakan]] telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, yang menjadikan Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.
 
Penemuan minyak oleh ''Bataafse Petroleum Maatschappij'' (BPM) di [[Pulau Bunyu]] dan [[Tarakan]] telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, yang menjadikan Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.
 
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah [[Swapraja]] Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai [[Tragedi Bultiken]] (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.