Istilah Yahudi–Kristen: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Lutherchrist (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu dirapikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tsbtmstfd (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 1 pranala ditambahkan.
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Disarankan: tambahkan pranala
 
(15 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Istilah Yahudi-Kristen''' digunakan untuk mengelompokkan agama ''[[Hubungan terjalin Yudaisme untuk Kekristenan|Kristen dan Yudaisme]]'', baik yang mengacu pada turunan agama Kristen dari Yudaisme, pengakuan agama Kristen atas [[Taurat|kitab suci Yahudi]] alias ''Torah'' yang merupakan [[Perjanjian Lama]] dari [[Alkitab]] Kristen, atau nilai-nilai yang diyakini dianut oleh kedua agama tersebut. Istilah ''Kristen Judæo'' pertama kali muncul pada abad ke-19 sebagai kata untuk orang Yahudi yang berpindah agama menjadi Kristen. Istilah ini mendapat banyak kritik, sebagian besar dari para pemikir Yahudi, karena mengandalkan dan melanggengkan gagasan supersessionisme yang pada dasarnya [[antisemit]], serta mengabaikan perbedaan mendasar antara pemikiran, teologi, budaya, dan praktik Yahudi dan Kristen.
 
Di Amerika Serikat , istilah ini digunakan secara luas selama [[Perang Dingin]] dalam upaya untuk menunjukkan bahwa Amerika mempunyai identitas Amerika yang bersatu dan menentang komunisme .
 
Penggunaan istilah " agama Ibrahim " untuk merujuk pada pengelompokan umum agama yang diatribusikan kepada Abraham ( Islam , Iman Baháʼí , Samaria , Druzisme , dan agama lain selain Yudaisme dan Kristen) juga terkadang dianggap bermasalah.<ref>{{cite book|author=Aaron W. Hughes|title=Abrahamic Religions: On the Uses and Abuses of History|url=https://books.google.com/books?id=0K3Ia1rQCZEC&pg=PA71|year=2012|publisher=Oxford University Press|pages=71–75|isbn=9780199934645}}</ref>
Baris 25:
Pada akhir tahun 1940-an, para pendukung pendekatan baru Yahudi-Kristen melobi Washington untuk mendapatkan dukungan diplomatik terhadap negara baru Israel. Sejak tahun 1990-an, hingga dua dekade pertama abad ke-21, minat dan sikap positif terhadap tradisi Yahudi-Kristen Amerika telah menjadi arus utama di kalangan kaum evangelis dan (sampai batas tertentu) gerakan politik konservatif di Amerika Serikat.<ref>Paul Charles Merkley, ''Christian Attitudes Towards the State of Israel'' (McGill-Queen's University Press, 2007)</ref>
 
Sebaliknya, pada tahun 1970-an, denominasi Protestan arus utama dan Dewan Gereja Nasional lebih mendukung Palestina dibandingkan Israel.<ref>Caitlyn Carenen, ''The Fervent Embrace: Liberal Protestants, Evangelicals, and Israel'' (2012)</ref> [13] Natan Sharansky mengamati pada tahun 2019, bahwa untuk pertama kalinya, ia menghadapi situasi negara-negara dengan dukungan pemerintah yang besar terhadap Israel tetapi tidak tertarik dan bahkan dimusuhi secara terang-terangan oleh masyarakat Yahudi.
 
Dasar alkitabiah untuk sikap positif baru terhadap orang Yahudi di kalangan Injili ditemukan dalam Kejadian 12:3, di mana Allah berjanji bahwa Dia akan memberkati mereka yang memberkati Abraham , dan mengutuk mereka yang mengutuk mereka. Dalam penafsiran Injili, janji ini mencakup keturunan Abraham. Faktor-faktor lain dalam filo-Semitisme baru termasuk rasa terima kasih kepada orang-orang Yahudi karena berkontribusi terhadap landasan teologis agama Kristen dan menjadi sumber para nabi dan Yesus; penyesalan atas sejarah antisemitisme Gereja; dan ketakutan bahwa Tuhan akan menghakimi bangsa-bangsa di akhir zaman berdasarkan cara mereka memperlakukan orang-orang Yahudi. Selain itu, bagi banyak kaum evangelis Israel dipandang sebagai instrumen yang melaluinya nubuatan tentang akhir zaman digenapi.<ref>Evangelicals and Israel: The Story of Christian Zionism by Stephen Spector, 2008</ref>
 
Penggunaan istilah "Yahudi-Kristen" dalam wacana abad ke-21 telah dikritik karena menyamakan dua agama yang berbeda dan menjadi vektor Islamofobia karena pengucilan.<ref>{{cite web |url=https://newrepublic.com/article/155735/rights-judeo-christian-fixation |title=The Right's "Judeo-Christian" Fixation |author=Udi Greenberg |date=November 14, 2019 |publisher=The New Republic |access-date=July 10, 2023}}</ref><ref>{{cite web |url=https://religiondispatches.org/what-do-we-mean-by-judeo-christian/ |title=What Do We Mean by 'Judeo-Christian'? |last=Goldman |first=Shalom |date=February 15, 2011 |publisher=Religious Dispatches.}}</ref><ref>{{cite web |url=https://theconversation.com/the-term-judeo-christian-has-been-misused-for-political-ends-a-new-abrahamic-identity-offers-an-alternative-125523 |title=The term 'Judeo-Christian' has been misused for political ends – a new 'Abrahamic' identity offers an alternative |author=Toby Greene |date=December 24, 2020 |publisher=The Conversation}}</ref>
 
== Tanggapan Yahudi ==
 
Sikap komunitas Yahudi terhadap konsep ini beragam. Pada tahun 1930-an, "Dalam menghadapi upaya anti-semit di seluruh dunia untuk menstigmatisasi dan menghancurkan Yudaisme, umat Kristen dan Yahudi yang berpengaruh di Amerika berupaya untuk menegakkannya, mendorong Yudaisme dari pinggiran kehidupan keagamaan Amerika menuju pusatnya."{{sfn|Sarna|2004|p=267}} Selama Perang Dunia II, para pendeta Yahudi bekerja sama dengan para pendeta Katolik dan pendeta Protestan untuk meningkatkan niat baik, dengan menyapa para prajurit yang, "dalam banyak kasus belum pernah melihat, apalagi mendengar seorang Rabi berbicara sebelumnya." Pada pemakaman prajurit tak dikenal itu, para rabi berdiri di samping pendeta lainnya dan membacakan doa dalam bahasa Ibrani. Dalam tragedi masa perang yang banyak dipublikasikan, tenggelamnya kapal ''Dorchester'', pendeta multi-agama di kapal tersebut melepaskan sabuk pengaman mereka untuk mengevakuasi pelaut dan berdiri bersama "bergandengan tangan dalam doa" saat kapal tenggelam. Sebuah perangko tahun 1948 memperingati kepahlawanan mereka dengan kata-kata: "aksi antaragama".{{sfn|Sarna|2004|p=267}}
 
Pada tahun 1950-an, "kebangkitan spiritual dan budaya melanda umat Yahudi Amerika" sebagai respons terhadap trauma Holocaust.{{sfn|Sarna|2004|p=267}} Orang-orang Yahudi Amerika menjadi lebih percaya diri dalam keinginan mereka untuk diidentifikasi sebagai orang yang berbeda.
 
Dua buku terkenal membahas hubungan antara Yudaisme dan Kristen kontemporer, Where Judaism Differs karya Abba Hillel Silver dan Yudaism and Christianity karya Leo Baeck , keduanya dimotivasi oleh dorongan untuk memperjelas kekhasan Yudaisme "di dunia di mana istilah Yahudi-Kristen telah mengaburkan perbedaan kritis antara kedua agama."{{sfn|Sarna|2004|p=281}} Bereaksi terhadap kaburnya perbedaan teologis, Rabbi Eliezer Berkovits menulis bahwa "Yudaisme adalah Yudaisme karena menolak agama Kristen, dan agama Kristen adalah Kristen karena menolak Yudaisme."<ref>Disputation and Dialogue: Readings in the Jewish Christian Encounter, Ed. F. E. Talmage, Ktav, 1975, p. 291.</ref> Teolog dan penulis Arthur A. Cohen, dalam ''The Myth of the Judeo-Christian Tradition'', mempertanyakan validitas teologis konsep Yahudi-Kristen dan berpendapat bahwa konsep tersebut pada dasarnya merupakan penemuan politik Amerika, sedangkan Jacob Neusner, dalam Yahudi dan Christians: ''The Myth of a Common Tradition'', menulis, "Kedua agama tersebut mewakili orang-orang yang berbeda yang membicarakan hal-hal yang berbeda kepada orang yang berbeda."<ref>Jacob Neusner (1990), ''Jews and Christians: The Myth of a Common Tradition''. New York and London: Trinity Press International and SCM Press. p. 28</ref>
 
Profesor hukum Stephen M. Feldman melihat periode sebelum tahun 1950, terutama di Eropa, melihat penerapan "tradisi Yahudi-Kristen" sebagai {{ill|supersessionisme|en|supersessionism}}:
 
{{blockquote|Ketika seseorang menyadari bahwa agama Kristen secara historis telah melahirkan antisemitisme, maka apa yang disebut sebagai tradisi ini akan muncul sebagai dogma Kristen yang berbahaya (setidaknya dari sudut pandang Yahudi). Bagi umat Kristiani, konsep tradisi Yahudi-Kristen dengan mudah menunjukkan bahwa Yudaisme berkembang menjadi Kristen—bahwa Yudaisme diselesaikan dalam agama Kristen. Konsep tradisi Yahudi-Kristen berasal dari teologi supersesi Kristen, yaitu perjanjian (atau Perjanjian) Kristen dengan Tuhan menggantikan perjanjian Yahudi. Kekristenan, menurut kepercayaan ini, mereformasi dan menggantikan Yudaisme. Oleh karena itu, keyakinan ini menyiratkan, pertama, bahwa Yudaisme memerlukan reformasi dan penggantian, dan kedua, bahwa Yudaisme modern hanya tinggal sebagai "peninggalan". Yang paling penting, kepercayaan terhadap tradisi Yahudi-Kristen secara diam-diam mengaburkan perbedaan nyata dan signifikan antara Yudaisme dan Kristen.<ref>Stephen M. Feldman (1998), ''Please Don't Wish Me a Merry Christmas: A Critical History of the Separation of Church and State''</ref>}}
 
== Referensi ==