Kesultanan Buton: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Warga Manorian (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: gambar rusak VisualEditor
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 27:
| currency =
| footnotes =
| p3 = Kesultanan Gowa
| flag_p3 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
}}
 
Baris 98 ⟶ 100:
 
== Birokrasi Kesultanan ==
Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat negeri tersusun dalam suatu sistem tata pemerintahan dimana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah Kesultanan Buton tersebut lerdiriterdiri alasatas Wilayah Inti, [[Suku Moronene|Moronene]] dan Barata. Dalam perkembangannya setelah agama Islam menjadi agama resmi bagi masyarakat Kerajaan Buton. Wilayah Kesultanan ya meliputi pulau Buton secara keseluruhan, pulau Muna bagian selatan, kepulauan Tukang Besi, pula Wawonii dan Jazirah Tenggara daratan pulau Sulawesi. Undang-undang "[[Murtabat Tujuh Kesultanan Buton]]" ditetapkan sejak tahun 1610 di masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin (1579- 1631). Undang-undang tersebut mengenal tiga tingkatan pemerintahan.<ref name=":0" />
 
* Pertama: Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio" meliputi tiga unsur yaitu; (1) Sultan, (2) Badan Sarana Wolio yang terdiri atas Pasopitumatana, Siolimbona, Sarana Hukumu dan (3) Staf khusus kesultanan.
Baris 104 ⟶ 106:
* Keliga: Pemerintahan Barata "Sarana Barata", meliputi Lakina/ Kepala Barata, sapati, Kanepulu, Bonto Ogena, Kapatilau, dan Lakina Agama.
 
Dengan susunan dan tingkatan seperti demikian maka jabatan tertinggi adalah Sultan. Pada tingkat pemerintahan wilayah (Kadie) 27 dipimpin Babato atau Bonto dan pada tingkat pemerintahan Barata dipimpin oleh Lakina Barata.<ref name=":0" />
 
=== Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio"<ref name=":0">{{Cite book|last=Zuhdi dkk|first=Susanto|date=1996|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/12819/1/Kerajaan%20tradisional%20sulawesi%20tenggara%20kesultanan%20buton.pdf|title=Kerajaan tradisional sulawesi tenggara kesultanan buton|location=Jakarta|publisher=Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (CV. Defit Prima Karya)|pages=26-32|url-status=live}}</ref> ===
 
# Sultan, adalah kepala Negara yang memimpin pemerintahan, pemimpin umat dan keagamaan yang memegang kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Dalam rangka mengemban tugas yang mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat lahir dan bathin. Sultan menjalankan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
Baris 131 ⟶ 133:
== Politik ==
 
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan [[Majapahit]], [[Kedatuan Luwu|Luwu]], [[Kerajaan Konawe|Konaw]]<nowiki/>e, dan [[Kerajaan Muna|Muna]]. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan [[uang]] yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem [[Desentralisasi]] (otonomio[[Daerah otonom|tonomi daerah]]) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
 
== Masyarakat ==
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperoleh dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
 
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu sering kali memunculkan konflik yang berujung kepada [[perang saudara]], bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
 
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung]]. Ada pula yang berasal dari [[Jawa]] yaitu Sri Batara dan [[Raden Jutubun]] yang merupakan putra dari [[Jayanagara|Jayanegara]].
 
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
 
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak [[Gajah Mada]] mengumumkan [[Sumpah Palapa|sumpah palapa]]-nya. Pada masa itu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]] mengalami kemunduran. Begitu juga [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]]. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
 
== Perekonomian ==