Usman bin Yahya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jinchu2019 (bicara | kontrib)
k Menambahkan bin Jupri
Tag: Dikembalikan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Memperbaiki Kesalahan Penulisan dan Di ubah oleh pihak tidak bertanggung jawab
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 22:
| organization =
| agent =
| known_for = Mufti BataviaBetawi
| notable_works = berdakwah
| style =
Baris 30:
| weight =
| television =
| title = [[Habib atau Sayyid]]
| term =
| predecessor =
Baris 45:
}}
 
'''Usman bin [[Yahya Ba’alawi|Yahya]]''', '''Utsman ibn [[Yahya Ba’alawi|Yahya]]''' bin Jupri atau '''Othman bin [[Yahya Ba’alawi|Yahya]]''' ({{lang-ar-at|عثمان بن يحيى | ‘Uthmān bin Yahyā}}; {{IPA-ar|ʕuθma:n bin jɑħjɑ:}} nama lengkap: ({{lang-ar-at|الحبيب عثمان بن عبد الله بن عقيل بن يحيى العلوي| Sayyid ‘Uthmān ibn ‘Abdallāh ibn ‘Aqīl ibn Yaḥyā al-‘Alawī}}) ; 1822 [[Masehi]]/17 [[Rabi' al-awwal]] 1238 [[Hijriyah]] - 1913 M/21 [[Safar]] 1331 H) adalah [[Mufti Agung]] [[Sejarah Jakarta|BataviaBetawi]] pada abad ke-19 di [[Hindia Belanda]].
 
==Sejarah==
[[Habib]] Usman bin Yahya lahir di [[Pekojan, Tambora, Jakarta Barat|Pekojan]], [[Batavia, Hindia Belanda|Batavia]] pada 1822 [[Masehi]] (17 [[Rabiul awal]] 1238 [[Hijriyah]]). Usman berasal dari keluarga [[Alawiyyin|Ba 'Alawi sada]] dengan ayahnya adalah [[Sayyid]] Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Ibunya adalah Aminah, seorang putri dari [[Sheikh Mesir Abdurahman Al-Misri]].<ref>{{cite book| url= | title=Ulama Pembawa Islam Di Indonesia Dan Sekitarnya|series=Seri Buku Sejarah Islam|volume=4|first=Muhammad |last=Syamsu As|edition=2|publisher=Lentera|year=1996|isbn=978-9798880162}}</ref>
 
Habib Utsman bin Yahya dilahirkan di Batavia, tepatnya di daerah Pekojan, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. ayahnya bernama Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya, dilahirkan di Mekkah dari keturunan Hadramaut. Ibunya adalah Aminah, putri dari Syekh Abdurrahman al-Misri. Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayah Habib Utsman bin Yahya bertolak kembali ke Mekkah, sehingga ia pun diasuh oleh kakeknya, Syekh Abdurrahman al-Misri.  Beliau memperoleh pendidikan tidak dalam lembaga pendidikan formal, melainkan secara pribadi ia belajar dari kakeknya berbagai macam studi agama, bahasa Arab, dasar-dasar ilmu falak-spesialisasi kakeknya- dan adab sopan santun.
 
Ketika berumur 18 tahun, sang kakek meninggal, kemudian Habib Utsman bin Yahya memutuskan untuk mengembara ke Mekkah. Di kota itu, selain menunaikan ibadah haji, ia juga mengagendakan kepergiannya itu untuk melepas rindu dengan ayahnya dan kerabatanya. Selain itu, di kota itu Habib Utsman bin Yahya mulai menempa diri dengan mendulang berbagai khazanah keilmuan selama tujuh tahun. Kebanyakan dari ayahnya dan Sayid Ahmad Dahlan seorang mufti Syafi’i kondang dan dikenal pula sebagai sejarawan Mekkah.Setelah itu, Habib Utsman bin Yahya melanjutkan langkah kelananya ke Hadramaut. Di sini, ia kembali menambah dan mendalami pengetahuan agamanya dengan berguru ke sejumlah ulama terkemuka di kota itu, seperti Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, Habib ‘Alawi bin Segaf al-Jufrie.
 
Di kota ilmu itu, beliau menghabiskan hari-harinya dengan menelaah berbagai korpus klasik. Atas permintaan salah seorang gurunya, beliau menikah dengan seorang syarifah. Ketika beberapa gurunya telah meninggal, beliau memutuskan untuk melanjutkan perjalanan keilmuannya dengan kembali ke Mekkah lalu kemudian ke Madinah. Seperti banyak ulama terkenal lainnya, Habib Utsman bin Yahya mengkhususkan sebagian dari umurnya untuk “tapa jalan” dengan merogoh dan menambang perbendaharaan keilmuan di belahan dunia yang berbeda. Dari Madinah beliau pergi ke Dimyat, Mesir-kampung halaman ibunya-untuk bertemu dengan keluarganya. Beliau bermukim di Mesir selama delapan bulan, sekaligus menimba berbagai disiplin ilmu dari ulama ternama di kota itu.
 
Tak lama kemudian, kakinya kembali melangkah untuk membuka daerah-daerah lain yang belum ia kunjungi seperti ke Tunis, Maroko, Aljazair yang disinggahinya masing-masing selama limadan tujuh bulan. Beliau sempat mengunjungi beberapa kota, seperti Marakesh dan Fezt, tempatnya menyemai ilmu-ilmu eksoterik (zahir) dan esoterik (batin). Selain itu, Beliau juga rajin menyambung kawat persaudaraan dengan jejaring ulama di sana, salah satunya dengan Mufti Tunis. Setelah merasa cukup, Habib Utsman bin Yahya berlayar ke Istanbul, Turki yang ditinggalinya selama tiga bulan. Di ibukota dunia Islam itu, ia bertemu dengan mufti dan Syaikh al-Islam, dan menerima sebuah surat dari Pasya Madinah kemudian Beliau pergi ke Palestina, Suriah, dan Hadramaut. Beliau kembali ke Batavia (Jakarta) melalui Singapura pada 1279 H/1862 M dan menjadi Mufti Betawi.
 
Habib Utsman bin Yahya adalah habib atau ulama yang sangat berpengaruh, bukan saja di Jakarta, Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa dalam sebuah lawatan ulama Pattani, Thailand ke salah satu pondok pesantren di Sukabumi, mereka menemukan karya-karya Habib Utsman bin Yahya dalam bahasa Arab Melayu. Mereka mngatakan bahwa di tempat mereka di Pattani, karya-karya Habib Utsman bin Yahya masih diajarkan. Beliau memang ulama yang produktif menulis, ada yang menyebutkan bahwa karya-karyanya berjumlah 116 buah, ada pula yang menyebutkan sebanyak 114 buah. Habib Ali Yahya, mantan Wapemred Majalah Al-Kisah, menyebutkan kepada saya bahwa karya Habib Utsman bin Yahya ada 150-an buah. Salah seorang ulama yang masih menyimpan hampir semua karya-karya Habib Utsman bin Yahya adalah KH. Tubagus Ahmad Bakri yang akrab dipanggil Mama Sempur Plered karena tinggal di daerah Sempur, Plered, Purwakarta.
 
Keilmuannya yang tinggi, kiprah dan pengaruhnya yang luas seharusnya menjadikan Habib Utsman bin Yahya sebagai sosok yang seharusnya dikenang setiap hari wafatnya dalam sebuah acara haul. Namun, beliau sudah berwasiat kepada keluarganya agar jika beliau wafat jangan diadakan haul untuk dirinya. Maka, beliau adalah sedikit ulama yang tidak pernah diadakan haulnya saban tahun. Beliau juga ulama yang jarang diziarahi kuburannya. Ini dikarenakan kuburan beliau masih diragukan keotentikannya oleh sebagian kalangan. Masih menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa pada saat Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, dilakukan pemindahan makam, terutama makam para ulama, di daerah Tanah Abang yang terkena proyek pembangunan.
 
Ketika makam Habib Utsman bin Yahya digali, ternyata tidak ditemukan jenazahnya. Petugas penggali kubur terus menggali sampai kedalaman 4 bahkan ada yang mengatakan 6 meter, tetap saja jenazah Habib Utsman bin Yahya tidak ditemukan, baik kain kafan atau tulang belulangnya. Padahal, beliau dimakamkan persis bersebelahan dengan makam Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, bapak dari ibu beliau atau kakeknya dari pihak ibu yang wafatnya jauh lebih dulu dari Habib Utsman bin Yahya. Makam Syaikh Abdurrahman Al-Mishri juga ikut dibongkar dan ditemukan kain kafan serta lainnya. Dikarenakan tidak ditemukan kain kafan dan bekas-bekas jenazah dari Habib Utsman bin Yahya, maka yang dipindahkan adalah tanah kuburannya saja ke Pemakaman Jeruk Purut. Lalu, dipindahkan lagi ke kuburan sekarang, yaitu di Kompleks Masjid Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. Jadi, yang dimaksud dengan kuburan Habib Utsman bin Yahya di Kompleks Masjid Abidin adalah kuburan simboliknya, bukan kuburan sebenarnya.
 
==Kontroversi==