Pakubuwana II: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Perbaiki
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Erwin Mulialim (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(3 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 66:
Menurut kepercayaan Jawa jika sebuah istana kerajaan telah rusak akibat peperangan dianggap sudah tidak memiliki wahyu keprabon lagi. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin mendirikan istana baru ke daerah lain yang layak dihuni. Setelah dilakukan pencarian wilayah pengganti Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal [[17 Februari]] [[1745]] keraton baru di desa [[Sala]] secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian diberi nama Surakarta.<ref>{{cite journal|title= Abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat tahun 2004-2014|authors= Dani Eko Kristiyanto, Syafruddin Yusuf, Alian Syair|journal= Journal of Indonesian History|volume= 8|number= 2|year= 2019|issn= 2252-6633|url= https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/35976}}</ref>
 
Pada periode selanjutnya di tahun [[1755]] pasca [[Perjanjian Giyanti]] yang disepakati oleh putra dan adiknyaadik -nya, yaitu [[Pakubuwana III]] dengan [[Pangeran Mangkubumi]], mengakibatkan terbelahnya Mataram menjadi dua kubu antara Pakubuwana III di [[Surakarta]] dan Pangeran Mangkubumi di [[Yogyakarta]]. Setelah perjanjian itu disepakati, Mataram yang semula memiliki pemerintahan tunggal dibawah Pakubuwana III, terbagi menjadi dua poros kerajaan. Peristiwa tersebut ditandai dengan istilah ''Palihan Nagari'' dan menandai berakhirnya kedaulatan Mataram.<ref name=Brown63>{{cite book|last=Brown|first=Colin|year=2003|title=A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?|location=Crows Nest, Australia|publisher=Allen & Unwin|isbn=978-1-86508-838-9|url=https://books.google.com/books?id=uGrIdxXzupYC}}</ref>
 
== Sayembara ==
Baris 85:
Pakubuwana II jatuh sakit pada akhir tahun [[1749]]. Baron von Hohendorff, yang kini menjabat gubernur pesisir [[Jawa]] bagian timur, tiba menjenguknya di [[Surakarta]] sebagai saksi [[VOC]] atas jalannya pergantian raja (suksesi). Pakubuwana II bahkan terpaksa menyerahkan kedaulatan Mataram kepada von Hohendorff, akibat api pemberontakan yang tak kunjung padam. Perjanjian pun ditandatangani tanggal [[11 Desember]] [[1749]] sebagai titik awal hilangnya kedaulatan [[Mataram II|Mataram]] ke tangan [[Belanda]].
 
Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia pada tanggal [[20 Desember]] [[1749]], dan digantikan oleh Raden Mas Suryadi, putranya yang bergelar [[Pakubuwana III]]. Pakubuwana III pada pemerintahannya harus dihadapkan pada kaum pemberontak yang dipelopori [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]] dan [[Pangeran Sambernyawa]]. Di kemudian hari pada tahun [[1755]], kedua belah pihak antara [[Pakubuwana III]] dan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]] menyepakati isi [[Perjanjian Giyanti]]. Disusul [[Perjanjian Salatiga]] pada tahun [[1757]] yang disepakati oleh ketiga pihak yakni [[Pakubuwana III]], [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]] dan [[Pangeran Sambernyawa]].
 
== Referensi ==