Marga Tionghoa-Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: halaman dengan galat kutipan |
Tag: halaman dengan galat kutipan |
||
(5 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 58:
|}
Konvensi ejaan ini bertahan selama [[Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda|pendudukan Jepang]] (1942–1945) hingga memasuki [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]] (1945) dan pengakuan kedaulatan oleh [[Dewan Negara Belanda|pemerintah Belanda]] (1949). Karena pemerintahan Indonesia yang merdeka mewarisi [[Hukum di Belanda|sistem peradilan Belanda]], konvensi ejaan ini juga bertahan hingga 1965 pada era kepresidenan [[
Pemerintah Indonesia kemudian mulai mengubah ejaan bahasa Indonesia untuk mengharmonisasikannya dengan ejaan yang digunakan untuk [[bahasa Melayu]] di [[Malaysia]], [[Singapura]] dan [[Brunei]], pertama di bawah [[Ejaan
===1966–1998===
Setelah [[
Meskipun mengalami proses Indonesianisasi, marga Hokkian masih digunakan sampai sekarang oleh diaspora Tionghoa-Indonesia di luar negeri (sebagian besar di Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat)—biasanya oleh orang Tionghoa-Indonesia yang cukup berani selama rezim Soeharto untuk mempertahankan nama Tionghoa mereka (misalnya, [[Kwik Kian Gie]])—atau oleh mereka yang tidak mampu memproses perubahan nama melalui birokrasi sipil Indonesia.
===
Orang-orang yang mempertahankan nama Indonesia mereka melakukannya karena mereka tetap khawatir dengan terus berlanjutnya [[Rasisme di Indonesia|isu ras]], mereka percaya bahwa penutur bahasa non-Tionghoa mungkin kesulitan dengan pengucapannya, sudah menjadi kebiasaan dari era Orde Baru, keluarga mereka tidak lagi berbicara bahasa Tionghoa, mereka percaya bahwa nama-nama Tionghoa lebih baik ketika dituliskan dalam [[Hanzi]], atau mereka belum pernah memikirkannya.<ref name=":2">{{Cite journal |last=Kurniawan |first=Budi |date=2012 |title=Penggunaan Nama Barat Oleh Etnis Tionghoa di Surabaya |trans-title=Use of Western Names by Ethnic Chinese in Surabaya |url=https://e-journal.unair.ac.id/LAKON/article/view/1911 |journal=Lakon: Jurnal Kajian Sastra Dan Budaya |language=id |volume=1 |issue=1 |pages=12–20 |doi=10.20473/lakon.v1i1.1911 |issn=2527-4899|doi-access=free }}</ref>
Saat ini, orang Tionghoa Indonesia yang lahir di sekitar era [[Orde Baru]], terutama antara tahun 2000 dan 2003, sebagian besar menggunakan nama-nama yang terdengar Barat. Meskipun beberapa dari nama-nama ini mungkin dikaitkan dengan agama seperti [[Kekristenan]],<ref>{{Cite web |last=Chuarsa |first=Ira |date=2019-05-11 |title=Menafsir Ulang Hubungan Tradisi Cina dan Kekristenan di Indonesia |trans-title=Reinterpreting the Relationship between Chinese Tradition and Christianity in Indonesia |url=https://crcs.ugm.ac.id/menafsir-ulang-hubungan-tradisi-cina-dan-kekristenan-di-indonesia/ |access-date=2024-01-24 |website=Universitas Gajah Mada |language=id}}</ref> sebagian lainnya memilih nama-nama Barat karena mereka merasa nama-nama tersebut menarik dan bermakna, sesuai dengan tren saat itu, menawarkan beragam pilihan, terinspirasi dari selebritas Barat, mencerminkan tradisi keluarga, menunjukkan eksposur mereka pada kebudayaan Barat, melambangkan aspirasi untuk mendapatkan pengakuan internasional, atau hanya karena mereka lebih menyukai nama yang tidak terdengar Indonesia.<ref name=":2" />
== Contoh marga Tionghoa dan nama adopsinya yang terdengar Indonesia ==
|