Rahmah El Yunusiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perempuan |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
(12 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 22:
Rahmah sempat belajar di [[Diniyah School]] yang dipimpin abangnya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]]. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri dalam satu kelas, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa [[ulama Minangkabau]] untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Selain itu, ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam khusus perempuan pertama di Indonesia.
Sewaktu [[Sumatera Barat pada masa pendudukan Jepang|pendudukan Jepang di Sumatera Barat]], Rahmah memimpin ''Haha No Kai'' di Padang Panjang untuk membantu perwira ''[[Giyugun]]''. Pada masa [[Sejarah Indonesia (1945–1949)|perang kemerdekaan]], ia memelopori berdirinya
Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi [[Universitas Al-Azhar]] membuka ''Kulliyatul Banat'', fakultas yang dikhususkan untuk perempuan.
== Kehidupan
[[Berkas:Museum_Rahmah_El_Yunusiyah_oleh_Denas.jpg|jmpl|260x260px|[[Museum Rahmah El Yunusiyah]]]]
Rahmah El Yunusiyah lahir pada 26 Oktober 1900 [<small>[[Kalender Hijriyah]]: 1 Rajab 1318</small>] di [[Bukit Surungan, Padang Panjang Barat, Padang Panjang|Nagari Bukit Surungan]], [[Padang Panjang]].{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=176}} Ia adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin dan Rafia, memiliki dua
Dalam usia 60 tahun, Yunus wafat meninggalkan Rahmah yang masih berusia
Lantaran jarang bergaul dengan teman sebayanya, Rahmah remaja menjadi gadis pendiam dan pemalu. Ketiadaan ayah membuat Rahmah banyak memikirkan dan menyelesaikan sendiri urusannya.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=37}} Ia menjahit bajunya dan menyenangi berbagai macam kerajinan tangan. Mengikuti tradisi adat, Rahmah dalam usia 16 tahun dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin Lathif, seorang ulama dari [[Sumpur, Batipuh Selatan, Tanah Datar|Sumpur]]. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=225}}{{sfn|Janti|28 Juli 2018}}
== Pendidikan ==
[[Berkas:Zainuddin Labay El Yunusy pd.jpg|jmpl|[[Zainuddin Labay El Yunusy]], pendiri Diniyah School adalah
Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para [[ulama Minangkabau]] usai menuntut ilmu di [[Timur Tengah]] pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabau menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis [[surau]]. Pada 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Islam Diniyah School yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga dan memiliki perpustakaan.{{sfn|Edwar|1981|pp=186{{spaced ndash}}195}} Sekolah ini menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki, hal yang baru bagi sekolah agama saat itu.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=42}} Rahmah ikut mendaftar, diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah menyesuaikan dengan kemampuannya.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=44}}
Baris 43:
Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan [[Persatuan Murid-Murid Diniyah School]] (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas VI, Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan kepada teman-teman perempuannya di PMDS.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=44}} Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa."{{sfn|Munawaroh|2002|pp=12}}{{sfn|Kahin|2005|pp=109}}
Sembari memimpin sekolah, Rahmah
== Mendirikan Diniyah Putri ==
Baris 63:
Majalah ''[[Aboean Goeroe-Goeroe]]'' milik perkumpulan para guru di Sumatera Barat pada Mei 1930 menyebut Rahmah sebagai orang pertama yang berkiprah "untuk kemajuan anak-anak perempuan di Minangkabau". Rahmah dipuji sebagai sosok yang "sedikit bicara dan tertawa, tetapi banyak bekerja".{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar dari perempuan, Rahmah ingin memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=179}} Ia mengusahakan pendanaan Diniyah Putri secara mandiri, termasuk dengan menjual perhiasannya.{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Ia juga melakukan penggalangan dana tanpa bergantung pada laki-laki. Ia mengatakan, "buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi".{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=276}} [[Abdul Malik Karim Amrullah|Hamka]] mencatat, perwakilan [[Muhammadiyah]] di Padang Panjang pernah datang kepada Rahmah pada 1928, menganjurkan agar pengelolaan Diniyah Putri diserahkan kepada Muhammadiyah. Rahmah menolak tawaran tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya “tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah kepada dirinya sendiri”.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=27}}<blockquote class="toccolours" style="text-align:justify; width:25%; margin:0 0em 1em .25em; float:right; padding: 10px; display:table; margin-left:10px;">"...Bagaimana keras hatinya buat memajukan agama Islam ada susah pula buat bandingnya sesama kaum perempuan.."
— ''[[Sinar Sumatra]]''.</blockquote>Kepemimpinannya di Diniyah Putri membuatnya sering berpergian ke luar daerah.{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Dalam rangka penggalangan dana, Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=179}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=45}} Ia menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya, Rahmah berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan Islam, "terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai". Kegiatannya ini telah membentuk dirinya sebagai orator sekaligus meluaskan keterkenalan Diniyah Putri di Sumatra.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=245}} Dalam rangka pengembangan kurikulum, ia mengadakan studi banding melalui kunjungan ke sekolah-sekolah agama di Sumatra dan Jawa pada 1931.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|p=77}} Selain itu, ia banyak mengirim siswa-siswa tamatan Diniyah Putri untuk mengajar di berbagai daerah hingga [[Semenanjung Malaya]]. Dalam dua kali perjalanannya ke Semenanjung Malaya pada 1933 dan 1935, ia tercatat mengunjungi [[Pulau Pinang|Pinang]], [[Terengganu]], [[Johor]], [[Negeri Sembilan]], [[Selangor]], [[Perak, Malaysia|Perak]], [[Pahang, Malaysia|Pahang]], [[Kelantan]], dan [[Kedah]]. Di Sumatra, ia mengunjungi [[Kesultanan Siak Sri Inderapura|Kesultanan Siak]] menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Dalam berbagai kunjungannya, ia tampil memperkenalkan Diniyah Putri dan menghimpun dana kelanjutan pembangunan sekolah.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=257}}
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktivitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah jajahan.{{sfn|Ensiklopedia Islam|2002|pp=152}}{{sfn|Kahin|2005|pp=110}} Ketika pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau ''controleur'' Padang Panjang menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak. Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Baris 88:
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya unit perbekalan TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota ''Haha No Kai'', Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguruan Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=187}}{{efn|Ketika TKR untuk Sumatra Tengah terbentuk, rapat para pemimpin TKR pada 1 Januari 1946 di Padang Panjang menetapkan nama Divisi III Banteng di bawah pimpinan Komandan Divisi Kolonel [[Dahlan Djambek]]. Divisi III Banteng mempunyai empat resimen. Batalyon Merapi adalah satu dari tiga batalyon untuk Resimen I.}}
Ketika Belanda melancarkan [[Agresi Militer Belanda II
== Pasca-revolusi ==
[[Berkas:Rangkajo Rahmah El Junusiah.jpg|jmpl|Potret Rahmah El Yunusiyah sebagai anggota DPR pada 1956|ka]]
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk memenuhi undangan Kongres Pendidikan II Indonesia di Yogyakarta.<!--https://www.google.co.id/search?q=%22Kongres+Pendidikan+Antar+Indonesia%22&safe=strict&hl=id&tbm=bks&ei=ir6iXPegOfj6z7sPrIus2A4&start=10&sa=N&ved=0ahUKEwj3jc6_pLDhAhV4_XMBHawFC-sQ8NMDCF8&biw=1366&bih=625&dpr=1 --> Di kota yang sama, ia hadir dalam Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada 20–25 Desember 1949. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil [[Konferensi Meja Bundar]] di Den Haag, Rahmah kembali ke Padang Panjang pada Januari 1950 untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ia tinggalkan.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=80}} Pada 1951, Rahmah bergabung dalam panitia
Di bidang politik, Rahmah bergabung
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke [[Timur Tengah]]. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir
== Meninggal ==
Pada 1961, Rahmah kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ia tinggalkan pasca-pergolakan PRRI.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=63}} Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=81}} Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir kali dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju [[Kelantan]] ditemani keponakannya [[Isnaniah Saleh]]. Mereka menemui alumni Diniyah Putri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi [[Sakinah Junid|Datin Sakinah]], alumni Diniyyah Putri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, [[Mohd Asri bin Haji Muda|Datok Mohammad Asri]] yang merupakan Menteri Besar Kelantan. Mereka menyinggahi [[Penang]], [[Perak]], [[Kuala Terengganu]], dan [[Kuala Lumpur]].{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=63}} Namun, dalam kunjungannya
Rahmah meninggal mendadak dalam usia 68 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat menemui [[Gubernur Sumatera Barat]] saat itu, [[Harun Zain]], mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, "Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri."{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=137}} Setelah Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh [[Fauziah Fauzan]] sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Dalam bukunya ''Islam dan Adat Minangkabau'', [[Hamka]] menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaruan Islam di Minangkabau. Dalam sejarah [[Universitas Al-Azhar]], baru Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah.
== Pandangan ==
|