Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
BONE2024 (bicara | kontrib)
Menggantikan pranala dari yang sebelumnya dari enwiki ke pranala idwiki
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 38:
}}}}
 
[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|Dr.]] [[Haji (gelar)|H.]] '''Abdul Malik Karim Amrullah,''' gelar '''Datuk Indomo''' serta populer dengan [[nama pena]]nya, '''Buya Hamka''' ({{IPA|id|/hɑːmkɑːˈ/|lang}}, [[Abjad Jawi|Jawi]]: هامکا) ({{lahirmati|[[Kabupaten Agam|Agam]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}), adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] hingga akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] dan [[Universitas Nasional Malaysia]] menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], ia merantau ke [[Jawa]] pada umur 16 tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan [[Muhammadiyah]] di [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]]. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke [[Makkah]]. Lewat bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai wartawan sambil menjadi guru agama di [[Kabupaten Deli Serdang|Deli]]. Setelah menikah, ia kembali ke [[Medan]] dan memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Baris 129:
Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah ''Pedoman Masyarakat'' berhenti terbit.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=190}} Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.
 
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]'', yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan. sampai-sampai diDi depan anak-anaknya, ia pernah berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." HalMerasa initersudut, membuatnyaia meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di [[Aur Tajungkang Tengah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi|Aur Tajungkang]], Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
 
Kembali ke Sumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti ''Negara Islam'', ''Islam dan Demokrasi'', ''Revolusi Pikiran'', ''Revolusi Agama'', ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', dan ''Dari Lembah Cita-Cita''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=12-13}} Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]] yang diangkat menjadi [[Daftar Bupati Solok|Bupati Solok]]. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.
Baris 156:
Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Fatah III, [[Kebayoran Baru]], [[Jakarta Selatan]]. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.
 
Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari [[:en:UniversityUniversitas ofPunjab the Punjab(Pakistan)|Universitas Punjab]] di [[Lahore]], [[Pakistan]] pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama [[Muhammad Hasbi|Hasbi Ash-Shieddiqy]] dan [[Anwar Musaddad|KH Anwar Musaddad]]. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, [[Mesir]] sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di [[Universitas Al-Azhar]] pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham [[Muhammad Abduh]] di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti [[Thawalib]], [[Muhammadiyah]], [[Al-Irsyad]], dan [[Persatuan Islam|Persis]]. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di [[Asia Tenggara]], yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke [[Mekkah]], [[Jeddah]], dan [[Madinah]]. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana [[Arab Saudi|Kerajaan Arab Saudi]], ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ''Ustadziyah Fakhriyyah'', gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan [[Honoris Causa|Doktor Honoris Causa]].
 
Pada Desember 1960, [[Mahmud Syaltut|Syekh Mahmud Shaltut]], [[Imam Besar Al-Azhar]], beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.
Baris 165:
Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|Lekra]] menuduhnya sebagai "plagiator" dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul [[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]] adalah jiplakan dari karya pengarang Prancis [[Jean-Baptiste Alphonse Karr|Alphonse Karr]] ''Sous les Tilleus''. Novel ''Sous les Tilleus'' diterjemahkan oleh [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluti]] ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul ''Magdalena''.
 
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika ''Panji Masyarakat'' memuat artikel [[Mohammad Hatta|Muhammad Hatta]] berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan ''Panji Masyarakat'' berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah ''[[Gema Islam]]'' sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.
 
Pada 27 Januari 1964, setelah Masyumi dibubarkan paksa akibat adanya para anggota partai yang ditangkap di pemberontakan [[PRRI]],<ref>Ricklefs, M.C. (2008) [1981], A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (4th ed.), Palgrave MacMillan, ISBN 978-0-230-54686-8, p. 411.</ref> Hamka dan para anggota senior Masyumi turut dipenjara karena dianggap terlibat dalam pemberontakan.<ref>Ward, Ken (1970). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. pp. 12-14.</ref>
Baris 198:
 
== Meninggal ==
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Mengikuti anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di [[:en:Rumah Sakit Pusat Pertamina|Rumah Sakit Pusat Pertamina]] pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat [[Pacu-Jantung|pacu jantung]]. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu Hamka menghembuskan napas terakhirnya.{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}}
 
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir yakni [[Presiden Soeharto]] dan Wakil Presiden [[Adam Malik]], Menteri Negara Lingkungan Hidup [[Emil Salim]], dan Menteri Perhubungan [[Azwar Anas]] yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan disalatkan lagi, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama [[Alamsyah Ratu Perwiranegara]].{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}}