Kuk Norman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
 
(8 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[File:Geschichte des Kostüms (1905) (14781238671).jpg|thumb|[[Orang Norman]] (atas) dan [[Anglo-Saxon|orang Angli-Saksen-Inggris]] (bawah), ilustrasi buku ''Geschichte des Kostüms'' (terbit tahun 1905) yang ditulis [[Adolf Rosenberg]] dan [[Eduard Heyck]]]]
'''Kuk Norman''' adalah istilah yang mengacu kepada aspek-aspek zalim dari [[feodalisme]] di Inggris, yang erat dikait-kaitkan dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan [[William sang Penakluk|William Penakluk]], [[daftar penguasa Inggris|Raja Inggris]] pertama dari [[Wangsa Normandia|bangsa Norman]], dan anak buahnya, maupun anak-cucu mereka. Istilah ini digunakan di dalam wacana-wacana [[nasionalisme Inggris|nasionalisme]] dan [[demokrasi]] di Inggris sejak pertengahan abad ke-17.
 
== Sejarah ==
Petawarikh Abad Pertengahan, [[Orderikus Vitalis]], menulis di dalam risalahnya, ''Sejarah Gerejawi'', bahwa [[orang Norman]] memikulkan [[kuk (Kristen)|kuk]] ke atas pundak orang Inggris: "Maka orang Inggris pun menjerit lantaran hilang kemerdekaannya, dan tak jemu-jemu mencari daya upaya untuk menghempaskan kuk yang sedemikian tak tertanggungkan lagi asing bagi mereka."<ref>[https://www.bbc.co.uk/history/british/normans/after_01.shtml (BBC) Mike Ibeji, "The Conquest and its Aftermath"]</ref> Risalahnya yang ditulis lebih belakangan, tentang masa pemerintahan [[Henry I dari Inggris|Raja Henry I]] dan situasi negeri Inggris lima puluh tahun sesudah ditaklukkan bangsa Norman, bernada lebih positifː "Raja Henry memerintah negeri ... dengan adil dan bijaksana melewati untung maupun malang.&nbsp;... IaBaginda berlaku santun dan bermurah hati kepada para pembesar. IaBaginda menolongmenyantuni rakyat jelata dengan mengundangkan hukum-hukum yang adil, serta melindungi mereka dari pungutan yang semena-menapemalak dan para penyamun."<ref>Marjorie Chibnall, ed., ''The Ecclesiastical History of Orderic Vitalis'', Oxford, 1969–1980, jld. 5, hlm. 294–297.</ref> Istilah "kuk Norman" yang bermuatan budaya ini pertama kali muncul di dalam sebuah karya tulissastra apokrip yang diterbitkan pada tahun 1642 di tengah-tengah kecamuk [[Perang Saudara Inggris]] dengan judul ''[[Cermin Hakim-Hakim]]'', terjemahan dari ''Mireur a justices'', sekumpulan fabel politik, kehakiman, dan budi pekerti yang ditulis pada abad ke-13 dalam [[bahasa Anglo-Norman|bahasa Prancis Norman-Inggris]], kendati diduga baru dikumpulkan dan disunting pada awal abad ke-14 oleh [[Andrew Horn]], seorang sarjana kenamaan di bidang ilmu hukum.<ref>"... karya tulis apokrip ''Cermin Hakim-Hakim,'' yang sudah lama dihargai, terutama lewatberkat pengaruh Coke, sudah lama dihargai sebagai sumber pustaka yang penting di bidang hukum" ([http://www.bartleby.com/218/1308.html ''Cambridge History of English and American Literature''], jld. VIII, bagian xiii.8).
 
''Cermin Hakim-Hakim'' diterbitkan ulang oleh Perhimpunan Selden, jld. 7, tahun 1893, disunting oleh W. J. Whittaker; buku ini adalah salah satu sumber pustaka bahasa Prancis hukum Norman-Inggris yang dipakai dalam penyusunan [http://www.anglo-norman.net/lot.shtml#M ''Kamus Bahasa Norman-Inggris''], dengan menggunakan [http://www.anglo-norman.net/cgi-bin/deaf?siglum=MirJustW naskah dari pertiga pertama abad keempat belas] di [[Corpus Christi College, Cambridge|Kolese Corpus Christi, Cambridge]]. ''Mireur a justices'' menyajikan anekdot [[Alfred yang Agung#Legenda bolu hangus|kelalaian Raja Alfred yang mengakibatkan hangusnya seloyang kue bolu]].</ref> Meskipun sudah bukan rahasia lagi bagi orang-orang yang hidup pada abad ke-14 bahwa buku itu adalah sebuah karya fiksi, ketika diterbitkan pada tahun 1642, ''Cermin Hakim-Hakim'' disajikan dan diterima sebagai fakta sejarah.
 
Para kritikus pengusung gagasan kuk Norman sering kali mengedepankan [[Alfred yang Agung|Raja Alfred Agung]] atau [[Edward sang Pengaku|Raja Edward Pengaku Iman]] sebagai pencerminancerminan keadilan. Dalam konteks semacam ini, [[Magna Carta]] dipandang sebagai ikhtiar untuk memulihkan hak-hak yang dinikmati bangsa Inggris sebelum ditaklukkan bangsa Norman, sekalipun hanya untuk tuan-tuan tanah. Ketika memperbaiki tatanan kehakiman Inggris, Sir [[Edward Coke]] suka mengeluarkan pernyataan bahwa asas-asas [[hukum umum|hukum adat]] Inggris melampaui ingatan maupun catatan awal mana pun dan mendahului [[penaklukan Inggris oleh Norman|penaklukan bangsa Norman]], sekalipun diaia tidak menggunakan frasa "kuk Norman".
 
Gagasan kuk Norman mencitrakan kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah Inggris sebagai keturunan bangsa asing yang datang merenggut dan merusak [[masa keemasan|zaman kegemilangan]] bangsa Angli-Saksen-Inggris. Fikrah semacam ini sangat kuat gaungnya di kalangan masyarakat yang lebih miskin di Ingris. WhereasSekalipun Edward Coke, [[John Pym]], [[Lucy Hutchinson]], dan [[Henry Vane Muda|Sir Henry Vane]] memandang hak-hak Magna Carta lebih sebagai hak-hak golongan pemilikberharta, hartaargumen-argumen benda,tersebut juga dicuatkan dengan nada lebih radikal pada masa krisis konstitusional yang berlarut-larut pada abad ke-17 di Inggris dan [[Skotlandia]],. argumenPihak-argumen tersebut juga diutarakan dengan carapihak yang lebih radikal. Para pengemukamengemukakan argumen-argumen yang lebih radikal mencakup tokoh-tokoh seperti [[Francis Trigge]], John Hare, [[John Lilburne]], John Warr, dan [[Gerrard Winstanley]] dari [[Kaum Penggali]] yang radikal. Gerrard Winstanley bahkan menyerukan penghapusansupaya [[primogenitur|hak kesulungan]] dihapuskan dan penggarapan tanah digarap bersama-sama. "DenganSesudah menyaksikan rakyat jelata Inggris atas kemauankarsa dan upaya bersama sudah mengusir [[Charles I dari Inggris|Charles]], yakni orang Norman yang selama ini menindas kita, maka dengan kemenangan ini sudah kita bebaskan diri kita dari pasungankungkungan kuk Norman", demikian tulis Winstanley atas nama Kaum Penggali di dalam risalah ''The New Law of Righteousness'' pada bulan Desember 1649. Di dalam selebaran bertajuk ''The True Levellers Standard Advanced'', Winstanley mengemukakan sebagai berikut:
 
{{blockquote|Waham hebat apa yang di dalamnya kamu berkubang, wahai orang-orang yang berkuasa di Inggrisǃ Sampai-sampai kendati kamu berlagak menghempaskan kuk Norman itu, serta kuasa Babel, dan sudah berjanji untuk mengentaskan rakyat Inggris yang meratap tangis menjadi bangsa merdeka; masih saja kamu junjung kuk Norman itu, juga tirani perbudakan, dan mengungkung rakyat dengan belenggu, setakat yang diperbuat si Haram Jadah Penakluk itu sendiri beserta angkatan perangnya.}}
Baris 34:
|}
 
Umat Protestan pada masa pemerintahan Ratu Victoria kadang-kadang mengait-ngaitkan gagasan "kuk Norman" dengan [[anti-Katolik|Antikatolisisme]]. Mereka mengklaim bahwa jemaat Kristen di Inggris [[Anglo-Saxon|Angli-Saksen]] lebih bebas dari pengaruh Sri Paus ketimbangketika bangsa [[Anglo-Saxon|Saksen-Inggris]] masih berdaulat daripada jemaatsesudah Kristenkedatangan bangsa Norman.<ref name="dgp">Paz, Dennis G. ''Popular Anti-Catholicism in Mid-Victorian England'', Stanford, [[Stanford University Press]], 1992. {{ISBN|9780804719841}} (hlmn. 2,3,64).</ref> Sebagai buktinya, mereka mengungkit peristiwa-peristiwa seperti [[Paus Aleksander II]] mendukung [[William sang Penakluk|William Penakluk]] dan raja-raja kula[[wangsa Plantagenet]] bersembah bakti kepada [[paus (Gereja Katolik)|Sri Paus]].<ref name="dgp" /> Pengait-ngaitan [[nasionalisme Inggris|nasionalisme]] "Angli-Saksen-Inggris" dengan Antikatolisisme memengaruhi penulisan novel [[Charles Kingsley]] yang berjudul ''[[Hereward the Wake]]'' (terbit tahun 1866). Seperti novel ''Ivanhoe'', ''Hereward the Wake'' turut mempopulerkan gambaran tentang negara Inggrisbangsa Angli-Saksen-Inggris yang aman dan makmur diporakporandakan oleh bangsa Norman.<ref name="dgp" /><ref>Simmons, Clare A., ''Reversing the Conquest: Saxons and Normans in Nineteenth-Century British literature'' New Brunswick : [[Rutgers University Press]], 1990. (hlm. 15) {{ISBN|9780813515557}}</ref> Di lain pihak, [[Thomas Carlyle]] justru menafikan gagasan "kuk Norman". Di dalam bukunya, ''[[History of Friedrich II. of Prussia, Called Frederick the Great|History of Friedrich II of Prussia]]'' (terbit tahun 1858), Carlyle menggambarkan penaklukan bangsa Norman sebagai peristiwa yang berfaedah, karena bersumbangsih terhadap penyatuan Inggris.<ref>"Tanpa bangsa Norman, tegas Thomas Carlyle, bakal jadi apa negeri (Inggris) ini? 'SekumpulanSekabilah kabilahorang Juti dan orang Angli yang tamak, tidaktak mampu melahirkanmewujudkan kesatuan yang besar, hanya melangkah gontai kian kemari di dalam sunyatagelembung membelendungsunyata; tak mengangankan perjuangan dan keheningan dan ketabahan nan perwira yang menuntun orang ke pentas kemuliaan di jagat raya'." McKie, David ''McKie's Gazetteer: A Local History of Britain''. Atlantic Books, {{ISBN|184354654X}} (hlm. 246).</ref>
 
Menurut sejarawan [[Marjorie Chibnall]],
Baris 55:
</ref></blockquote>
 
Penulis cerita fantasi, [[J. R. R. Tolkien]], yang juga seorang profesor kajian Angli-Saksen-Inggris, diduga dipengaruhi teori ini, khususnya dalam menggambarkan masyarakat Hobbit yang "hidup santai di desa, terluput dari perhatian" di dalam [[The Lord of the Rings]].<ref>{{cite web |last1=Fimi |first1=Dimitra |title="Mad" Elves and "Elusive Beauty": Some Celtic Strands of Tolkien's Mythology |url=https://dimitrafimi.com/mad-elves-and-elusive-beauty-some-celtic-strands-of-tolkiens-mythology/ |website=dimitrafimi.com |access-date=2 February 2024}}</ref><ref>{{cite web |title=The dark side of the Anglo-Saxons |url=https://www.historyextra.com/membership/the-dark-side-of-the-anglo-saxons/ |website=HistoryExtra |access-date=2 Februari 2024 |language=en}}</ref>
 
Pada abad ke-21, [[Michael Wood (sejarawan)|Michael Wood]] mencuatkan konsep kuk Norman di dalam konteks yang jamak dinamakan "sejarah buku-komik" yang sangat dimitologisasi untuk serial BBC History bertajuk ''In Search of England''.<ref>Michael Wood [https://www.bbc.co.uk/history/trail/conquest/after_norman/norman_yoke_01.shtml "The Norman Yoke: Symbol or Reality?"], Sejarah buku-komik, situs BBC, 2014 = "Later generations saw the Normans as usurpers who had put the English under a 'Norman Yoke'. Was this symbolic of a general sense of oppression, or representative of the harsh crushing of a whole society ... or both?"