Kesultanan Bima: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Istana sultan Bima
Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
BayuAjisaka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(180 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 6:
| continent = moved from Category:Asia to Southeast Asia
| region = Southeast Asia
| image_map = PetaCOLLECTIE wilayahTROPENMUSEUM KesultananHet paleis van de sultan van Bima (BiruTMnr Muda)10015406.jpg
| image_map_alt =
| image_map_caption = Istana Sultan Bima
| image_map_caption = Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]], dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]].{{Sfn|Haris|2006|p=18}}
| country = Indonesia
| religion = [[Islam]]
Baris 14:
| s1 = Hindia Belanda
| flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
| year_start = 16201621
| year_end = 1958
| event_start = Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
Baris 33:
}}
{{Sejarah Indonesia}}
[[FileBerkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het paleisPortret van de sultanSultan van Bima TMnr 1001540610018801.jpg|jmpl|Istana Sultan BimaMuhammad Salahuddin (bertahta 1915-1951)]]
'''Kesultanan Bima''' (كسلطانن بيما) adalah kerajaan [[Islam]] yang didirikan pada abad 17, tanggal 7 Februari 1621 [[Masehi]] berdasarkan tanggal masuk Islamnya raja terakhir Bima atau sultan pertama Bima. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 (versi lain menyebut ke-37 {{Sfn|Haris|2006|p=19}}) dari [[Kerajaan Mbojo]] Bima yang bernama La Kai, kemudian setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Kahir. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan, dan Sultan terakhirnya adalah [[Sultan Muhammad Salahuddin]].{{Sfn|Mawaddah|2017|p=141}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Nederlandse militairen op bezoek bij Sultan Muhammed Salahuddin van Bima TMnr 10029673.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)]][[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Bima TMnr 10018801.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)]]
'''Kesultanan Bima''' (كسلطانن بيما) adalah kerajaan [[Islam]] yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 [[Masehi]]. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari [[Kerajaan Mbojo]] yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi [[Pulau Sumbawa]] dan [[Pulau Flores]] Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah [[Sultan Muhammad Salahuddin]].{{Sfn|Mawaddah|2017|p=141}}
 
== Awal Pendirian ==
[[Berkas:WILAYAH UTAMA SUKU MBOJO DAN PEMBAGIAN WILAYAH KENCUHIANNYA (BIMA KUNO).jpg|jmpl|Wilayah sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah Ncuhi Mbojo (Bima Kuno) dirintis sejak abad 7-8 masehi.]]
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat [[Suku Mbojo]] yang menganut paham [[animisme]] dan [[dinamisme]]. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama [[Agama Hindu|Hindu]] dari [[Jawa]]. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar ''Sangaji''.{{Sfn|Saputri|2016|p=633}}
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat [[Suku Mbojo]] yang menganut paham makamba dan makimbi atau dalam bahasa Indonesianya [[animisme]] dan [[dinamisme]], oleh masyarakat lokal kepercayaan ini disebut Marapu. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama kelompok etnis Mbojo lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama [[Agama Hindu|Hindu]] dari [[Jawa]]. Setelah itu, ia menggagas berdirinya Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=633}}
 
Sebelum kedatangan Sang Bhima, para Ncuhi (penguasa wilayah) telah membentuk federasi untuk menghindari konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan, namun tanpa pemimpin tertinggi seperti raja.
Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut ''Ncuhi'', sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke [[Medang|Kerajaan Medang]]. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Bima|Bima]], sedangkan Indra Kumala menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Dompu|Dompu]].{{Sfn|Saputri|2016|p=633–634}}
 
Kerajaan Bima mulai digagas oleh Sang Bhima pada abad ke-8 Masehi, tepatnya tahun 631 Saka atau 709 Masehi, berdasarkan umur situs Wadu Paa yang dipahat oleh Sang Bhima saat pertama datang ke Bima.
 
Sang Bhima menikah dengan seorang putri Bima yang berasal dari Pulau Satonda di bagian utara Bima bernama Indra Tasi Naga, dari keturunannya inilah yang menjadi raja-raja Bima nantinya. Karena sosoknya yang dinilai cerdas, karismatik dan berwibawa, para Ncuhi memintanya menjadi raja. Namun Sang Bhima harus kembali ke [[Medang|Kerajaan Medang]]. Ia kemudian mengatakan nanti akan mengirim anaknya untuk memimpin. Sehingga kepemimpinan sementara diberikan ke Ncuhi Dara, penguasa wilayah Tengah atau Kota Bima sekarang.
 
Tahun 823 (abad 9), dua anak Sang Bhima tiba di Bima, bernama Indra Jamrud dan Indra Kumala. Indra Jamrud dibekali kemampuan sebagai pelaut dan nelayan, sedangkan Indra Kumala dibekali kemampuan ahli pertanian. Sebelum salah satunya diangkat sebagai raja Bima, Indra Jamrud diasuh oleh Ncuhi Dara, sementara Indra Kumala diasuh oleh Ncuhi Dorowuni, penguasa wilayah Timur. Namun Indra Jamrud lah yang diangkat menjadi raja dengan gelar ''Ruma'' ''Sangaji.'' Ruma berarti tempat berlindung; yang mulia, Sanga berarti percabangan seperti cabang pohon, dan Ji berarti jin. Sehingga ''Ruma Sangaji'' diartikan sebagai manusia setengah dewa; manusia mulia; manusia sakti sebagai pelindung. Pendapat lain menyebutkan ''Sangaji'' berasal dari bahasa sangsekerta, yaitu ''Sang'' dan ''Aji'', dimana ''Sang'' bermakna personalisasi atau identifikasi untuk menyebut manusia, makhluk hidup lain, atau benda mati yang dianggap memiliki martabat tinggi, sementara ''Aji'' berarti ''Yang'' ''Mulia'' atau ''Yang Agung''. Sehingga pendapat kedua ini menyebutkan gelar ''Sangaji'' sebagai ''Baginda Raja Yang Mulia/Yang Agung''.
[[Berkas:Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima Era Keajaan Sebelum Dibagi Jadi Bima Timur dan Bima Barat Pada Abad 12-13.jpg|jmpl|Peta sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah utama Kerajaan Bima (Era Kerajaan) sebelum dibagi menjadi Bima Timur dan Bima Barat (Dompu) pada abad 13/14 masehi.]]
Indra Jamrud memberi nama Bima sebagai nama kerajaan untuk menghormati Sang Bhima yang telah merintis berdirinya kerajaan Bima. Ia membangun istana pertamanya bernama Asi Wadu Perpati dengan gotong royong bersama masyarakat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai kepala bagian pembangunan dan pertukangan.
 
Sedangkan Indra Kumala dikabarkan menghilang di salah satu mata air yang terletak di bagian timur pusat kota Bima, sekarang menjadi situs Oimbo, yang berasal dari kata Oi Mbora (''Oi=Air, Mbora=Hilang'') yang artinya mata air tempat hilangnya Indra Kumala.[[Berkas:Aksara Bima Kuno, disebut Tunti Nggahi Mbojo.jpg|jmpl|Aksara Bima Kuno. Diperkenalkan pertama kali di era kepemimpinan Ruma Sangaji Manggampo Jawa, disebut '''Tunti Mbojo'''.]]
[[Berkas:Kerajaan Bima Timur dan Bima Barat.jpg|jmpl|Peta pembagian wilayah utama Kerajaan Bima Timur (Bima) dan Bima Barat (Dompu) pada abad 13/14 masehi.]]
Dalam sejarahnya, wilayah Kerajaan Bima kemudian dibagi menjadi dua (Timur dan Barat). Wilayah barat (meliputi Kencuhian Saneo, Papekat, Kangkelu, dan Taloko) dipisahkan menjadi kerajaan Bima Barat bernama [[Kerajaan Dompu]], dengan raja pertamanya Sangaji Indra Kumala (bukan adik Indra Jamrud; hanya memiliki kesamaan nama).
 
Nama Dompu sendiri berasal dari kata Dompo/ Padompo yang diartikan sebagai daerah atau wilayah yang dipotong atau dipisahkan. Sementara Kerajaan Bima Timur tetap dengan nama Kerajaan Bima (meliputi Kencuhian Dara, Dorowuni, Banggapupa, Pabolo, dan Parewa). Namun dipersatukan kembali oleh Kerajaan Bima (Timur) saat misi ekspansi wilayah Bima hingga ke Bumi Alor (NTT) di abad 15 oleh Sangaji Ma Wa’a Bilmana.[[Berkas:Bima Baru Aksara Bima Baru, disebut Tunti Bou.jpg|jmpl|Aksara Bima Baru, yang mendapat pengaruh dari hubungan dagang yang intens dengan Bugis-Makassar sekitar abad 17 masehi, disebut '''Tunti Bou'''. Sebelum digantikan dengan Aksara Pegon/Arab Melayu pada 13 Maret 1645 M, lima tahun setelah pengangkatan Sultan Bima Ke-2.]]
== Awal Kesultanan ==
[[Berkas:Mahkota Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mahkota Sultan Bima]]
[[Berkas:Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima di Awal Masa Kesultanan Abad 17.jpg|jmpl|Peta sebaran utama Suku Mbojo dan wilayah utama Kerajaan Bima di awal-awal memasuki era kesultanan pada abad 17 masehi.]]
[[Berkas:Lukisan Kediaman Sultan Bima Dilukis oleh Jannes Theodorus Bik pada 1821.png|jmpl|Lukisan Kediaman Sultan Bima. Dilukis oleh Jannes Theodorus Bik pada 1821.|kiri]]
[[Berkas:Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima sebelum tahun 1947.jpg|jmpl|Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima sampai tahun 1947]]
[[Berkas:Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima pada tahun 1947.jpg|jmpl|Peta Sebaran Utama Suku Mbojo dan Wilayah Utama Kerajaan Bima pada tahun 1947. Tahun 1947, Sultan Bima mengembalikan Kejenelian Dompu menjadi Kesultanan Dompu Mandiri, sementara Kejenelian Sanggar memilih tetap berada di bawah kepemimpinan Kesultanan Bima.]]
Pada tahun 1540 Masehi, para [[Dai|mubalig]] dan pedagang dari [[Kesultanan Demak]] datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh [[Sunan Prapen]], tetapi tidak dilanjutkan setelah [[Trenggana|Sultan Trenggono]] wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari [[Kesultanan Ternate]] yang diutus oleh [[Baabullah|Sultan Baabullah]]. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh [[Ala'uddin dari Gowa|Sultan Alauddin]] pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari [[Kesultanan Gowa]] dan [[Kesultanan Tallo]] dari [[Makassar]]. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi [[muslim]] pada tanggal 15 [[Rabiul awal|Rabiul Awal]] tahun 1030 [[Kalender Hijriyah|Hijriyah]]. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=634}}
 
== Imperium Nusantara Timur Selatan ==
== Wilayah Kekuasaan ==
[[Berkas:Bima dalam Peta pertama Melayu-Portugis Abad 16 tahun 1563.jpg|jmpl|Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis tahun 1563, meliputi seluruh Pulau Sumbawa.|kiri]]
[[File:Peta wilayah Kesultanan Bima (Biru Muda).jpg|thumb|Peta wilayah kekuasaan kesultanan Bima-Dompu (biru muda)]]
Puncak kejayaan Bima terjadi pada abad ke-15, ketika kerajaan ini menguasai seluruh Pulau Sumbawa dan melakukan ekspansi ke luar pulau, termasuk ke Pulau Sumba, Manggarai, Sabu/Sawu, Ende, Larantuka, Komodo, hingga kepulauan Alor di bawah kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana berdasarkan naskah kuno BO Bima yang berisi catatan-catatan aktivitas harian raja-raja Bima.
Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]], dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan [[Laut Jawa]] di utara dan [[Samudra Hindia|Samudera Hindia]] di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu [[Belo, Palibelo, Bima|Belo]], [[Bolo, Bima|Bolo]], dan [[Sape, Bima|Sape]]. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut ''Djeneli''. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah [[Reok, Manggarai|Reo]] dan daerah [[Pota, Sambi Rampas, Manggarai Timur|Pota]]. Pemimpin masing-masing distrik bergelar ''naib'' yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para ''naib'' ini memimpin para ''galarang'', dan kepala kampung.{{Sfn|Haris|2006|p=18}}
[[Berkas:Bima Imperium in Indonesia.jpg|jmpl|Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15 di Bawah Kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana.|kiri]]
Seiring menguatnya pengaruh Bangsa Barat di Nusantara, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima perlahan menyusut. Hingga pada abad ke-19 M, hanya menyisakan Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]] atau Flores Barat, dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi beberapa distrik, tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut ''Djeneli''. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah [[Reok, Manggarai|Reo]] dan daerah [[Pota, Sambi Rampas, Manggarai Timur|Pota]]. Pemimpin masing-masing distrik bergelar ''naib'' yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para ''naib'' ini memimpin para ''galarang'', dan kepala kampung.{{Sfn|Haris|2006|p=18}}
 
Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur [[Hindia Belanda]]. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung [[Gunung Tambora]] pada tahun 1928.{{Sfn|Haris|2006|p=19}}
 
== Pemerintahan ==
[[Berkas:Bendera Nggusu Waru Bima Era Kerajaan Bima.jpg|jmpl|Bendera Nggusu Waru Bima Era Kerajaan (Beberapa pendapat menyebutkan, terdapat burung berkepala satu di bagian tengah lambang, namun hingga kini belum diketahui nama dan bentuk burungnya)]]
Kesultanan Bima menggunakan gelar ''Ruma'' kepada para sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah [[khalifah]] dan wakil [[Allah]] di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai [[syariat Islam]]. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.{{Sfn|Effendy|2017|p=185}}
Kesultanan Bima menggunakan gelar ''Ruma'' kepada para raja dan sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa raja/sultan adalah tuan kita; pelindung, kemudian di memasuki era kesultanan, gelar ini dialih artikan sebagai [[khalifah]] dan wakil [[Allah]] di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai [[syariat Islam]]. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.{{Sfn|Effendy|2017|p=185}}
 
[[Berkas:Mbangga Mbaru Lambang Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mbangga Mbaru, lambang Kesultanan Bima]]
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan [[pemerintahan terpusat]]. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 [[distrik]] pemerintahan yaitu [[RasanaE Barat, Bima|Distrik Rasanae]], [[Donggo, Bima|Distrik Donggo]], Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=22}} Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di [[Kota Makassar|Makassar]]. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=23}}
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan [[pemerintahan terpusat]]. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 [[distrik]] pemerintahan yaitu [[RasanaE Barat, Bima|Distrik Rasanae]], [[Donggo, Bima|Distrik Donggo]], Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sape dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=22}} Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di [[Kota Makassar|Makassar]]. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=23}}
 
=== Sultan Ismail ===
Baris 66 ⟶ 86:
 
=== Sultan Muhammad Salahuddin ===
Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=22}} Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di [[Raba, Bima|Raba]] dan [[Paruga, Rasanae Barat, Bima|Kampo Suntu]]. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan [[Indonesia]].{{Sfn|Sumiyati|2020|p=25}} Pada1 Februari 1947, ia mengembalikan Kejenelian Dompu menjadi Kesultanan Dompu sebagai penyeimbang antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa. Berbeda dengan Dompu, Kejenelian Sanggar lebih memilih untuk tetap menjadi bagian dari pemerintahan Kesultanan Bima. Atas persetujuan Sultan Sumbawa dan Sultan Dompu, Sultan Muhammad Salahuddin diangkat menjadi Pemimpin atau Ketua Dewan Raja Pulau Sumbawa, kemudian secara bersama mendeklarasikan bergabung dengan Republik Indonesia sebagai Federasi Pulau Sumbawa.
 
== Kehidupan Masyarakat ==
Masyarakatnya memiliki tigabeberapa sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu, takut, dan takut.tak Ketigaingkar sifatjanji. Sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra ZamrudJamrud dan Indra Kumala. Indra ZamrudJamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.{{Sfn|Sulistyo|2014|p=160}} Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan [[Kepulauan Maluku]]. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa [[soga]], [[Secang|sapang]] dan [[rotan]]. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke [[Maluku]] berupa makanan dan air minum.{{Sfn|Sulistyo|2014|p=159}}
 
== Struktur Sosial ==
[[Berkas:Lukisan Kuburan Negoro Bima 1852 - 1856 Diperoleh Dari Rijksmuseum.png|jmpl|Lukisan Kuburan Negoro Kesultanan Bima (Dilukis tahun 1852 - 1856)]]
Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat [[Suku Donggo]] yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di [[Donggo, Bima|Kecamatan Donggo]] dan [[Kecamatan Wawo Tengah]].{{Sfn|Aulia|2013|p=2}} Penduduk yang lainnya adalah [[Suku Bima]]. Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.{{Sfn|Aulia|2013|p=3}} Para pendatang lain berasal dari [[Suku Melayu]] dan [[Orang Minangkabau|Suku Minangkabau]]. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman [[Bangsa Arab|Arab]] yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.{{Sfn|Aulia|2013|p=4}}
Penduduk asli Bima adalah masyarakat [[Suku Donggo|Etnis Donggo]] yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di [[Donggo, Bima|Kecamatan Donggo]] dan [[Lambitu, Bima|Kecamatan Lambitu]].{{Sfn|Aulia|2013|p=2}} Dalam perkembangannya ketika era Ncuhi berkembang, masyarakat Bima kuno menggunakan nama Mbojo yang berasal dari kata Dana Ma Babuju ('orang dari' tanah yang berbukit) sebagai identitas saat mengenalkan diri kepada orang luar. Suku ini terus mengalami perkembangan dan terjadi perkawinan silang dengan suku-suku pendatang seperti dari Suku Makassar, Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.{{Sfn|Aulia|2013|p=3}} Para pendatang lain berasal dari [[Suku Melayu]] dan [[Orang Minangkabau|Suku Minangkabau]]. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman [[Bangsa Arab|Arab]] yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.{{Sfn|Aulia|2013|p=4}}
[[Berkas:Lukisan Makam Kuno di Bima (1821).png|jmpl|Lukisan Makam Kuno Raja-Raja Bima (Dilukis tahun 1821)]]
 
== Keagamaan ==
[[Berkas:Foto Elbert, media pengorbanan untuk roh penjaga bernama Dewa Kai..png|jmpl|Media pengorbanan untuk roh dihari-hari biasa (bukan hari besar) dalam kepercayaan Marapu di Bima.|kiri]]
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari [[Kabupaten Gresik|Gresik]]. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari [[Sunan Ampel]]. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=194}}
Sebelum kedatangan Hindu, Budha dan Islam, masyarakat Bima telah memiliki agama lokalnya sendiri bernama ''[[Marapu]]'', lokasi tempat ibadahnya disebut ''Parafu'', tokoh-tokoh agamanya disebut ''Pamboro'' / ''Sando'' (orang yang mampu berbicara dengan roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), dan upacara hari besarnya disebut ''Toho Dore'' yang dilakukan satu tahun sekali secara besar-besaran dengan mempersembahkan hasil bumi dan hewan ternak. Kepercayaan ini mempercayai adanya kekuatan alam dan roh leluhur yang melindungi dan bersemayam di gunung, mata air, pohon dan bebatuan besar. ''Marapu'' berasal dari bahasa Bima, yaitu: ''Ma'' dan ''Rapu'',di mana ''Ma'' artinya Yang, dan ''Rapu'' artinya Dekat, sehingga dapat diartikan sebagai Yang Dekat.
 
Agama Hindu bercampur dengan Budha (Siwa-Budha) masuk ke Bima bersamaan dengan kedatangan tokoh Sang Bhima, namun dalam implementasinya, kepercayaan ini dicampur dengan kepercayaan lokal, dan menjadi Siwa-Budha khas Bima. Namun sayangnya, menurut Dewi Ratna Muchlisa (Kepala Museum Samparaja Bima), mengatakan bahwa saat Kerajaan Bima bertransformasi menjadi berbentuk Kesultanan Bima, Sultan memerintahkan penghapusan seluruh hal yang berkaitan dengan agama lama beserta simbol-simbolnya, karena dianggap sebagai berhala, sehingga oleh bawahannya sebagian dibuang ke laut, sebagiannya yang kecil-kecil dikubur.
 
Pada tahun 1938, Arca Siwa dalam tiga wajah dan Mahakala di temukan di pinggir sawah 3 derajat arah timur laut dari pusat Kesultanan Bima. Kemudian tahun 2014, ditemukan arca nandi dan sebuah yoni yang saat ini disimpan di Museum Asi Mbojo. Tahun 2019, pengrajin batu bata di Kecamatan Bolo berhasil menemukan beberapa perhiasan emas dan arca perunggu.
 
Islam pertama kali diperkenalkan ke Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari [[Kabupaten Gresik|Gresik]]. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari [[Sunan Ampel]]. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=194}}
 
[[Islamisasi]] di [[Sulawesi Selatan]] selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke [[Kepulauan Nusa Tenggara]].{{Sfn|Effendy|2017|p=188}} Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.{{Sfn|Effendy|2017|p=189}} Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195}}
 
Sebanyak empat kali Kesultanan Gowa melakukan ekspedisi ke Bima, tahun 1618, 1619, 1626, dan 1632. Tahun 1618 dan 1619 berhasil ditahan oleh Kerajaan Bima, namun di internal Bima terjadi kudeta yang dilakukan oleh La Salisi sepeninggal Sangaji atau Raja Bima yang merupakan kakaknya pada 1619, dengan membunuh putra mahkota. Sementara adik bungsu putra mahkota bernama La Kai lari ke Sape bersama pengikutnya dan di sana bertemu ulama dari Sulawesi, kemudian tahun 1621 La Kai resmi memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir, kemudian oleh para ulama yang saat itu menjadi gurunya, disarankan untuk pergi ke Gowa untuk memperdalam ilmu agama dan meminta bantuan perlindungan ke Kesultanan Gowa.
 
Abdul Kahir berangkat ke Gowa bersama beberapa pengawal dan pengikut terdekatnya. Tahun 1625, Abdul Kahir menikah dengan Daeng Sikontu yang merupakan ipar dari Sultan Alauddin [[Kesultanan Gowa]] saat itu. Tahun 1626 La Kai bersama pengikut dekatnya bersama bantuan pasukan dari Gowa melakukan ekspedisi ke Bima, di Bima ekspedisi Abdul Kahir telah ditunggu oleh pengikutnya yang sudah banyak memeluk Islam. Kemudian melakukan penyerangan merebut Kerajaan Bima dari Sangaji Salisi.
 
Abdul Kahir berhasil mengambil alih Bima dan menjadi Sultan Bima pertama dan mengganti sistem pemerintahan Kerajaan Bima menjadi Kesultanan Bima. Namun La Salisi kembali melakukan pemberontakan, pada 13 November 1632 berhasil menduduki Istana Bima. Tanggal 25 November Kesultanan Gowa kembali mengirim pasukan untuk membantu Sultan Abdul Kahir yang saat itu mulai terdesak, akhirnya setelah melakukan perlawanan selama sekitar satu tahun, tepatnya 23 Mei 1633, Sultan Abdul Kahir berhasil mengambil alih kembali Istana Bima, sementara La Salisi dan pengikutnya yang tersisa dikerja habis-habisan dan dikabarkan terbunuh.
 
Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga [[eksekutif]] dan [[Kehakiman|yudikatif]].{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195–196}} Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=196}}
 
== Daftar SultanRaja-Raja Bima (Era sebelum Kesultanan Bima) ==
Para [[sultanraja]] yang pernah berkuasa di KesultananKerajaan Bima sebelum era Kesultanan adalah sebagai berikut:{{Sfn|Haris|2006|p=30–31}}
{| class="wikitable"
|+Daftar Raja di Kerajaan Bima Sebelum Era Kesultanan
!Raja ke-
!Nama
!Gelar atau '''Keterangan'''
!Periode
|-
| -
|Djan Manoedjan
|'''Ma Mbora''' (yang menghilang)
|—
|-
| -
|Sangeang Toenggal
|'''Ma Mbora''' (yang menghilang)
|—
|-
| -
|Sangeang Woenang
|'''Ma Ndadi .....''' (yang berubah jadi roh atau mahluk halus; tidak bekonotasi jahat)
|—
|-
| -
|Batara Indra Barma Radja Loeka
|'''Ma Mbora''' (yang menghilang)
|—
|-
| -
|Batara Indra Manies
|—
|—
|-
| -
|Indra Palasar
|—
|—
|-
| -
|Toenggal Pandita Batara Indra Ratoe
|—
|—
|-
| -
|Poenggawa Bisa
|'''Ma Mbora Ta Besuki''' (yang pergi/menghilang ke/di Besuki 'salah satu wilayah di Jawa kuno')
|—
|-
| -
|Radja Pandoe Dewa Nata
|—
|
|-
| -
|Poetri Ganti Radja
|(Perempuan)
|—
|-
|1
|'''Sang Bima'''
|'''Makaboro Ncuhi'''
(Menikah dengan Putri Mbojo/Bima bernama Indra Tasi Sari Naga, yang melahirkan raja Bima berikutnya, yaitu Indra Jamrud)
 
Sang Bima disebut sebagai tokoh yang mengenalkan Agama Hindu-Shiwa dan merintis pendirian Kerajaan Bima. Sehingga Sang Bima dikenang sebagai penguasa/ Raja Bima pertama yang diakui oleh 5 dari 9 ''Ncuhi Na'e'' atau penguasa wilayah saat pembentukan awal kerajaan Bima.
|±600-an Saka / ±700-an Masehi
|-
|2
|Darmawang Sang Loela
|''(Dipimpin sementara oleh Ncuhi Dara'' mewakili Sang Bima yang kembali ke Jawa'')''
|—
|-
|3
|Sang Radjoena
|''(Dipimpin sementara oleh Ncuhi Dara'' mewakili Sang Bima yang kembali ke Jawa'')''
|—
|-
|4
|Sang Dewa
|''(Dipimpin sementara oleh Ncuhi Dara'' mewakili Sang Bima yang kembali ke Jawa'')''
|—
|-
|5
|'''Indra Jamrut'''
|'''Ruma Sangaji'''
(Anak keturunan Sang Bima datang mengambil alih kepemimpinan Dana Mbojo. Dalam perkembangan kepemimpinannya berhasil menyatukan 9 Ncuhi; mengubah nama ''Ncuhi'' ''Dana Mbojo'' menjadi ''Pancuhi Bima'' atau Kerajaan Bima. Kemudian menetapkan dan menjadikan Hindu-Shiwa sebagai agama resmi kerajaan.
|—
|-
|6
|Sangaji Batara Indra Bima
|—
|—
|-
|7
|Sangaji Batara Sang Luka
|—
|—
|-
|8
|Sangaji Batara Sang Bima
|—
|—
|-
|9
|Sangaji Batara Matra Indarwata
|—
|—
|-
|10
|Sangaji Batara Inderatarati
|—
|—
|-
|11
|Sangaji Manggampo Jawa
|(Yang mengenalkan ''Tunti Mbojo'' atau Aksara Bima Lama yang berbentuk keriting)
|—
|-
|12
|Putri Rani Ratna Lila
|(Perempuan)
|—
|-
|13
|Sangaji Indra Kamala
|(Menjadi Raja Bima Barat/ mengganti namanya dengan [[Kerajaan Dompu|Kerajaan Dompo]])
 
Membawahi Ncuhi Na'e: Saneo, Papekat, Taloko, Kangkelu.
|±12xx/13xx
|-
|14
|Sangaji Batara Bima Indra Luka
|(Menjadi Raja Bima Timur/ Tetap mempertahankan nama Kerajaan Bima). Dan membawahi Ncuhi Na'e: Dara, Dorowuni, Bolo, Banggapupa, Parewa.
|±12xx/13xx
|-
|15
|Sangaji Bima Indra Sri
|(Memiliki 30 orang anak)
|—
|-
|16
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Paju Longge'''
|14xx-1425
|-
|17
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Indra Mbojo'''
|1425-14xx
|-
|18
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Bilmana'''
(tokoh yang menginisiasi penyatuan kembali ''Dana Mbojo'' yaitu Kerajaan Bima yang sebelumnya berpisah jadi Timur dan Barat. Tokoh yang memulai ekspansi wilayah mulai dari Pulau Sumbawa yang diteruskan oleh generasi berikutnya hingga ke negeri timur. Memilih turun tahta dan menjadi ''Tureli Nggampo,'' dan memberikan tahta kepada adiknya Sangaji ....... Manggampo Donggo.
|14xx-14xx
|-
|19
|Sangaji .........
|'''Manggampo Donggo'''
|—
|-
|20
|Sangaji .........
|'''Mambora Ba Pili Tuta'''
|14xx-
|-
|21
|''Tureli Nggampo''
|''(Dipimpin Perdana Menteri)''
|—
|-
|22
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Makapiri Solo'''
|—
|-
|23
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mawa’a Andapa'''
|—
|-
|24
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mawa’a La Laba'''
|—
|-
|25
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mawa’a La Sadina I'''
|—
|-
|26
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mambora Di Sapaga'''
|—
|-
|27
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mambora Di Bata Lambu'''
|—
|-
|28
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Samara'''
|—
|-
|29
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mantau Asi Sarise'''
|—
|-
|30
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mantau La Limandaru'''
|—
|-
|31
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mantau La Sadina II'''
|1609
|-
|32
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mantau Asi Sawo'''
|—
|-
|33
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Manuru Sarei'''
(Kakak ke-1 dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)
|1618-1619
|-
|34
|''Tureli Nggampo''
|''(Dipimpin Perdana Menteri)''
|1619
|-
|35
|Sangaji .........
|'''Ruma Ta Mabora Di Mpori Wera'''
(Kakak ke-2 dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)
|1619
|-
|36
|Sangaji Salisi
|'''Ruma Ta Ma Ntau Asi Peka'''
(La Salisi merupakan paman dari La Kai/Sultan Abdul Kahir I)
|1619 – 1626 & 1632-1633
|}
 
== Daftar Sultan-Sultan Bima (Era sebelum Kemerdekaan Indonesia) ==
Para [[sultan]] yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:
{| class="wikitable"
|+Daftar sultanSultan di Kesultanan Bima
!Sultan ke-
!Nama
Baris 91 ⟶ 376:
|-
|1
|Sangaji Kai Seri Sultan '''Abdul Kahir''' '''I'''
|MantauRuma WataTa Mabata Wadu
|1626—1632 & 1633—1640
|1620—1640
|-
|2
|ISeri AmbelaSultan Abi’l'''Abdul Khair Sirajuddin,'''
|Ruma Ta Mantau Uma Jati
|1640—1682
|-
|3
|Seri Sultan '''Nuruddin''' Abu Bakar AllAli SyahShah
|Ruma Ta Mawa’a Paju
|1682—1687
|-
|4
|Seri Sultan '''Jamaluddin''' AliInayat SyahShah
|Ruma Ta Mawa’a Romo
|1687—1696
|-
|5
|Seri Sultan '''Hasanuddin''' Muhammad SyahShah
|Ruma Ta Mabata Bo’uBou
|1696—1731
|-
|6
|Seri Sultan '''Alauddin''' Muhammad SyahShah
|Ruma Ta Manuru Daha
|1731—1748
|-
|7
|Sultanah '''Kamalat Shah''' Rante Patola Sitti Rabi’ah
|Kamalat Syah
|Bumi Partiga
|Rante Patola Sitti Rabi’ah
|1748—1751
|-
|8
|Seri Sultan '''Abdul Kadim''' Muhammad SyahShah Zillullahi fi al Alam
|Ruma Ta Mawa’a Taho
|1751—1773
|-
|9
|Seri Sultan Shafiuddin '''Abdul Hamid''' Muhammad SyahShah Zillullahi fi al Alam
|Ruma Ta Mantau Asi Saninu
|1773—1817
|-
|10
|Seri Sultan '''Ismail''' Muhammad SyahShah
|Ruma Ta Mantau Dana Sigi
|1817—1854
|-
|11
|Seri Sultan '''Abdullah'''
|Ruma Ta Mawa’a Adil
|1854—1868
|-
|12
|Seri Sultan '''Abdul Aziz'''
|Ruma Ta Mawa’a Sampela
|1868—1881
|-
|13
|Seri Sultan '''Ibrahim'''
|Ruma Ta Ma Taho Parange
|1881—1915
|-
|14
|MuhamadSeri Sultan '''Muhammad Salahuddin'''
|Ruma Ta Ma Kakidi Agama
|Marrbora di Jakarta
|1915—1951
|}
 
== Daftar Sultan-Sultan Bima (Era setelah Kemerdekaan Indonesia) ==
{| class="wikitable"
|+
!Sultan ke-
!Nama
!Gelar
!Periode
|-
|15
|Seri Sultan '''Abdul Kahir II'''
|Ruma Ta Ma Wa’a Busi Ro Mawo
|1951—2001
|-
|16
|Seri Sultan H. '''Ferry Zulkarnain''', S.T.
|Ruma Ta Ma Mboho Rima
|2001—2013
|-
|17
|Seri Sultan '''Muhammad Putera Ferryandi,''' S.I.P., M.I.P.
|
|2013—Sekarang
|}
 
Baris 165 ⟶ 474:
=== Istana Asi Mbojo ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het paleis van de sultan van Bima TMnr 10029682.jpg|jmpl|Istana Sultan Bima pada tahun 1949]]
[[Museum Asi Mbojo|Istana Asi Mbojo]] didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang merupakan tahanan Hindia Belanda dari [[Pulau Ambon|Ambon]]. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo {{Sfn|Akbar, Antariksa, dan Meidiana|2017|p=13}} Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.{{Sfn|Akbar, Antariksa, dan Meidiana|2017|p=13–14}}
 
=== Istana Asi Bou ===
Baris 177 ⟶ 486:
 
== Peninggalan Budaya ==
 
=== Compo Sampari ===
[[Berkas:Upacara-compo-sampari-1953.jpg|jmpl|Upacara Compo Sampari di Bima tempo dulu, foto sekitar tahun 1953.]]
Compo sampari (penyematan keris) adalah tradisi upacara kedewasaan anak laki-laki Bima. Saat Bima memasuki era kesultanan, tradisi ini dikembangkan dalam nuansa islami dan menjadi penanda anak laki-laki yang akan dikhitan. Prosesinya dimulai dengan pembacaan zikir dan salawat, kemudian keris diarahkan mengelilingi anak sebanyak tiga atau tujuh kali yang dilakukan oleh tetua. Setelah itu, keris disematkan di bagian depan dan diapit menggunakan sabuk yang telah dilingkarkan di perut sang anak, dengan ujung keris mengarah ke kiri bawah. Badan sarung keris dipegang dengan tangan kiri, kemudian ganggangnya dipegang dengan tangan kanan sang anak. Kemudian prosesinya ditutup dengan salawat, setelah itu sang anak bergerak menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan keris yang dikeluarkan dari sarungnya ke arah atas kanan menggunakan tangan kanan.
 
=== Rimpu ===
[[Berkas:Rimpu Bima.jpg|jmpl|Rimpu: pakaian muslimah perempuan Bima yang berkembang di era kesultanan.]]
Rimpu adalah busana wanita berupa [[sarung]] yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.{{Sfn|Aksa|2018|p=84}} Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.{{Sfn|Aksa|2018|p=85}}
Rimpu adalah busana wanita berupa [[sarung]] yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.{{Sfn|Aksa|2018|p=84}} Muka tertutup untuk yang masih gadis, dan muka terbuka untuk yang sudah menikah. Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada abad ke-17 M saat Bima bertransformasi dari pemerintahan berbentuk kerajaan menjadi pemerintahan berbentuk kesultanan.{{Sfn|Aksa|2018|p=85}}
 
=== Songko Lenta ===
[[Berkas:Songko Lenta Bima.png|jmpl|Songko Lenta Bura.]]
[[Berkas:Songko lenta mee.png|jmpl|Songko Lenta Me'e]]
Songko Lenta merupakan penutup kepala pria masyarakat Bima, yang awalnya hanya digunakan oleh Nenti Mone atau kasim Sultan Bima, dengan dua jenis warna, yaitu Me'e (hitam) dan Bura (putih keemasan), dan kombinasi keduanya.
 
=== Sambolo ===
Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun tradisional Bima, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup.
 
Bedasarkan status sosial pamakaiannya, maka cara memakai (memasang) sambolo ada dua bentuk, yaitu:
 
- Toho Leme (yang dipasang dalam bentuk kerucut).
- Toho Sungge (yang dipasang dalam bentuk biasa), tidak bentuk berkerucut, tetapi dipasang dalam keadaan biasa saja, untuk rakyat biasa. [[Berkas:Sambolo eal - Toho Leme.jpg|jmpl|Sambolo Toho Leme; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan bangsawan.]]
[[Berkas:Sambolo ikat kepala rakyat bima.jpg|jmpl|Sambolo Toho Sungge; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan rakyat biasa.]]
=== Ndiha Rasa ===
''Ndiha'' ''Rasa'' atau dalam Bahasa Indonesia berarti Kampung Ramai; ''Pesta Rakyat'', merupakan salah satu tradisi masyarakat Bima yang berkembang sejak era kerajaan dan terus dirawat hingga era kesultanan dengan beberapa penyesuaian. Tradisi pesta rakyat ini dilakukan setiap satu tahun sekali, biasanya dilakukan setelah musim panen sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Masyarakat di masing-masing wilayah biasanya membuat acara besar dengan prosesi utamanya berupa do'a-do'a syukuran, yang berlanjut dengan berbagai acara hiburan dengan ciri dan karakter masing-masing wilayah yang dilakukan selama kurang lebih satu sampai dua minggu. Misalnya yang paling khas dan unik: ''Taji Tuta'' (Adu kepala) di Wawo, ''Ndempa Ndiha'' (Tarung bebas tangan kosong berkelompok yang dibagi ke dalam beberapa tingkatan umur) di Belo, ''Kabanca'' (Saling mengejek dan memperlihatkan kemampuan beratraksi di atas kuda, kemudian saling berusaha menjatuhkan lawan dari kudanya) di Lambu Sape, ''Taji Sampa'' (Adu kecepatan perahu kecil berlayar) di Wera, dll.
 
== Referensi ==