Pendidikan karakter: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wiki Ridha (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
[[Berkas:Secretary Kerry and Palestinian Authority President Abbas Shake Hands Before Meeting in Paris (12641101294).jpg|jmpl|350px|Right|Bersalaman merupakan wujud rasa saling menghormati yang menunjukkan sikap moral dalam perwujudan pendidikan karakter]]
'''Pendidikan karakter''' adalah bentuk [[kegiatan]] [[manusia]] yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.<ref name="Kusuma A">Doni Kusumah A. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta:Grasindo.3-5</ref> Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih [[kemampuan]] diri demi menuju ke arah hidup yang lebih baik.<ref name="Kusuma A" /> Yudi Latif menyebutkan pendidikan karakter sebagai ilmu amal (terapan) yang hanya diberikan untuk diamalkan. Menurutnya, guru harus mendidik (membudayakan) karakter melalui keteladanan dan peserta didik mempelajarinya dengan secara langsung mempraktikkan perilaku terpuji. <ref>{{Cite book|last=Latif|first=Yudi|date=2020|url=https://books.google.co.id/books?id=224LEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Pendidikan Yang Berkebudayaan|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9786020647197|pages=153|url-status=live}}</ref> Konsep karakter dapat mengekspresikan berbagai atribut, termasuk kehadiran atau kurangnya [[kebajikan]] seperti [[empati]], [[keberanian]], [[:en:Cardinal virtues|ketabahan]], [[:en:Honesty|kejujuran]], dan [[kesetiaan]], atau perilaku atau [[:en:Habit|kebiasaan]] yang baik; atribut ini juga merupakan bagian dari [[:en:Soft skills|''soft skill'' seseorang]]. [[Karakter]] [[moral]] terutama mengacu pada kumpulan kualitas yang membedakan satu individu dari yang lain – meskipun pada tingkat budaya, kelompok perilaku moral yang dianut oleh kelompok sosial dapat dikatakan menyatukan dan mendefinisikannya secara budaya sebagai berbeda dari yang lain. Psikolog Lawrence Pervin mendefinisikan karakter moral sebagai "disposisi untuk mengekspresikan perilaku dalam pola fungsi yang konsisten di berbagai situasi"<ref>{{Cite book|last=Pervin|first=Lawrence A.|date=1994|url=http://dx.doi.org/10.1037/10143-014|title=Personality stability, personality change, and the question of process.|location=Washington|publisher=American Psychological Association|pages=315–330}}</ref> Sama seperti, filsuf Marie I. George menyebut karakter moral sebagai "jumlah dari kebiasaan dan watak moral seseorang" Aristoteles telah mengatakan, "kita harus mengambil sebagai tanda keadaan karakter kesenangan atau rasa sakit yang terjadi pada tindakan."<ref>{{Cite book|last=Aristotle|date=2002-02-28|url=http://dx.doi.org/10.1093/oseo/instance.00262116|title=Book II|publisher=Oxford University Press}}</ref>
== Pentingnya pendidikan karakter dalam meningkatkan kecerdasan emosional ==
Pendidikan karakter berperan penting dalam membentuk [[kecerdasan emosional]] karena ia menawarkan pelajaran moral dan nilai-nilai yang membimbing individu dalam menghadapi tantangan emosional dan sosial. Melalui program pendidikan karakter, individu diajarkan untuk menghargai integritas, tanggung jawab, kejujuran, dan empati. Pendidikan ini memberikan mereka alat dan keterampilan untuk mengelola emosi, baik saat merespon stres maupun konflik, serta bagaimana berkomunikasi dengan efektif dalam berbagai situasi.
Ungkapan dari psikolog terkenal Eijkman menyatakan bahwa "perasaan pertama aktif, kemudian baru pikiran rasional". Pernyataan ini menceminkan kenyataan psikologis bahwa reaksi emosional seseorang sering kali mendahului pemikiran rasional. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan atau tantangan, respon emosional baik itu berupa ketakutan, kemarahan, atau kesedihan seringkali muncul secara otomatis sebelum individu memiliki waktu untuk memproses dan menganalisis situasi secara logis. Eijkman juga menyoroti bahwa kita tidak dapat memilih emosi yang melanda kita. Reaksi emosional adalah respon alami dan spontan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, pola pikir, dan keadaan fisiologis. Namun, meskipun seseorang tidak dapat memilih atau mengontrol munculnya emosi tertentu, mereka tetap dapat belajar untuk mengenali, mengelola, dan merespon emosi dengan cara yang lebih sehat dan adaptif. Disinilah pentingnya pendidikan karakter dan kecerdasan emosional berperan.<ref>{{Cite book|last=Goleman|first=Daniel|date=1996|title=EMOTIONAL INTELLIGENCE Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ (terjemahan bahasa Indonesia)|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-602-03-2313-8|pages=414-416|url-status=live}}</ref>
|