Rahmah El Yunusiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
 
(5 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 43:
Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan [[Persatuan Murid-Murid Diniyah School]] (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas VI, Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan kepada teman-teman perempuannya di PMDS.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=44}} Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa."{{sfn|Munawaroh|2002|pp=12}}{{sfn|Kahin|2005|pp=109}}
 
Sembari memimpin sekolah, Rahmah meluaskan penguasaannya dalam berbagai [[ilmu terapan]]. Melalui ''mak tuo-''nya (bibi), ia belajar ilmu kebidanan. Ia juga mengikuti kursus ilmu kesehatan dan P3K kepada dokter-dokter yang ada di Sumatera Barat, yakni [[Sofjan Rassat|dr. Sofjan Rassat]] dan dr. Tazar (Kayutanam), dr . A. Saleh (Bukittinggi), dr . Arifin (Payakumbuh), serta [[Rasidin|dr. RasyidinRasidin]] dan dr. A. Sani (Padang Panjang). Bersama Sitti Akmar,{{efn|Sitti Akmar adalah seorang guru dari ''Meisjes Normaal School'' atau Sekolah Guru Wanita di Padang Panjang. Ia berasal dari Sungai Limau dan menikah dengan [[Bagindo Dahlan Abdullah]] pada 1930.}} ia mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda yang mengajar di [[Guguk Malintang, Padang Panjang Timur, Padang Panjang|Guguk Malintang]]. Ia juga belajar bertenun dengan alat tradisional dan berbagai keterampilan lain. Berbagai ilmu dan keterampilan tersebut ia ajarkan pada murid-muridnya dan menjadi corak dari kurikulum di Diniyah Putri.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=39}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=177}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=179}}{{sfn|Nata|2005|pp=30}}
 
== Mendirikan Diniyah Putri ==
Baris 56:
Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota.{{sfn|Hadler|2008|pp=141}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=181}} Ia menyaksikan penduduk meninggalkan kota "seolah-olah sekumpulan kafilah di gurun Sahara, berbondong-bondong membawa bebannya masing-masing."{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=274}} 40 hari setelah gempa bumi, Rahmah beserta para guru mendirikan kelas darurat, dibantu oleh murid-murid Thawalib kembali secara gotong royong. Kelas dibangun di atas sebidang tanah wakaf dari ibunya, terbuat dari bambu dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Sambil melanjutkan kegiatan belajar-mengajar di kelas darurat, para guru beserta para wali murid membentuk komite untuk mencari dana pembangunan kembali gedung sekolah yang runtuh.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=182}} Rahmah menjual perhiasannya dan berkeliling ke berbagai daerah menghimpun donasi. Surat kabar ''[[Sinar Sumatra]]'' mencatat, Rahmah berhasil mengumpulkan 1.500 gulden selama tiga bulan penggalangan di Sumatera Timur dan Aceh pada akhir 1927. Pembangunan gedung permanen dimulai pada Desember 1927 dan ditempati pada Oktober 1928. Gedung baru terdiri dari dua tingkat dan merupakan gedung utama yang masih berdiri sampai saat ini. Total biaya pembangunan mencapai 7.000 gulden.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=45}}
[[Berkas:Diniyah Putri 2019.jpg|al=|kiri|jmpl|250x250px|Gedung Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) Diniyah Putri, saat ini bertransformasi menjadi [[madrasah aliyah]].]]
Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, dicatat oleh [[Deliar Noer]], meningkat menjadi 350 pada 1930, dan 400 pada 1935.{{sfn|Kahin|2005|pp=109}} Mereka berasal dari Minangkabau, Bengkulu, Tapanuli, Deli, Aceh, dan Selangor.{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Seorang lulusan Diniyah Putri [[Aishah Ghani]] menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat. "Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggaan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab."{{sfn|Kahin|2005|pp=111}} Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar, Rahmah membuka ''[[Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah]]'' (KMI) pada 1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan lama pendidikan tiga tahun.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=48}} KMI tercatat sebagai sekolah menengah swasta pertama di Padang Panjang.{{efn|Setelah KIM, sekolah menengah berikutnya yakni Modern Islamic Seminary yang didirikan [[Chatib Sulaiman]] dan Damai yang didirikan [[Soepeno]].}} Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat pendudukan Jepang, Diniyahkampus Putriutama diDiniyah Padang PanjangPutri sempat menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.{{sfn|Noer|1991|pp=62{{spaced ndash}}65}}
 
Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama. Diniyah Rendah setara SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=47}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=48}}
 
== Kepemimpinan ==
Majalah ''[[Aboean Goeroe-Goeroe]]'' milik perkumpulan para guru di Sumatera Barat pada Mei 1930 menyebut Rahmah sebagai orang pertama yang berkiprah "untuk kemajuan anak-anak perempuan di Minangkabau". Rahmah dipuji sebagai sosok yang "sedikit bicara dan tertawa, tetapi banyak bekerja".{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar dari perempuan, Rahmah ingin memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=179}} Ia mengusahakan pendanaan Diniyah Putri secara mandiri, termasuk dengan menjual perhiasannya.{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Ia juga melakukan penggalangan dana tanpa bergantung pada laki-laki. Ia mengatakan, "buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi".{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=276}} [[Abdul Malik Karim Amrullah|Hamka]] mencatat, perwakilan [[Muhammadiyah]] di Padang Panjang pernah datang kepada Rahmah pada 1928, menganjurkan agar pengelolaan Diniyah Putri diserahkan kepada Muhammadiyah. Rahmah menolak tawaran tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya “tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah kepada dirinya sendiri”.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=27}} Ia mengatakan, "buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi".{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=276}} <blockquote class="toccolours" style="text-align:justify; width:25%; margin:0 0em 1em .25em; float:right; padding: 10px; display:table; margin-left:10px;">"...Bagaimana keras hatinya buat memajukan agama Islam ada susah pula buat bandingnya sesama kaum perempuan.."
 
— ''[[Sinar Sumatra]]''.</blockquote>KepemimpinannyaSebagai dipemimpin Diniyah Putri, membuatnyaia sering berpergian ke luar daerah.{{sfn|Aboean Goeroe Goeroe|Mei 1930}} Dalam rangka penggalangan dana, Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=179}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=45}} Ia menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya, Rahmah berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan Islam, "terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai". Kegiatannya ini telah membentuk dirinya sebagai orator sekaligus meluaskan keterkenalan Diniyah Putri di Sumatra.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=245}} Dalam rangka pengembangan kurikulum, ia mengadakan studi banding melalui kunjungan ke sekolah-sekolah agama di Sumatra dan Jawa pada 1931.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|p=77}} Selain itu, ia banyak mengirim siswa-siswa tamatan Diniyah Putri untuk mengajar di berbagai daerah hingga [[Semenanjung Malaya]]. Dalam dua kali perjalanannya ke Semenanjung Malaya pada 1933 dan 1935, ia tercatat mengunjungi [[Pulau Pinang|Pinang]], [[Terengganu]], [[Johor]], [[Negeri Sembilan]], [[Selangor]], [[Perak, Malaysia|Perak]], [[Pahang, Malaysia|Pahang]], [[Kelantan]], dan [[Kedah]]. Di Sumatra, ia mengunjungi [[Kesultanan Siak Sri Inderapura|Kesultanan Siak]] menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Dalam berbagai kunjungannya, ia tampil memperkenalkan Diniyah Putri dan menghimpun dana kelanjutan pembangunan sekolah.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=257}}
 
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktivitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah jajahan.{{sfn|Ensiklopedia Islam|2002|pp=152}}{{sfn|Kahin|2005|pp=110}} Ketika pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau ''controleur'' Padang Panjang menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak. Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Baris 88:
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya unit perbekalan TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota ''Haha No Kai'', Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguruan Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=187}}{{efn|Ketika TKR untuk Sumatra Tengah terbentuk, rapat para pemimpin TKR pada 1 Januari 1946 di Padang Panjang menetapkan nama Divisi III Banteng di bawah pimpinan Komandan Divisi Kolonel [[Dahlan Djambek]]. Divisi III Banteng mempunyai empat resimen. Batalyon Merapi adalah satu dari tiga batalyon untuk Resimen I.}}
 
Ketika Belanda melancarkan [[Agresi Militer Belanda II|Agresi Militer Belanda kedua]], Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng [[Gunung Singgalang]]. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949, membuatnyadan mendekamdijebloskan dike tahanan wanita di Padang Panjang.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=190}} Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di satu ruangan bekas SPG Negeri Putri Padang. Ia melewatkan tiga bulan di Padang sebagai tahanan rumah (''huis arrest''), sebelum diringankan sebagai tahanan kota (''stad arrest'') selama lima bulan berikutnya.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=62}}
 
== Pasca-revolusi ==
[[Berkas:Rangkajo Rahmah El Junusiah.jpg|jmpl|Potret Rahmah El Yunusiyah sebagai anggota DPR pada 1956|ka]]
 
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk memenuhi undangan Kongres Pendidikan II Indonesia di Yogyakarta.<!--https://www.google.co.id/search?q=%22Kongres+Pendidikan+Antar+Indonesia%22&safe=strict&hl=id&tbm=bks&ei=ir6iXPegOfj6z7sPrIus2A4&start=10&sa=N&ved=0ahUKEwj3jc6_pLDhAhV4_XMBHawFC-sQ8NMDCF8&biw=1366&bih=625&dpr=1 --> Di kota yang sama, ia hadir dalam Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada 20–25 Desember 1949. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil [[Konferensi Meja Bundar]] di Den Haag, Rahmah kembali ke Padang Panjang pada Januari 1950 untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ia tinggalkan.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=80}} Pada 1951, Rahmah bergabung dalam panitia pembentukan bidang perpustakaanpendirian [[Fakultas Hukum Universitas Andalas|Balai Perguruan Tinggi Hukum Pancasila]] (cikal bakal [[Universitas Andalas]]) di bagian perpustakaan bersama Diyar Karim, [[Rasyid Manggis]], Abdul Hamid, dan [[Sadudin Djambek]].{{sfn|Departemen Penerangan|1953|pp=811}}
 
Di bidang politik, Rahmah bergabung denganke [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|partai Islam Masyumi]]. Sekitar tahun 1952–1954, ia menjadi anggota Dewan Partai Masyumi di Jakarta. Selanjutnya, ia menjadi penasihat Masyumi Muslimat di Sumatra Tengah hingga 1955. Dalam Muktamar VII Masyumi di Surabaya pada 27 Desember 1954, Rahmahia turut hadir selaku anggota Masyumi Muslimat. Ia dicalonkan untuk [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955|pemilu 1955]] dan [[Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1956–1960|terpilih]] sebagai anggota DPR mewakili Sumatra Tengah.{{sfn|Hasil Rakjat...|1956|pp=181-183}} Melalui DPR, Rahmah membawa aspirasinya tentang pendidikan dan pelajaran Islam.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=253}} Pada 15 Agustus 1955, [[Imam Besar Al-Azhar]] Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia dan atas ajakanundangan [[Muhammad Natsir]] berkunjung ke berbagai tempat untuk melihat perkembangan [[pendidikan Islam di Indonesia]], termasuk Diniyah Putri. Abdurrahman Taj mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.{{sfn|Munawaroh|2002|pp=28}}{{sfn|Murtadlo|15 Desember 2018|pp=297–306}}<!-- https://books.google.co.id/books?id=l-vv_AjepMoC&pg=PA302&dq=Abdurrahman+Taj++tanggal+%221955%22+-wikipedia&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiUnb6EpbDhAhUYfisKHaJkD_wQ6AEIKTAA#v=onepage&q=Abdurrahman%20Taj%20%20tanggal%20%221955%22%20-wikipedia&f=false -->
 
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke [[Timur Tengah]]. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhidan undanganmelakukan Imamkunjungan Besarbalasan ke Universitas Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmahia mendapat gelar kehormatan "Syekhah" dari [[Universitas Al-Azhar]]; kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan syekh pada perempuan.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=195}}{{sfn|Murtadlo|15 Desember 2018|pp=297–306}} Hamka mencatat, Diniyah Putri memengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka ''Kulliyatul Banat'', bagian Universitas Al-Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=27}}{{sfn|Gatra|2009}} Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah sempat mengunjungi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=255}}{{sfn|Munawaroh|2002|pp=20}}
 
SekembalinyaSekembali dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Tidak nyaman berjuang di Jakarta, ia memilih kembali pulang ke Padang Panjang.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=137}} Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen "yang sudah dikuasai komunis".{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=63}} Ketika [[Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia]] (PRRI) di Sumatra Tengah dideklarasikan pada akhir 1958 akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah dilaporkan bergabung dengan [[Dewan Banteng]].{{sfn|De Nieuwsgier|24 Desember 1956}} Selama masa pergolakan, ia bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. Dengan beberapa anggota keluarganya, ia berpindah-pindah dari satu desa ke satu desa sampai ke hutan-hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Pada Agustus 1961, satu rombongan yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dan pemuda berangkat menjemput Rahmah di tempat terakhir pengembaraannya, melalui jalan darat yang rusak dan menyeberangi beberapa sungai.{{sfn|Rasyad, dkk|1991|pp=63}}
 
== Meninggal ==