Jambi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Penambahan informasi dan referensi #HibahBukuMIF #TagarPribadi
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(4 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 167:
 
=== Zaman Hindia Belanda ===
Pada saat [[Belanda]] masih menjajah wilayah [[Nusantara]], Jambi masih dalam bentuk kesultanan. Kesultanan Jambi memasuki masa kejayaan ekonomi pada abad ke-17 M. Pada masa ini, Jambi terlibat dalam perdagangan internasional di jalur [[Selat Malaka]] dengan negara-negara kawasan, imperium [[Tiongkok|Cina]], [[India]], [[Timur Tengah]], hingga [[Eropa]]. Kelompok-kelompok Arab mulai menetap di Jambi dan kemudian hari menjadi kelompok paling berpengaruh dalam kesultanan terutama setelah memasuki abad ke-19 M. Kesultanan Jambi juga mulai menjalin hubungan dengan bangsa Eropa melalui perusahaan dagang Belanda ''Vereenigde Oostindische Compagnie'' (VOC) yang masuk ke Jambi pada tahun 1615 M. Meski didasari motif utama kepentingan ekonomi, VOC juga terlibat dalam urusan politik kesultanan sejak masa-masa awal kedatangannya. Struktur politik-pemerintahan tradisional di Kesultanan Jambi yang telah berlangsung berabad-abad perlahan mengalami deviasi dengan kewenangan yang sebagian mulai beralih kepada Belanda melalui kontrak-kontrak yang dibuat sejak awal abad ke-17. VOC meninggalkan Jambi pada akhir abad ke-18 dan sejak itu Jambi tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan Belanda.<ref name=":1" />{{Rp|page=9}}
[[Berkas:KITLV A785 - Stoomschip aan de betonsteiger te Djambi, KITLV 88808.tiff|al=Kapal Uap di Dermaga Beton di Jambi, Hindia Belanda (Tanpa Keterangan Tahun)|jmpl|Kapal Uap di Dermaga Beton di Jambi, Hindia Belanda (Tanpa Keterangan Tahun)]]
 
Awal abad ke-19, Belanda kembali berusaha membangun hubungan dengan Jambi. Pada masa ini, Kesultanan Jambi berada dalam situasi krisis ekonomi dan krisis legitimasi yang memicu pergolakan internal. Sejak kemunduran ekonomi yang dimulai pada akhir abad k-17, perekonomian Kesultanan Jambi tidak pernah bangkit lagi. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh persoalan moral memicu perang saudara pada tahun 1811 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muhyiddin. Meskipun sultan berhasil mempertahankan takhta dengan bantuan sepupunya, Raden Rangga, konflik internal kesultanan tetap berlangsung hingga dekade ketiga abad ke-19.<ref name=":5" />{{Rp|pages=45-50}} Dalam kondisi konflik internal yang berkepanjangan, upaya negosiasi dengan Belanda berlangsung pasang-surut. Kesultanan bahkan terlibat konflik terbuka dengan Belanda yang berakhir dengan ditandatanganinya kontrak tahun 1833 M, melalui kontrak yang dibuat di Sungai Baung, sehingga disebut Piagam Sungai Baung, Kesultanan Jambi mengakui kedaulatan Belanda di Jambi. Sejak itu, Belanda kembali mengontrol perdagangan Jambi.<ref name=":1" /> {{Rp|pages=9-10}} Kontrak ditandatangani pada tanggal 14 November itu berisi dengan inti perjanjian sebagai berikut.<ref name=":1" />{{Rp|page=265}}
# Sultan Jambi menyerahkan diri dan negerinya kepada kebijakan dan pemerintahan Belanda.
Baris 180:
 
Perubahan situasi politik terjadi ketika [[Thaha Syaifuddin dari Jambi|Sultan Thaha Saifuddin]]{{Efn|text=Peneliti Jambi terdahulu menggunakan ejaan yang variatif untuk nama Thaha Saifuddin. Penulis memilih menggunakan ejaan tersebut, selanjutnya diringkas Thaha, merujuk pada penulisan aksara Arab pada stempel yang digunakan oleh sultan serta keumuman penulisan dalam institusi resmi di Jambi saat ini. Dalam stempel resmi kesultanan tertulis طه سيف الدين yang jika ditransliterasi ke dalam aksara Latin menggunakan Turabian style menjadi Taha Sayf al-Din. Dalam diskusi tahun 2016 lalu, Elsbeth Locher-Scholten menjelaskan alasannya menggunakan ejaan Taha merujuk pada penulisan dalam dokumen-dokumen Belanda.}}{{Efn|text=Memang ada beberapa variasi penulisan nama pahlawan Jambi tersebut, misalnya Sultan (kadang ditulis Sulthan) Taha (ada yang menyebut Thaha) Saifuddin (Syaifuddin)}}<ref>{{Cite journal|last=Abid|first=M. Husnul|date=2010|title=Saifuddin atau Safiuddin?: atau Jambi di Pinggir Sejarah|url=https://www.neliti.com/publications/37092/saifuddin-atau-safiuddin-atau-jambi-di-pinggir-sejarah#id-section-content|journal=Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan|language=id|volume=25|issue=2|pages=37092|issn=1979-598X}}</ref> naik takhta menggantikan pamannya pada tahun 1855 M.<ref name=":1" />{{Rp|pages=9-10}} Karena sultan menolak mengakui kedaulatan Belanda atas Jambi sebagaimana yang diyakini Belanda berdasarkan perjanjian sebelumnya.<ref name=":1" />{{Rp|page=266}}
Upaya Jambi mengidentifikasi diri dengan kesultanan Turki 'Uthmany semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Thaha. Tidak hanya menjadi sultan yang anti kolonial, Sultan Thaha juga berusaha membangun jaringan dengan Turki 'Uthmany dalam sebuah relasi pan-islamisme. Ketika menghadapi situasi sulit atas tekanan Belanda untuk menandatangani kontrak baru setelah dibatalkannya kontrak tahun 1833 M, Thaha berusaha mendapatkan dukungan dari Turki 'Uthmany dengan mengirim surat pada ke sultan. Surat ini dikirim Sultan Thaha pada tahun 1857 M. Pertengahan tahun 1857 M pangeran ratu mengirimkan surat Sultan Thaha ke Turki melalui Singapura.<ref>{{Cite book|last=Tiderman|first=J.|last2=Sigar|first2=P. L. F.|date=1938|title=Djambi|location=Amsterdam|publisher=Koloniaal Instituut|url-status=live}}</ref>{{Rp|page=33}} Masa-masa upaya perundingan yang dilakukan Belanda, Thaha mengirim surat melalui koneksi-koneksinya di Singapura, di mana salah seorang yang bernama Sharif 'Aly menerima biaya perjalanan sejumlah 30.000 dolar Spanyol. Namun, Sharif 'Aly hanya berangkat sampai ke Mesir, di mana di sana dia mendapat surat palsu yang menyatakan bahwa Turki 'Uthmany telah mengesahkan pengusiran Belanda dari Asia Tenggara. Meski demikian, surat sultan tetap sampai ke Turki. Pemerintah Turki 'Uthmany berjanji tidak memberikan balasan setelah mengonfirmasi kepada konsulat Belanda terkait status Jambi, dan Belanda menjawab bahwa Jambi adalah wilayahnya. Setelah itu, kemungkinan ada utusan lagi pada tahun 1861 yaitu orang Arab-Singapura yang berangkat ke Mekah.<ref>{{Cite journal|last=Reid|first=Anthony|date=1967|title=Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia|journal=The Journal of Asian Studies|volume=26|issue=2|pages=267-283}}</ref><ref name=":1" />{{Rp|pages=101-102}}[[Berkas:Surat Sultan Thaha Saifuddin Jambi Ke Khalifah Utsmaniyah.png|al=Surat Sultan Thaha Saifuddin Jambi yang pernah dikirim ke Khalifah Utsmaniyah (1858)|jmpl|Surat Sultan Thaha Saifuddin Jambi yang pernah dikirim ke Khalifah Utsmaniyah (1858)]]Tahun 1857 M pangeran ratu berangkat ke Singapura untuk membicarakan pengiriman surat ke Turki. Surat Sultan Thaha kemudian dititipkan pangeran ratu kepada pembesar Singapura dengan biaya 30.000 dolar Spanyol. Dalam catatan kaki uraiannya, orang yang dipercayakan menjalankan misi ini bernama Sharif 'Aly alias Sayyid 'Aly al-Jufry. Menurut satu kabar dia berangkat ke Turki pada bulan Juni 1858 M setelah upaya perundingan kedua Jambi-Belanda, dan menurut kabar lain dia berangkat ke Turki setelah sultan boneka, Ahmad Nazaruddin{{Efn|text=Penulisan nama Sultan Ah}mad Nas}r al-Din versi Locher-Scholten}}, naik takhta. Tidak ada data kesimpulan tentang waktu keberangkatan ini, selain dari data yang dipercayai bahwa Sharif 'Aly tinggal di Singapura sejak November 1860 M.<ref name=":5" />{{Rp|pages=139-140}}<ref name=":1" />{{Rp|page=102}}
[[Berkas:Groepsportret met Sultan Thaha Syaifuddin van Djambi en zijn gevolg (1904).jpg|al=Potret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi dan pengikutnya (1904)|jmpl|Potret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi dan pengikutnya (1904)]]
Upaya Jambi mengidentifikasi diri dengan kesultanan Turki 'Uthmany semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Thaha. Tidak hanya menjadi sultan yang anti kolonial, Sultan Thaha juga berusaha membangun jaringan dengan Turki 'Uthmany dalam sebuah relasi pan-islamisme. Ketika menghadapi situasi sulit atas tekanan Belanda untuk menandatangani kontrak baru setelah dibatalkannya kontrak tahun 1833 M, Thaha berusaha mendapatkan dukungan dari Turki 'Uthmany dengan mengirim surat pada ke sultan. Surat ini dikirim Sultan Thaha pada tahun 1857 M. Pertengahan tahun 1857 M pangeran ratu mengirimkan surat Sultan Thaha ke Turki melalui Singapura.<ref>{{Cite book|last=Tiderman|first=J.|last2=Sigar|first2=P. L. F.|date=1938|title=Djambi|location=Amsterdam|publisher=Koloniaal Instituut|url-status=live}}</ref>{{Rp|page=33}} Masa-masa upaya perundingan yang dilakukan Belanda, Thaha mengirim surat melalui koneksi-koneksinya di Singapura, di mana salah seorang yang bernama Sharif 'Aly menerima biaya perjalanan sejumlah 30.000 dolar Spanyol. Namun, Sharif 'Aly hanya berangkat sampai ke Mesir, di mana di sana dia mendapat surat palsu yang menyatakan bahwa Turki 'Uthmany telah mengesahkan pengusiran Belanda dari Asia Tenggara. Meski demikian, surat sultan tetap sampai ke Turki. Pemerintah Turki 'Uthmany berjanji tidak memberikan balasan setelah mengonfirmasi kepada konsulat Belanda terkait status Jambi, dan Belanda menjawab bahwa Jambi adalah wilayahnya. Setelah itu, kemungkinan ada utusan lagi pada tahun 1861 yaitu orang Arab-Singapura yang berangkat ke Mekah.<ref>{{Cite journal|last=Reid|first=Anthony|date=1967|title=Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia|journal=The Journal of Asian Studies|volume=26|issue=2|pages=267-283}}</ref><ref name=":1" />{{Rp|pages=101-102}}
 
Tahun 1857 M pangeran ratu berangkat ke Singapura untuk membicarakan pengiriman surat ke Turki. Surat Sultan Thaha kemudian dititipkan pangeran ratu kepada pembesar Singapura dengan biaya 30.000 dolar Spanyol. Dalam catatan kaki uraiannya, orang yang dipercayakan menjalankan misi ini bernama Sharif 'Aly alias Sayyid 'Aly al-Jufry. Menurut satu kabar dia berangkat ke Turki pada bulan Juni 1858 M setelah upaya perundingan kedua Jambi-Belanda, dan menurut kabar lain dia berangkat ke Turki setelah sultan boneka, Ahmad Nazaruddin{{Efn|text=Penulisan nama Sultan Ah}mad Nas}r al-Din versi Locher-Scholten}}, naik takhta. Tidak ada data kesimpulan tentang waktu keberangkatan ini, selain dari data yang dipercayai bahwa Sharif 'Aly tinggal di Singapura sejak November 1860 M.<ref name=":5" />{{Rp|pages=139-140}}<ref name=":1" />{{Rp|page=102}}
 
Sultan Thaha menghubungi konsulat Turki yang baru tiba di Singapura pada tahun 1901 M, dan membuat konsulat tersebut berjanji akan mengirim dua kapal perang kepada Thaha pada tahun 1902 M. Tapi utusan yang dikirim ke Singapura tidak bisa berbuat banyak bahkan tidak bisa pulang. Masih pada tahun yang sama, Thaha mengirim utusan ke Turki, dan berhasil menemui Wazir Agung. Dalam perjalanan pulang tahun 1903, utusan ini kemudian menunaikan haji, di mana mereka bertemu dengan seorang Jambi yang diketahui menyelewengkan dana bantuan yang diperolehnya untuk mendukung perjuangan Jambi. Terakhir, sultan Thaha mengirim surat ke Turki pada 1903 M, di mana surat itu kembali diberitahukan pemerintah Turki 'Uthmany kepada konsul Belanda di Istanbul.<ref name=":5" />{{Rp|pages=274-275}}<ref name=":1" />{{Rp|pages=102-103}}[[Berkas:KITLV_A785_-_Residentiekantoor_te_Djambi,_KITLV_88795.tiff|jmpl|al=Kantor Keresidenan Jambi Zaman Hindia Belanda (Sekitar Tahun 1920)|Kantor Keresidenan Jambi Zaman Hindia Belanda (Sekitar Tahun 1920)]]
 
Sejak berada di bawah pemerintahan Sultan Thaha, Kesultanan Jambi memasuki periode penting perseteruan panjang dengan pemerintah kolonial Belanda. Setelah perjanjian damai tahun 1833 M dibatalkan oleh sultan, ketegangan antara kedua pihak terus meningkat. Puncaknya, Belanda menganeksasi Kesultanan Jambi pada tahun 1858 M lalu mengangkat ''sultan bayang''{{Efn|text=Sultan boneka yang diangkat pemerintah Belanda di Jambi umum disebut dalam literatur-literatur terdahulu dengan istilah sultan bayang atau sultan kontrak.}} sebagai pengganti Sultan Thaha. Sementara itu, Sultan Thaha menyingkir ke ''ulu''{{Efn|text=Daerah sepanjang hulu sungai Batanghari, saat ini meliputi daerah Tembesi, Tebo, Sarolangun, Merangin dan Bungo.}} dan membentuk pusat pemerintahan di daerah [[Muara Tebo, Tebo Tengah, Tebo|Muara Tebo]] dan menguasai daerah ''uluan''. Meski pusat kesultanan di Tanah Pilih berhasil dikuasai, Belanda tetap memperhitungkan kekuatan Sultan Thaha yang memiliki legitimasi kuat di ''uluan'' bahkan memengaruhi tokoh-tokoh di lingkungan istana. Kedua pihak terlibat konflik dingin berkepanjangan sampai kemudian Belanda memulai ekspedisi militer pada awal abad ke-20. Sejumlah perlawanan sporadis terjadi di beberapa daerah ''uluan'' hingga pecah perang terbuka yang menyebabkan Sultan Thaha terbunuh pada tahun 1904 M. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Sultan Thaha, Belanda secara resmi membubarkan kesultanan pada tahun yang sama lalu membentuk [[Keresidenan Jambi]] pada tahun 1906 M.<ref name=":1" />{{Rp|pages=10-11}}
 
{{main|Keresidenan Jambi}}
 
Baris 194 ⟶ 190:
 
Belanda baru benar-benar memberikan perubahan signifikan atas negeri Jambi setelah penaklukan tahun 1904 M. Setelah pemberlakuan pemerintahan keresidenan pada tahun 1906 M, Belanda melakukan serangkaian penataan model pemerintahan dan sistem hukum yang ada di kesultanan maupun di daerah. Perubahan paling menonjol adalah terjadinya peminggiran elite-elite tradisional serta pemberlakuan sistem administrasi dalam hukum adat. Sementara itu, persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan juga muncul sebagai masalah yang terus mengganggu. Keadaan-keadaan ini menimbulkan polemik berkepanjangan yang sempat memicu beberapa gerakan pemberontakan, terutama peristiwa tahun 1916 M yang didalangi oleh Sarekat Abang berkedok Sarekat Islam. Setelah peristiwa ini, tidak pernah lagi ada perlawanan yang signifikan dilancarkan oleh rakyat Jambi kepada Belanda.<ref name=":1" />{{Rp|page=329}}
[[Berkas:SuratGroepsportret met Sultan Thaha SaifuddinSyaifuddin Jambivan KeDjambi Khalifahen Utsmaniyahzijn gevolg (1904).pngjpg|al=SuratPotret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi yangdan pernah dikirim ke Khalifah Utsmaniyahpengikutnya (18581904)|jmpl|SuratPotret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi yang pernah dikirim ke Khalifahdan Utsmaniyahpengikutnya (18581904)]]
Pembubaran kesultanan dengan sendirinya berdampak terhadap koeksistensi Islam dan adat dalam sistem pemerintahan serta hukum di Jambi. Pembubaran kesultanan berarti bahwa Jambi bukan lagi sebuah negeri yang, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, secara ideologi politik merupakan negeri yang menganut ideologi Islam. Undang-undang Jambi tahun 1866 M dihapuskan dan diganti dengan Undang-undang Residensi Jambi (UURJ) buatan Belanda. Upaya-upaya menjadikan Jambi sebagai bagian dari [[Kesultanan Utsmaniyah]] juga terhenti sebab negeri Jambi tidak lagi memiliki seorang sultan berdaulat. Meskipun Kesultanan Utsmaniyah masih tetap populer dan menjadi harapan sejumlah kelompok sampai dasawarsa kedua abad ke-20, pada kenyataannya tak ada sosok berwenang untuk mewakili kepentingan politik mereka. Sistem musyawarah dalam suksesi kepemimpinan terbatas juga dihapuskan. Perubahan juga terjadi pada institusi keagamaan, yaitu qadi dan jajarannya. Jika sebelumnya institusi ini bersifat independen dalam urusan keagamaan dan pemutusan perkara hukum yang terkait dengan hukum Islam, UURJ menjadikan institusi keagamaan sebagai bagian dari sistem peradilan umum dengan penerapan birokratisasi ketat. Meskipun seorang hakim Islam harus masuk dalam proses peradilan dalam semua jenjang, dan putusan peradilan harus mengacu pada hukum agama dan hukum adat selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan secara umum, hakim Islam tidak lagi memiliki independensi untuk memutus perkara. Pengakuan terhadap hukum adat-islami juga mengalami distorsi di mana sejumlah aturan yang dianggap bertentangan dengan tradisi Eropa dilarang, seperti hukuman mati dan praktik "pembuktian ilahi", seperti menyelam, memegang besi panas dan sejenisnya, yang banyak dipraktikkan dan diakui dalam UUJ sebelumnya.<ref name=":1" />{{Rp|pages=329-330}}
[[Berkas:KITLV A1142 - Schoolkinderen te Djambi, KITLV 48543.tiff|al=Anak-Anak Sekolah di Jambi, Hindia Belanda (1930)|jmpl|Anak-Anak Sekolah di Jambi, Hindia Belanda (1930)]]
 
Perkembangan sosial budaya di daerah Jambi sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak memuaskan. Pendidikan formal memang di selenggarakan oleh kekuasaan pemerintah Belanda, misalnya diselenggarakan pembukaan sekolah-sekolah, namun jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat Proklamasi di kota Jambi hanya ada satu ''Hollandsch Inlandsche School''. Sudah tentu di samping pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda, maka oleh masyarakat diselenggarakan pula pendidikan ilmu pengetahuan agama di surau-surau dan madrasah-madrasah.<ref name=":2" />{{Rp|page=3}}
 
Baris 348 ⟶ 344:
Adapun tentara Jepang meninggalkan daerah Jambi pada tanggal 2 Juli 1946. Oleh karena itu, adalah aneh bahwa setelah Jambi ditinggalkan oleh tentara Jepang, Sekutu mengirimkan kembali sebatalyon kecil pasukannya yang terdiri lebih kurang 400 orang tentara ke Jambi. Terhadap pasukan Sekutu ini dapat dipelihara hubungan baik, sehingga tidak terjadi insiden dengan masyarakat maupun dengan TKR, sampai akhirnya mereka kembali ke induk pasukannya.<ref>{{Cite book|last=Nasution|first=A. H.|title=Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III|url-status=live}}</ref>{{Rp|page=258}}<ref name=":2" />{{Rp|page=68}}
 
Dari uraian terdahulu, tampak dengan jelas bahwa kedatangan tentara Sekutu dan tentara [[Nica]] ke daerah Jambi, tidak membawa akibat timbulnya insiden ataupun kontak bersenjata baik dengan masyarakat maupun dengan pihak tentara kita. Karena tentara Sekutu yang bercampur dengan tentara Belanda itu tidak sempat mendarat di Jambi.<ref name=":2" />{{Rp|page=68}}
 
Walaupun demikian, oleh karena tentara Jepang masih tetap berada di daerah Jambi tanpa dilucuti oleh Sekutu, insiden-insiden dengan Jepang seringkali tak dapat dihindari. Pada tanggal 15 Januari 1946 yaitu setengah bulan setelah pasukan Sekutu tidak jadi mendarat di kota Jambi, tentara Jepang mengadakan aksi terhadap TKR dan pemerintah Keresidenan Jambi dengan melakukan penangkapan-penangkapan. Pada waktu ini oleh tentara Jepang ditangkap dr. Sagaf Yahya, dr. Purwadi, R. Abdullah Kartawirana, Marzuki, Buyung Malik, Yuslim, Yusuf Deding dan Nursaga. Dengan adanya penangkapan ini, kemudian Kolonel Hasan Kasim, Komandan Divisi II TKR datang dari Palembang ke Jambi, dan mengadakan perundingan dengan ''Kenpeitai'' Jepang, agar melepaskan tokoh-tokoh yang ditangkap. Perundingan mana berhasil dengan keluarnya mereka dari tahanan Jepang.<ref name=":8" />{{Rp|pages=416-417}}<ref name=":2" />{{Rp|pages=68-69}}
Baris 357 ⟶ 353:
Pada masa aksi Militer Belanda Pertama di daerah Jambi boleh dikatakan tidak terjadi kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda. Insiden bersenjata pada masa Aksi Militer Belanda Pertama ini sering terjadi di daerah Banyunglencir yaitu perbatasan daerah Jambi dan Palembang serta di daerah pantai yaitu di Kabupaten Tanjung Jabung.<ref name=":2" />{{Rp|page=72}}
 
Di Banyunglencir terjadi beberapa kali insiden bersenjata, demikian pula di daerah pantai. Salah satu insiden ber- senjata yang agak menonjol pada masa aksi militer pertama ialah pertempuran laut antara Kapal Motor NURI I dibawah pimpinan Letnan II Laut Sanusi dengan kapal Patroli Belanda. Pertempuran yang tak seimbang ini berakhir dengan rusaknya kapal NURI I dan ditawannya Letnan II Laut Sanusi oleh Belanda.{{Efn|name=|reference=H. A. Hanafiah|reference=, Wawancara|text=, 17 Agustus 1945|text=}}<ref name=":2" />{{Rp|pages=72-73}}
 
Keadaan ekonomi di daerah Jambi, sesuai dengan situasi revolusi, tidaklah menguntungkan. blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal patroli Belanda di daerah pantai menyukarkan para pedagang Jambi menjual hasil karetnya ke Singapura, yang mengakibatkan perekonomian rakyat menjadi merosot. Politik keuangan pemerintah kacau balau, di samping uang Republik Indonesia, juga pemerintah daerah mengeluarkan uang daerah. Percetakan ''Soei Liong'' dibeli dan dijadikan percetakan negara. Kepala Jawatan Penerangan daerah Jambi M.L. Tobing diberi tugas untuk menjalankan dan mengawasi percetakan uang daerah. Uang daerah yang pertama, bernama Kupon penukaran terdiri dari harga 1 rupiah dan 2½ rupiah. Kertasnya dipilih yang tebal dan kuat.<ref name=":9">{{Cite book|title=Propinsi Jambi|location=Kementerian Penerangan|url-status=live}}</ref><ref name=":7" />{{Rp|pages=271-272}} <ref name=":2" />{{Rp|page=73}}
Baris 376 ⟶ 372:
 
Pada tanggal 28 Desember 1948, kota Jambi diserang dari udara dan dihujani dengan peluru oleh 14 pesawat terbang Belanda selama 24 jam. Kota Jambi dibumihanguskan, dan Belanda menerjunkan tentaranya di sekitar daerah tanah minyak, dan di pinggir-pinggir kota. Tentara kita melakukan perlawanan sengit, Kapten TNI Bakar tewas dalam serangan ini. Residen dengan stafnya dan Dewan Pemerintahan Daerah, menyingkir keluar kota, dengan menggunakan motorboot R.I. 120, bertolak ke [[Sengeti, Sekernan, Muaro Jambi|Sengeti]] dan dari sini ke dusun [[Rantau Majo, Sekernan, Muaro Jambi|Rantau Majo]]. Di dusun Rantau Majo inilah mereka memimpin pemerintahan dan perjuangan.<ref name=":9" />{{Rp|page=273}}<ref name=":2" />{{Rp|page=75}}
[[Berkas:Twee Dakota's op het vliegveld van Djambi, Bestanddeelnr 2794.jpg|al=Dua Pesawat Jenis Dakota di Bandara Jambi (Kemungkinan Saat Ini Namanya Bandara Pal Merah). Anotasi : Dakota bagian depan terdapat nomor registrasi T-45. Nampak Juga Latar Belakang Asap Kemungkinan Menunjukkan Hangusnya Kota Jambi (30 Desember 1948)|jmpl|Dua Pesawat Jenis Dakota di Bandara Jambi (Kemungkinan Saat Ini Namanya Bandara Pal Merah). Anotasi : Dakota bagian depan terdapat nomor registrasi T-45. Nampak Juga Latar Belakang Asap Kemungkinan Menunjukkan Hangusnya Kota Jambi (30 Desember 1948) ]]
 
Tanggal 29 Desember 1948 tentara payung Belanda menyerbu [[Bajubang, Batanghari|Bajubang]], [[Tempino, Mestong, Muaro Jambi|Tempino]], [[Kenali Asam Bawah, Kota Baru, Jambi|Kenali Asam]], dan tempat-tempat di sektiar tanah minyak. Perlawanan dilakukan oleh TNI dan Barisan Buruh, dari pertempuran yang berlangsung gugur 15 orang TNI, 40 Buruh, Kepala Rumah Sakit Tanah Minyak, dan 3 orang India ditembak mati oleh pihak Belanda. Di Tempino, pasukan TNI di bawah pimpinan Letnan Simatupang mengadakan perlawanan sengit bersama-sama Barisan Buruh. Akhirnya karena terkepung, Letnan Simatupang gugur. Perjuangan di Tempino ini membawa korban: 20 orang TNI gugur, buruh tewas 30 orang Polisi 5 orang, dan Ketua Perwari Tempino ibu Mahmud beserta 2 orang anaknya yang masih berumur 3 tahun dan 4 tahun. Di Kenali Asam, dalam penyerangan tentara payung Belanda, Sudarsono, Kepala Tambang Minyak dan juga Wakil Komandan Daerah Militer, bersama dengan staf Batalyon minyak, terdiri dari Kapten Rivai, Kapten Marzuki, dan Kapten Sujono, memimpin pembakaran sumur minyak. Tiga puluh sumur minyak terbakar hingga tiga bulan, dalam peristiwa penyerangan di Kenali Asam ini, Kapten Marzuki tewas terkena serangan udara, dan juga akhirnya Kapten Sujono gugur di km 8 dalam suatu pertempuran. Sedangkan Sudarsono tertangkap dan tertawan pada tanggal 1 Januari 1949.<ref name=":9" />{{Rp|page=274}}<ref name=":2" />{{Rp|page=76}}
 
Baris 408 ⟶ 404:
 
Oleh karena pusat pemerintahan masih berada di Lempur kira-kira bulan November 1949, berkali-kali tentara Belanda maju ke Lolo, namun dihambat terus oleh gerilya. Di pertengahan bulan November 1949 hari Rabu jam. 8.30, Lempur didatangi oleh sebuah pesawat Mustang Belanda yang datang dari arah Timur, terus menuju arah selatan. Kemudian setelah mengitari alam Lempur, maka kira-kira pada jam 8.40 pagi, tembakan metraliur ditujukan ke arah rumah kediaman bupati.<ref name=":6" />{{Rp|page=83}}<ref name=":2" />{{Rp|pages=82-83}}
 
Pada tanggal 17 November 1949 jam 6.30 pagi, Belanda sudah berada di sekitar Dusun Baru, Lempur dengan berjalan kaki melalui Bukittangis. Dengan melalui Bukit Talang Ting- gi, terus menyusuri Bukit Setangis menuju Air Abang Gerao, Belanda maju ke dusun Baru dengan maksud akan mengepung rumah kediaman Bupati dan Stafnya. Ketika itu Bupati dan staf telah menyingkir ke Ulu Rasau bersama rakyat termasuk Meidan Rahman demi menjaga kesehatan Bupati dan Komisaris Nazir. Tentara Belanda memasuki dan berada di dusun Baru, Lempur, dibawa oleh orang yang pro Belanda dari sekitar Keliling Danau, sebagai penunjuk jalan. Di waktu Belanda memasuki Dusun Baru Lempur, mereka terus mengepung rumah kediaman Bupati dan menangkap di tempat ini:<ref name=":2" />{{Rp|page=83}}
# Haji Rawi gelar Depati Agung
# Haji Kasang
# Satat
# Anjang Jakin
# Datuk Kasim
# Nenek Mamak Dusun Baru
# Nenek Mamak Lempur Mudik.
Mereka yang ditangkap itu, sedang berada di rumah kediaman Bupati yang dianggap oleh mereka satu tempat yang aman dan mudah menghubungi Pemerintah. Sedangkan mereka satu berkedudukan sebagai Kepala Dusun. Mereka yang ditangkap itu, dibawa ke SD Lempur Tengah. Karena penangkapan itu maka semangat pemuda gerilya meluap dan ingin menyerang pada waktu itu juga. Belanda memberitahukan kepada rakyat setempat, jika terjadi serangan dari pihak gerilya, maka ketujuh orang tahanan itu akan ditembak mati pada saat itu juga. Ketujuh orang itu disiksa dan dianiaya oleh tentara Belanda. Daerah penyiksaan itu telah dikepung oleh pasukan kita, tetapi atas perintah Komando Wali Perang Samin Abdullah, tidak dibenarkan mengadakan tembakan demi menjaga keselamatan ketujuh orang yang telah ditangkap Belanda itu tadi. Wali Perang Samin Abdullah meberi nota kepada tentara Belanda, agar menghentikan siksaan dan melepaskan ketujuh orang tahanan itu dan jangan dibawa ke Pulau Tengah. Kami bisa mundur, kalau tahanan itu dilepaskan. Kemudian Belanda melepaskan ketujuh tahanan tersebut. Belanda keluar dari SD dengan melalui sawah dan tidak memasuki Lempur Tengah, sebab Belanda, tahu bahwa mereka sedang berada di muncung senjata gerilya kita. Lempur tidak pernah diduduki Belanda secara tetap, tetapi merupakan daerah patroli saja, dengan berjalan kaki tanpa jeep. Selama masa agresi militer Belanda kedua, Lempur menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Kerinci sejak kota Sungai penuh diduduki oleh Belanda.<ref name=":6" />{{Rp|page=22}}
 
<ref name=":2" />{{Rp|pages=83-84}}
 
Demikianlah antara lain pertempuran di daerah Kerinci Hilir. Adapun di daerah Kerinci Hulu juga terjadi pertempuran dan perang gerilya. Di daerah Kerinci Hulu setelah Belanda menduduki Sungai Penuh, ibukota Kabupaten PSK, pada 24 April 1949, maka pada tanggal 28 April 1949, Belanda menuju Semurup. Bersamaan dengan itu seorang pemuda bernama Asit Seman, mengadakan jibaku menyerang Belanda dengan golok yang sudah diasah tajam. Tentara Belanda mengetahui maksudnya itu, maka sebelum ia sampai, ia ditembak oleh tentara Belanda. Hal ini terjadi di Sekungkung. Sambil menuju Semurup, Belanda sempat pula menembaki seorang pemuda bernama Akin Karim berasal dari Belui. Malam pertama Belanda menempatkan posnya di Semurup, dan langsung mendapat serangan dari pasukan gerilya kita. Serangan itu dilancarkan dari sudut sebelah selatan pasar Semurup. Penyerangan dipimpin oleh Usuludin.<ref name=":2" />{{Rp|page=84}}
 
Pada tanggal 9 Juni 1949, terjadi pertempuran di Semumu. Tiga hari sebelum pertempuran telah direncanakan untuk mengadakan penghadangan terhadap musuh di Semumu. Di rumah H. Sabaruddin dan Depati Mat Kitok dusun Kubang Gedang, diadakan rapat rahasia. Setelah satu keputusan diambil, maka pada hari tersebut di atas jam 5.00 pagi, para gerilya kita dibawah pimpinan Muradi dan Alamsyah, telah siap di tempat Stelling masing-masing, menurut siasat yang telah diatur lebih dahulu. Tetapi musuh mengetahuinya, dan mereka segera menyusup dari belakang sehingga para gerilyawan kita berada dalam perangkap, namun dapat meloloskan diri. Pada Tanggal 28 Juni 1949, rombongan GATI di bawah pimpinan Mayor Alwi St. Marajo meninggalkan Kerinci.<ref name=":6" />{{Rp|page=27}}<ref name=":2" />{{Rp|page=85}}
 
Tanggal 18 Mei 1949, dengan dua buah Jeep tentara Belanda dari Sungaipenuh melalui Simpang Belui menuju Kota Lenang terus ke Sungai Titung. Sebelumnya, pada tanggal 1 Mei 1949, diadakan sumpah setia di rumah lama H. Sutan Harun Belui, dibawah pimpinan Alamsyah. Yang ikut melakukan sumpah setia pada malam itu sebanyak 100 orang terdiri dari seluruh aliran masyarakat Belui. Penyumpahan dilaksanakan oleh Bayu Usman Ibrahim dengan niat "Sekali Merdeka Tetap Merdeka" dan berjuang terus melawan penjajahan sampai tetesan darah penghabisan. Pada tanggal 19 Mei 1949, terjadilah pertempuran sengit di Belui, pada waktu anggota gerilya kita dibawah pimpinan Alamsyah bersama-sama dengan anggota CPM diantaranya Serma Bastian, Sersan Yulinar, Sersan Hasan Basri, Kopral Teo Lawalata, Kopral Syamsudin dan lain-lain. Sedangkan dipihak gerilya kita antara lain, Sersan A. Samah, Polisi Badu Lusin Depati, Mat Dus, Kopral Kamarudin, Kopral Usaman Kalik, Sersan Usuludin, Prajurit Abdul Latif, Wali perang Depati VII Ashari, Ali Gayu, Usman Gading, Mat Jabar Mangku, Hakim Usman Depati, Mat Ribut, Nur Yakin, Bayu Usman Ibrahim, Jamaludin dan lain-lain. Kurang lebih seluruhnya 30 orang. Baik yang disebut CPM maupun yang disebut gerilya, semuanya adalah anggota gerilya.<ref name=":6" />{{Rp|page=28-29}}<ref name=":2" />{{Rp|page=85}}
 
Sebelum Belanda memasuki Siulak, rakyat lebih dulu telah mengungsi dan tinggallah pemuda-pemuda dalam dusun. Pada bulan Mei 1949, datang lima orang tentara kita, yaitu Letkol. Burhanuddin, Komandan Resimen II, mengadakan perundingan di Pasar Siulak. Untuk mengadakan pertahanan di Siulak, ditunjuk Letnan Satu Rustam (GATI) sebagai Komandan Front. Kemudian Letkol Bur berangkat ke Kayu Are dengan pengiring satu peleton, Camat Kamarudin dengan Kapten Hamid Jaus dan Komandan Peleton Ahmad, merundingkan tentang markas, yang kemudian menunjuk rumah A. Salam sebagai markas. Ketika itu Belanda membakar Semurup, kemudi- an mencoba memasuki Siulak. Pertempuran sengit terjadi, sehingga Belanda mundur kembali ke Semurup. Dalam serangan kedua kalinya, Belanda memasuki Siulak melalui pinggir air, sedangkan pasukan kita melalui bukit sebelah Timur dengan kekuatan 1 peleton dibawah pimpinan Sersan Mayor Lelo dan Sersan Mayor Ahmad. Di Siulak Gedang dekat simpang Siulak Kecil terjadi pertempuran hebat antara pasukan Belanda dengan pasukan kita (TNI) dibawah pimpinan Kapten Marjisan dan Letnan CPM Bakhtiar. Untuk mengatur siasat, maka seluruh pejuang berkumpul di pasar sebanyak 64 orang. Letnan Rustam menga- takan bahwa malam nanti Belanda akan menyerang, dan pasukan kita dibagi dua komando:<ref name=":2" />{{Rp|pages=85-86}}
# Komando I di kantor Mendapo, dipimpin oleh Sersan Mayor Ahmad.
# Komando II di Mukai, lengkap dengan karabin dan dua buah lewis dipimpin oleh Sersan Mayor Lelo. Pada jam 3.00 subuh, terdengarlah letusan dari arah Semurup. Per- tempuran sengit terjadilah sampai jam 8.00 pagi. Korban di pihak pasukan kita sebanyak lima orang, antara lain Ramli, Saudhi dan lain-lain. Sedangkan di pihak lawan korban sebanyak 72 orang. Komandan Front Siulak Deras Letnan Muda Zakir dan di Kayu Aro Kapten Marjizan. mengadakan pertahanan di Siulak Deras dengan membagi 3 jurusan yaitu di Talang Batu, di seberang air dan di sebelah mudik. Ketika Belanda datang pada waktu pagi harinya, terjadilah kontak senjata yang paling hebat. Waktu itu Belanda terkepung dan mundur ke Semurup dengan meninggalkan satu orang korban. Korban di pihak rakyat ketika pertempuran itu terjadi kurang lebih 35 orang, terdiri dari pemuda-pemuda BPNK termasuk Yakub Harun bersaudara, Waktu rakyat kembali, rombongan Merjizan telah beragkat ke Muara Labuh. Belanda paling banyak korban yaitu pada pertempuran dekat mesjid Siulak Gedang yaitu di depan rumah H. Idris Siulak.
 
Setelah Siulak Gedang jatuh, tentara kita mundur ke Siulak Deras dan Markas TNI pindah ke Kayu Aro.<ref name=":6" />{{Rp|pages=30-31}}<ref name=":2" />{{Rp|page=87}}
 
Di Talang Batu, dulu Telang Tembak, terjadi kontak senjata lagi antara pasukan kita dengan Belanda dengan meninggalkan korban satu orang. Kira-kira 20 hari kemudian, didapat info bahwa Belanda masuk dalam tiga jurusan yaitu:<ref name=":2" />{{Rp|page=87}}
# Melalui Jalan raya
# Sungai Tenang
# Sungai Tuak
 
Pada bulan Mei, kira-kira jam 8.00 pagi, terjadi lagi pertempuran hebat tak henti-hentinya dari tiga jurusan tadi, sehingga pejuang kita merasa terkepung dan mundur.<ref name=":6" />{{Rp|page=31}}<ref name=":2" />{{Rp|page=87}}
 
Dalam pada itu, di bawah pimpinan Muradi dan Alamsyah, anggota gerilya kita bersama-sama dengan pejuang setempat (Sungai Medang) mendirikan Markas gerilya dan langsung menjadi asrama gerilya kita, yang terletak di bukit Sungai Medang, kira-kira 3 km dari dusun. Markas Gerilya ini diberi nama Markas Gerilya Rimba Tanjung Tembaga karena letaknya dekat Sungai Tembaga Sungai Medang. Pada tanggal 5 Juli 1949, bertempat di Markas ini dibentuklah Komando Pertempuran Kerinci beserta stafnya. Komando ini langsung menjadi Kompi Pertempuran atau Kompi Gerilya Kerinci.<ref name=":6" />{{Rp|page=32}}<ref name=":2" />{{Rp|page=87}}
 
== Politik dan pemerintahan ==