== Karier ==
Sebelum belajar menari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]], dirinya telah belajar menari kepada Ki Demang Sewaka yang juga merupakan seorang ''[[abdi dalem]]'' [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]]. Ki Demang Sewaka terkenal pandai menari. Anak-anak yang berada di lingkungan sekitar tempat tinggal Ki Ageng Sewaka secara rutin dikumpulkan oleh Ki Demang Sewaka untuk dilatih dan diajari menari.
Pada saat itu, usia Suyati <u>+</u> 10 tahun saat memulai langkah yang mengantarkannya menjadi seorang maestro seni tari. Dia awalnya tertarik berlatih menari di rumah Ki Demang Sewaka atas bujukan dari teman-teman sebayanya yang ikut latihan menari di sana. Bersama dengan anak-anak lainnya, dia rutin belajar menari di rumah Ki Demang Sewaka, hingga pada suatu sore ketika Bendoro Raden Mas (B.R.M.) Soerjosoeparto atau [[Mangkunegara VII]]<ref>Hermono, Ully. (2014), hlm. 21.</ref> melakukan kegiatan rutin berkeliling kampung dengan menaiki kuda, Ki Demang Sewaka menunjukkan bakat menari yang dimiliki oleh Suyati kepadanya.
Ketika telah resmi diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, Suyati menjalani kehidupan asrama di lingkungan kerajaan. Selain mewariskan bangunan yang megah, Istana Mangkunegaran juga merupakan pusat seni kebudayaan Jawa yang sampai sekarang masih dapat dinikmati ataupun dikaji. Adapun asrama yang diperuntukkan bagi para penari perempuan terletak di sebelah barat tembok Istana Mangkunegaran.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Sumarno|first=|date=Juni 2013|title=Jabatan dan Tugas dalam Pemerintahan di Keraton Surakarta: Studi Serat Wadu Aji|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 14, No. 2|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|issn=1411-5239|pmid=|access-date=}}</ref> Suyati menjalani kehidupan asrama sebagai penari di Istana Mangkunegaran selama <u>+</u> 3 tahun hingga wafatnya Mangkunegara VII. Berkenaan dengan mangkatnya Mangkunegara VII dan memasuki masa [[Mangkunegara VIII]], asrama tersebut kemudian dibubarkan. Setelah asrama dibubarkan, Suyati yang saat itu berusia <u>+</u> 12 tahun lantas kembali ke rumah bibinya yang mengasuhnya sejak kecil.
Kehidupan Suyati di asrama dijalaninya bersama dengan 14 orang penari perempuan lainnya. Beberapa penari yang masih diingat oleh Suyati antara lain: Kunti, Seno, Sarbini, Suparni, Tugini, Sagiyem, dan Jaikem. Pada waktu itu, para wanita penari keraton tersebut (termasuk Suyati) tinggal di dalam ''keputren'' yang berada di dalam tembok istana. Masyarakat ''keputren'' memiliki pemerintahan yang diatur oleh ''[[abdi dalem]]'' perempuan, yang di dalam tatanan tersebut mengenal birokrasi. ''[[Abdi dalem]]'' yang dimaksudkan sebagian terdiri dari ''priyantun dalem'' dan sebagian lainnya direkrut dari kalangan rakyat umum.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 56-58.</ref> Penghuni ''keputren'' sendiri terdiri atas kelompok bangsawan dan bukan bangsawan yang tersusun secara hierarki. Kelompok yang pertama meliputi para putri keluarga dan kerabat raja, sedangkan kelompok yang kedua meliputi ''abdi dalem estri'' dan para ''abdi.''<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 34.</ref>
Kelompok penari perempuan seperti Suyati biasa disebut dengan ''bedhaya, magang priyantun'', ataupun ''abdi dalem priyantun''. Dari penyebutan tersebut tampak bahwa para ''[[abdi dalem]]'' ini mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus dari raja.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 29-30.</ref> Hal tersebut disebabkan karena para ''bedhaya'' juga bertugas melayani raja atau permaisuri. Untuk menjadi ''bedhaya'', mereka dididik sejak usia dini, yaitu sejak masih memakai ''sabuk wala'' yang merupakan cara memakai kain dalam tradisi Jawa untuk anak usia 10-12 tahun. Apabila mereka sudah berusia 12-15 tahun, mereka mengenakan tatanan kain model ''pinjungan'' terkait perkembangan bentuk tubuhnya. Setelah dewasa, mereka harus mengenakan model atau tatanan berkain yang disebut dengan ''semekan'' atau ''ubet-ubet''.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 35.</ref>
Pada saat Suyati diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, dia berada pada masa pemerintahan [[Mangkunegara VII]] yang dikenal memiliki semangat dan upaya memajukan kesenian, termasuk di dalamnya seni tari. Para putra dan ''narapraja'' di lingkungan [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] pun diwajibkan belajar menari dan karawitan.<ref>Hermono, Ully. (2014), hlm. 21-22.</ref><ref name=":1" /> [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] mendirikan Pakempalan Beksa Mangkunegaran (PBMN) sebagai wadah untuk memajukan berbagai kesenian tersebut. PBMN merupakan sebuah wadah belajar menari yang mirip dengan pendidikan formal. Dalam sistem pengajarannya, PBMN memiliki tingkatan-tingkatan atau kelas. Hasil evaluasi akhir belajar disampaikan dalam bentuk buku rapot, sedangkan pembagian kelas dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan bakat dan kemampuan dari para siswa.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 155.</ref>
Suyati sendiri belajar menari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] mulai dari mendalami bentuk-bentuk ''tayungan''<ref>Tayungan merupakan latihan gerak-gerak dasar dalam belajar menari. Adapun urutan ''tayungan'' antara lain: ''dhekung, sembahan, ngadeg ngigel, ngedeg sabetan, tanjak tengen, tanjak kiwo, kalang kinantang, kambeng, bapang, bapang gecul, nayung, ukel nayung, ubet sampur, miwir sampur, mirong, ridhong, sampir sampur, ngolong sampur, dhadap, srisig, nyindur, ingkrong, larikan, larikan rakit'', dan ''larikan sungsun.''</ref> hingga bentuk-bentuk tari ''wireng''. Latihan menari di masa Suyati kecil dulu tidak terikat pada pakem atau hafalan urutan gerakan dari suatu tarian, namun berdasarkan ''kendangan''. Seorang penari harus pandai mengikuti irama [[Kendhang|kendang]] yang menyatu dengan gerakan.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 33.</ref>
== Pengabdian ==
Selain [[Srimpi|Tari Srimpi]] dan [[Tari Gambyong]], Suyati paling sering menarikan Tari Minakjinggo-Damarwulan ketika menjadi penari di Istana Mangkunegaran. Dalam tarian ini, dia mampu menarikan dua peran, yaitu sebagai Minakjinggo maupun [[Damar Wulan|Damarwulan]]. Suyati sering kali tampil membawakan Tari Minakjinggo-Damarwulan berpasangan dengan Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Rono Suripto, yang merupakan teman latihan menarinya sejak lama. Dengan R.M.T. Rono Suripto pulalah Suyati mulai menggali Tari Gambyong Pareanom susunan Nyi Bei Mintararas yang masih bertahan sesuai dengan aslinya sampai saat ini.<ref>{{Cite thesis|last=Darmaningsih|first=M.|title=Gambyong Pareanom: Studi Kasus Tentang Nilai-Nilai Kewanitaan dalam Pura Mangkunegaran|date=1987|degree=|publisher=Institut Kesenian Jakarta|url=|doi=|type=Skripsi}}</ref>
Suyati sendiri merupakan salah satu penari dalam pementasan Tari Langendriyan.<ref>Tarian yang menggunakan alur cerita, yang mirip dengan Wayang Orang, dan dialognya menggunakan tembang.</ref> Pada masa pemerintahan [[Mangkunegara VII]], pemain pada Tari Langendriyan berjumlah tujuh orang, yang kemudian disebut dengan ''Langendriyan Pitu''. Tokoh-tokoh yang diperankan pada ''Langendriyah Pitu'' meliputi: [[Damar Wulan|Damarwulan]], Minakjinggo, Dayun, Sabdopalon, Nayagenggong, Wahito, dan Puyengan.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 38-39.</ref>
Sekitar tahun 1980-an, Suyati mendapatkan surat keputusan pengangkatan sebagai guru tari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] dari [[Mangkunegara VIII]]. Surat tersebut diberikan kepada Suyati berkat dedikasi dan loyalitasnya dalam kesenian tari, walaupun sebenarnya dia berkeinginan setelah menikah hanya akan menjadi [[Dharma Wanita]] saja. Dengan surat keputusan tersebut, dirinya memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu terkait dengan tarian khas Mangkunegaran. Suyati diangkat menjadi pelatih tari pada masa R.M.T. Tarwo Sumosutargio (suaminya) menjabat sebagai Ketua Langenpraja di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]].<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 57-58.</ref>
Tari Mangkunegaran lain yang dikuasai oleh Suyati meliputi: Langendriyan, Bedhaya Bedah Madiun, Srimpi Pandhelori, Srimpi Muncar, Golek Lambangsari, Golek Montro, Srikandi Larasati, Srikandi Mustakaweni, [[Tari Gambyong|Gambyong]] (Gambyong Pareanom, dan Gambyong Retno Kusumo), Wireng (Blambangan Cakil, Janaka, Dasamuka, dan Karno Tanding), serta Langenkusumo. Suyati juga pernah menciptakan sebuah tarian pada tahun 1985, yaitu Tari Gambyong Langenkusumo, sebuah tarian yang memadukan antara Tari Gambyong dan [[Tari Golek Menak|Tari Golek]]. Adapun Tari Gambyong Langenkusumo ciptaan suyati tersebut merupakan hasil interpretasi baru atas tarian yang sudah ada, yang kemudian digali dan direkonstruksi ulang. Meskipun kaya akan pengalaman dan pengetahuan tentang seni tari, namun Suyati tidak pernah membuka sanggar tari sendiri. Baginya, cukup menjadi guru tari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]].<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 59-62.</ref>
== Penghargaan ==
Beberapa piagam penghargaan dari luar Istana Mangkunegaran pernah diterima oleh Suyati. Piagam penghargaan tersebut antara lain diberikan kepadanya selaku pelatih tari yang telah berpartisipasi memberikan pelatihan pada mata kuliah Kajian Tari Mandiri di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, pada 25 November 2000. Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2004, Suyati menerima ucapan terima kasih atas partisipasinya dalam membimbing dan melatih tari pada mata kuliah Penggalian Tari Tradisional, khususnya sebagai pelatih [[Tari Gambyong]] Pareanom Mangkunegaran. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Suyati kembali mendapatkan penghargaan pada tanggal 10 Desember 2005. Dia memperoleh penghargaan sebagai pelatih Tari Sancaya Kusuma Wicitra Gaya Mangkunegaran. Kegiatan tersebut dalam rangka penggalian tari tradisional yang dilakukan oleh mahasiswa angkatan 2003 pada Program Studi Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 62-63.</ref>
Atas ketekunan, kerja keras, dan konsistensinya dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan tari gaya Mangkunegaran dengan cara mengajarkannya kepada penari yang lebih muda di Mangkunegaran, Suyati memperoleh Panghargaan Maestro Tari Tradisional Gaya [[Istana Mangkunagaran|Mangkunegaran]] oleh [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]].<ref name=":0" /> Anugerah penghargaan itu diberikan oleh [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]] kepadanya pada tanggal 24 Juni 2009 melalui [[Menteri Kebudayaan dan Pariwisata]] yang saat itu dijabat oleh [[Jero Wacik|Ir. Jero Wacik]].<ref name=":3">{{Cite web|url=https://nasional.kompas.com/read/2009/06/27/12511963/menbudpar.beri.penghargaan.kepada.para.maestro|title=Menbudpar Beri Penghargaan Kepada Para Maestro|last=Kompas.com|first=|date=|website=|publisher=|access-date=16 Maret 2019}}</ref> Selain Suyati, ada 10 maestro seni tradisi dari berbagai daerah lain di Indonesia yang juga mendapatkan penghargaan itu, antara lain:
# [[Zulkaidah Boru Harahap]] dalam bidang karya opera [[Suku Batak|Batak]] dari [[Sumatera Utara|Provinsi Sumatra Utara]].
# Jamhan Akbar dalam bidang sastra lisan yang berasal dari [[Kalimantan Selatan|Provinsi Kalimantan Selatan.]]<ref name=":3" />
Penghargaan juga diberikan kepada Suyati dari [[Daftar Wali Kota Surakarta|walikota Surakarta]] yang saat itu masih dijabat oleh [[Joko Widodo|Ir. H. Joko Widodo]], tepatnya pada tanggal 17 Februari 2010. Suyati mendapatkan penghargaan Bhakti Darmakusala Bidang Budaya, sebagai penghargaan atas pengabdiannya dalam Pembangunan Kota Surakarta, sehingga dapat dijadikan teladan bagi para masyarakat lainnya. Berselang satu tahun kemudian, Suyati mendapatkan piagam penghargaan atas perannya sebagai pelatih [[Tari Gambyong]] Retno Kusumo pada mata kuliah Penggalian Tari Tradisional, Jurusan Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, [[Universitas Negeri Yogyakarta]].<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 66.</ref>
Keikutsertaan Suyati dalam kegiatan yang terkait dengan dunia tari tidak pernah surut. Pada tanggal 29 April 2013, Suyati mengikuti kegiatan ''World Dance Day 2013-Solo 24 Jam Menari'' yang diselenggarakan oleh Institut Seni Surakarta dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata [[Kota Surakarta]]. Kegiatan inilah yang membuat dirinya memperoleh sertifikat penghargaan pada tanggal 29 April 2017.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 66-67.</ref>
|