Kesultanan Bima: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
BayuAjisaka (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
BayuAjisaka (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(8 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 45:
Sang Bhima menikah dengan seorang putri Bima yang berasal dari Pulau Satonda di bagian utara Bima bernama Indra Tasi Naga, dari keturunannya inilah yang menjadi raja-raja Bima nantinya. Karena sosoknya yang dinilai cerdas, karismatik dan berwibawa, para Ncuhi memintanya menjadi raja. Namun Sang Bhima harus kembali ke [[Medang|Kerajaan Medang]]. Ia kemudian mengatakan nanti akan mengirim anaknya untuk memimpin. Sehingga kepemimpinan sementara diberikan ke Ncuhi Dara, penguasa wilayah Tengah atau Kota Bima sekarang.
Tahun 823 (abad 9), dua anak Sang Bhima tiba di Bima, bernama Indra
Indra
Sedangkan Indra Kumala dikabarkan menghilang di salah satu mata air yang terletak di bagian timur pusat kota Bima, sekarang menjadi situs Oimbo, yang berasal dari kata Oi Mbora (''Oi=Air, Mbora=Hilang'') yang artinya mata air tempat hilangnya Indra Kumala.[[Berkas:Aksara Bima Kuno, disebut Tunti Nggahi Mbojo.jpg|jmpl|Aksara Bima Kuno yang termasuk turunan aksara Brahmi-Pallawa-Kawi. Diperkenalkan pertama kali di era kepemimpinan Ruma Sangaji Manggampo Jawa, disebut '''Tunti Mbojo'''.]]Dalam sejarahnya, wilayah Kerajaan Bima kemudian dibagi menjadi dua (Timur dan Barat) karena adanya kemelut politik saat Rani Ratna Lila (Seorang Ratu; Perempuan) naik memimpin Bima setelah meninggalnya Sangaji Manggampo Jawa. Akhirnya untuk mengakhiri konflik, Kerajaan Bima dibagi menjadi dua, di mana wilayah barat (meliputi Kencuhian Saneo, Papekat, Kangkelu, dan Taloko) dipisahkan menjadi kerajaan
== Awal Kesultanan ==
[[Berkas:BIma dalam Peta pertama Melayu-Portugis Abad 16.jpg|jmpl|Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis buatan Eropa tahun 1563]]▼
[[Berkas:Mahkota Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mahkota Sultan Bima]]
Pada tahun 1540 Masehi, para [[Dai|mubalig]] dan pedagang dari [[Kesultanan Demak]] datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh [[Sunan Prapen]], tetapi tidak dilanjutkan setelah [[Trenggana|Sultan Trenggono]] wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari [[Kesultanan Ternate]] yang diutus oleh [[Baabullah|Sultan Baabullah]]. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh [[Ala'uddin dari Gowa|Sultan Alauddin]] pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari [[Kesultanan Gowa]] dan [[Kesultanan Tallo]] dari [[Makassar]]. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi [[muslim]] pada tanggal 15 [[Rabiul awal|Rabiul Awal]] tahun 1030 [[Kalender Hijriyah|Hijriyah]]. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=634}}
== Imperium Nusantara Timur Selatan ==
▲[[Berkas:BIma dalam Peta pertama Melayu-Portugis Abad 16.jpg|jmpl|Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis buatan Eropa tahun 1563]]
Puncak kejayaan Bima terjadi pada abad ke-15, ketika kerajaan ini menguasai seluruh Pulau Sumbawa dan melakukan ekspansi ke luar pulau, termasuk ke Pulau Sumba, Manggarai, Sabu/Sawu, Ende, Larantuka, Komodo, hingga kepulauan Alor di bawah kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana berdasarkan naskah kuno BO Bima yang berisi catatan-catatan aktivitas harian raja-raja Bima.[[Berkas:Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima Di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15.jpg|jmpl|Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15 di Bawah Kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana.]]Seiring menguatnya pengaruh Bangsa Barat di Nusantara, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima perlahan menyusut. Hingga pada abad ke-19 M, hanya menyisakan Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]] atau Flores Barat, dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]
Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur [[Hindia Belanda]]. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu
== Pemerintahan ==
Baris 66:
Kesultanan Bima menggunakan gelar ''Ruma'' kepada para raja dan sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa raja/sultan adalah tuan kita; pelindung, kemudian di memasuki era kesultanan, gelar ini dialih artikan sebagai [[khalifah]] dan wakil [[Allah]] di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai [[syariat Islam]]. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.{{Sfn|Effendy|2017|p=185}}
[[Berkas:Mbangga Mbaru Lambang Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mbangga Mbaru, lambang Kesultanan Bima]]
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan [[pemerintahan terpusat]]. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 [[distrik]] pemerintahan yaitu [[RasanaE Barat, Bima|Distrik Rasanae]], [[Donggo, Bima|Distrik Donggo]], Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik
=== Sultan Ismail ===
Baris 81:
== Kehidupan Masyarakat ==
Masyarakatnya memiliki
== Struktur Sosial ==
Penduduk asli
[[Berkas:Lukisan Makam Kuno di Bima (1821).png|jmpl|Lukisan Makam Kuno Raja-Raja Bima (1821)]]
Baris 91:
Sebelum kedatangan Hindu, Budha dan Islam, masyarakat Bima telah memiliki agama lokalnya sendiri bernama ''[[Marapu]]'', lokasi tempat ibadahnya disebut ''Parafu'', tokoh-tokoh agamanya disebut ''Pamboro'' / ''Sando'' (orang yang mampu berbicara dengan roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), dan upacara hari besarnya disebut ''Toho Dore'' yang dilakukan satu tahun sekali secara besar-besaran dengan mempersembahkan hasil bumi dan hewan ternak. Kepercayaan ini mempercayai adanya kekuatan alam dan roh leluhur yang melindungi dan bersemayam di gunung, mata air, pohon dan bebatuan besar. ''Marapu'' berasal dari bahasa Bima, yaitu: ''Ma'' dan ''Rapu'',di mana ''Ma'' artinya Yang, dan ''Rapu'' artinya Dekat, sehingga dapat diartikan sebagai Yang Dekat.
Agama Hindu bercampur dengan Budha (Siwa-Budha) masuk ke Bima bersamaan dengan kedatangan tokoh Sang Bhima, namun dalam implementasinya, kepercayaan ini dicampur dengan kepercayaan lokal, dan menjadi Siwa-Budha khas Bima. Namun sayangnya, menurut Dewi Ratna Muchlisa (Kepala Museum Samparaja Bima
Pada tahun 1938, Arca Siwa dalam tiga wajah dan Mahakala di temukan di pinggir sawah 3 derajat arah timur laut dari pusat Kesultanan Bima. Kemudian tahun 2014, ditemukan arca nandi dan sebuah yoni yang saat ini disimpan di Museum Asi Mbojo. Tahun 2019, pengrajin batu bata di Kecamatan Bolo berhasil menemukan beberapa perhiasan emas dan arca perunggu.
Baris 184:
|-
|15
|'''Indra
|'''Ruma Sangaji'''
(Anak keturunan Sang Bima datang memimpin Dana Mbojo. Dalam perkembangan kepemimpinannya berhasil menyatukan 9 Ncuhi; yang mengubah nama ''Ncuhi'' ''Dana Mbojo'' menjadi ''Pancuhi Bima'' atau Kerajaan Bima)
Baris 217:
|Sangaji Batara Matra Indra Tarata
|—
|—
|-
|22
Baris 249:
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Paju Longge'''
|—
|-
|28
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Indra Mbojo'''
|—
|-
|29
Baris 265:
|Sangaji .........
|'''Manggampo Donggo'''
|—
|-
|31
|Sangaji .........
|'''Mambora Wa’a Pili Tuta'''
|—
|-
|32
Baris 367:
|-
|1
|Sangaji Kai
|Ruma Ta Ma Bata Wadu
|1626—1632 & 1633—1640
|-
|2
|I Ambela
|Ruma Ta Mantau Uma Jati
|1640—1682
|-
|3
|
|Ruma Ta Mawa’a Paju
|1682—1687
|-
|4
|
|Ruma Ta Mawa’a Romo
|1687—1696
|-
|5
|
|Ruma Ta Mabata Bou
|1696—1731
Baris 473:
=== Sambolo ===
[[Berkas:Sambolo eal - Toho Leme.jpg|jmpl|Sambolo Toho Leme; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan bangsawan.]]▼
Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun tradisional Bima, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup.
Bedasarkan status sosial pamakaiannya, maka cara memakai (memasang) sambolo ada dua bentuk, yaitu:
- Toho Leme (yang dipasang dalam bentuk kerucut)
▲- Toho Sungge (yang dipasang dalam bentuk biasa), tidak bentuk berkerucut, tetapi dipasang dalam keadaan biasa saja, untuk rakyat biasa. [[Berkas:Sambolo eal - Toho Leme.jpg|jmpl|Sambolo Toho Leme; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan bangsawan.]]
[[Berkas:Sambolo ikat kepala rakyat bima.jpg|jmpl|Sambolo Toho Sungge; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan rakyat biasa.]]
=== Ndiha Rasa ===
''Ndiha'' ''Rasa'' atau dalam Bahasa Indonesia berarti Kampung Ramai; ''Pesta Rakyat'', merupakan salah satu tradisi masyarakat Bima yang berkembang sejak era kerajaan dan terus dirawat hingga era kesultanan dengan beberapa penyesuaian. Tradisi pesta rakyat ini dilakukan setiap satu tahun sekali, biasanya dilakukan setelah musim panen sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Masyarakat di masing-masing wilayah biasanya membuat acara besar dengan prosesi utamanya berupa do'a-do'a syukuran, yang berlanjut dengan berbagai acara hiburan dengan ciri dan karakter masing-masing wilayah yang dilakukan selama kurang lebih satu sampai dua minggu. Misalnya yang paling khas dan unik: ''Taji Tuta'' (Adu kepala) di Wawo, ''Ndempa Ndiha'' (Tarung bebas tangan kosong berkelompok yang dibagi ke dalam beberapa tingkatan umur) di Belo, ''Kabanca'' (Saling mengejek dan memperlihatkan kemampuan beratraksi di atas kuda, kemudian saling berusaha menjatuhkan lawan dari kudanya) di Lambu, ''Taji Sampa'' (Adu kecepatan perahu kecil berlayar) di Wera, dll.
|