Kesultanan Bima: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BayuAjisaka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
BayuAjisaka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(5 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 53:
Sementara Kerajaan Bima Timur tetap dengan nama Kerajaan Bima (meliputi Kencuhian Dara, Dorowuni, Banggapupa, Pabolo, dan Parewa) tetap dipegang oleh Rani Ratna Lila yang kemudian seterusnya dilanjutkan oleh Sangaji Batara Bima Indra Luka. Namun dipersatukan kembali oleh Kerajaan Bima (Timur) saat misi ekspansi wilayah Bima hingga ke Bumi Alor (NTT) di abad 15 oleh Sangaji Ma Wa’a Bilmana.[[Berkas:Bima Baru Aksara Bima Baru, disebut Tunti Bou.jpg|jmpl|Aksara Bima Baru, yang mendapat pengaruh dari hubungan dagang yang intens dengan Bugis-Makassar sekitar abad 16/17, disebut '''Tunti Bou'''. Sebelum digantikan dengan Aksara Pegon/Arab Melayu pada 13 Maret 1645 M, lima tahun setelah pengangkatan Sultan Bima Ke-2.]]
== Awal Kesultanan ==
[[Berkas:BIma dalam Peta pertama Melayu-Portugis Abad 16.jpg|jmpl|Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis buatan Eropa tahun 1563]]
[[Berkas:Mahkota Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mahkota Sultan Bima]]
Pada tahun 1540 Masehi, para [[Dai|mubalig]] dan pedagang dari [[Kesultanan Demak]] datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh [[Sunan Prapen]], tetapi tidak dilanjutkan setelah [[Trenggana|Sultan Trenggono]] wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari [[Kesultanan Ternate]] yang diutus oleh [[Baabullah|Sultan Baabullah]]. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh [[Ala'uddin dari Gowa|Sultan Alauddin]] pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari [[Kesultanan Gowa]] dan [[Kesultanan Tallo]] dari [[Makassar]]. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi [[muslim]] pada tanggal 15 [[Rabiul awal|Rabiul Awal]] tahun 1030 [[Kalender Hijriyah|Hijriyah]]. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=634}}
 
== Imperium Nusantara Timur Selatan ==
[[Berkas:BIma dalam Peta pertama Melayu-Portugis Abad 16.jpg|jmpl|Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis buatan Eropa tahun 1563]]
Puncak kejayaan Bima terjadi pada abad ke-15, ketika kerajaan ini menguasai seluruh Pulau Sumbawa dan melakukan ekspansi ke luar pulau, termasuk ke Pulau Sumba, Manggarai, Sabu/Sawu, Ende, Larantuka, Komodo, hingga kepulauan Alor di bawah kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana berdasarkan naskah kuno BO Bima yang berisi catatan-catatan aktivitas harian raja-raja Bima.[[Berkas:Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima Di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15.jpg|jmpl|Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15 di Bawah Kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana.]]Seiring menguatnya pengaruh Bangsa Barat di Nusantara, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima perlahan menyusut. Hingga pada abad ke-19 M, hanya menyisakan Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]] atau Flores Barat, dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan [[Laut Jawa]] di utara dan [[Samudra Hindia|Samudera Hindia]] di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tigabeberapa distrik utama yaitu [[Belo, Palibelo, Bima|Belo]], [[Bolo, Bima|Bolo]], dan [[Sape, Bima|Sape]]. Tiaptiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut ''Djeneli''. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah [[Reok, Manggarai|Reo]] dan daerah [[Pota, Sambi Rampas, Manggarai Timur|Pota]]. Pemimpin masing-masing distrik bergelar ''naib'' yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para ''naib'' ini memimpin para ''galarang'', dan kepala kampung.{{Sfn|Haris|2006|p=18}}
 
Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur [[Hindia Belanda]]. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung [[Gunung Tambora]] pada tahun 1928.{{Sfn|Haris|2006|p=19}}
 
== Pemerintahan ==
Baris 66:
Kesultanan Bima menggunakan gelar ''Ruma'' kepada para raja dan sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa raja/sultan adalah tuan kita; pelindung, kemudian di memasuki era kesultanan, gelar ini dialih artikan sebagai [[khalifah]] dan wakil [[Allah]] di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai [[syariat Islam]]. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.{{Sfn|Effendy|2017|p=185}}
[[Berkas:Mbangga Mbaru Lambang Kesultanan Bima.jpg|jmpl|Mbangga Mbaru, lambang Kesultanan Bima]]
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan [[pemerintahan terpusat]]. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 [[distrik]] pemerintahan yaitu [[RasanaE Barat, Bima|Distrik Rasanae]], [[Donggo, Bima|Distrik Donggo]], Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik SapaSape dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=22}} Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di [[Kota Makassar|Makassar]]. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.{{Sfn|Sumiyati|2020|p=23}}
 
=== Sultan Ismail ===
Baris 81:
 
== Kehidupan Masyarakat ==
Masyarakatnya memiliki tigabeberapa sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu, takut, dan takut.tak Ketigaingkar sifatjanji. Sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Jamrud dan Indra Kumala. Indra Jamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.{{Sfn|Sulistyo|2014|p=160}} Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan [[Kepulauan Maluku]]. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa [[soga]], [[Secang|sapang]] dan [[rotan]]. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke [[Maluku]] berupa makanan dan air minum.{{Sfn|Sulistyo|2014|p=159}}
 
== Struktur Sosial ==
Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat [[Suku Donggo|Etnis Donggo]] yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di [[Donggo, Bima|Kecamatan Donggo]] dan [[Kecamatan Wawo Tengah]].{{Sfn|Aulia|2013|p=2}} PendudukDalam yangperkembangannya lainnyaketika adalahera [[SukuNcuhi berkembang, masyarakat Bima]] kuno menggunakan nama Mbojo yang berasal dari kata Dana Ma Babuju ('orang dari' tanah yang berbukit) sebagai identitas saat mengenalkan diri kepada orang luar. Suku ini awalnyaterus adalahmengalami paraperkembangan dan terjadi perkawinan silang dengan suku-suku pendatang seperti dari Suku Makassar dan, Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.{{Sfn|Aulia|2013|p=3}} Para pendatang lain berasal dari [[Suku Melayu]] dan [[Orang Minangkabau|Suku Minangkabau]]. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman [[Bangsa Arab|Arab]] yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.{{Sfn|Aulia|2013|p=4}}
[[Berkas:Lukisan Makam Kuno di Bima (1821).png|jmpl|Lukisan Makam Kuno Raja-Raja Bima (1821)]]
 
Baris 91:
Sebelum kedatangan Hindu, Budha dan Islam, masyarakat Bima telah memiliki agama lokalnya sendiri bernama ''[[Marapu]]'', lokasi tempat ibadahnya disebut ''Parafu'', tokoh-tokoh agamanya disebut ''Pamboro'' / ''Sando'' (orang yang mampu berbicara dengan roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), dan upacara hari besarnya disebut ''Toho Dore'' yang dilakukan satu tahun sekali secara besar-besaran dengan mempersembahkan hasil bumi dan hewan ternak. Kepercayaan ini mempercayai adanya kekuatan alam dan roh leluhur yang melindungi dan bersemayam di gunung, mata air, pohon dan bebatuan besar. ''Marapu'' berasal dari bahasa Bima, yaitu: ''Ma'' dan ''Rapu'',di mana ''Ma'' artinya Yang, dan ''Rapu'' artinya Dekat, sehingga dapat diartikan sebagai Yang Dekat.
 
Agama Hindu bercampur dengan Budha (Siwa-Budha) masuk ke Bima bersamaan dengan kedatangan tokoh Sang Bhima, namun dalam implementasinya, kepercayaan ini dicampur dengan kepercayaan lokal, dan menjadi Siwa-Budha khas Bima. Namun sayangnya, menurut Dewi Ratna Muchlisa (Kepala Museum Samparaja Bima), dalam wawancaranya dengan Media Baru tanggal 14 Okt 2021(Youtube: Jejak Peradaban Bima Abad 8 Hingga 10 Masehi | DESA), mengatakan bahwa saat Kerajaan Bima bertransformasi menjadi berbentuk Kesultanan Bima, Sultan memerintahkan penghapusan seluruh hal yang berkaitan dengan agama lama beserta simbol-simbolnya, karena dianggap sebagai berhala, sehingga oleh bawahannya sebagian dibuang ke laut, sebagiannya lagiyang kecil-kecil dikubur.
 
Pada tahun 1938, Arca Siwa dalam tiga wajah dan Mahakala di temukan di pinggir sawah 3 derajat arah timur laut dari pusat Kesultanan Bima. Kemudian tahun 2014, ditemukan arca nandi dan sebuah yoni yang saat ini disimpan di Museum Asi Mbojo. Tahun 2019, pengrajin batu bata di Kecamatan Bolo berhasil menemukan beberapa perhiasan emas dan arca perunggu.
Baris 217:
|Sangaji Batara Matra Indra Tarata
|—
|—
|12xx – 13xx
|-
|22
Baris 249:
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Paju Longge'''
|—
|14xx – 14xx
|-
|28
|Sangaji .........
|'''Ma Wa’a Indra Mbojo'''
|—
|14xx – 14xx
|-
|29
Baris 265:
|Sangaji .........
|'''Manggampo Donggo'''
|—
|14xx – 15xx
|-
|31
|Sangaji .........
|'''Mambora Wa’a Pili Tuta'''
|—
|15xx – 15xx
|-
|32
Baris 367:
|-
|1
|Sangaji Kai Seri Sultan '''Abdul Kahir''' '''I'''
|Ruma Ta Ma Bata Wadu
|1626—1632 & 1633—1640
|-
|2
|I Ambela Seri Sultan '''Abdul Khair Sirajuddin''' Muhammad Shah
|Ruma Ta Mantau Uma Jati
|1640—1682
|-
|3
|Seri Sultan '''Nuruddin''' Abu Bakar Ali Shah
|Ruma Ta Mawa’a Paju
|1682—1687
|-
|4
|Seri Sultan '''Jamaluddin''' Inayat Shah
|Ruma Ta Mawa’a Romo
|1687—1696
|-
|5
|Seri Sultan '''Hasanuddin''' Muhammad Ali Shah
|Ruma Ta Mabata Bou
|1696—1731