Ketuhanan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
fix ref error
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Hirarki sub-judul)
 
(1 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 15:
# Yang Tidak Terkondisi (''asaṅkhata'')
 
Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat luhur yang disebut [[Brahmavihāra]], yaitu cinta kasih (''[[mettā]]''), belas kasih ([[Karuna|''karuṇā'']]), simpati ([[Mudita|''[[mudita'']]''), dan ketenangan ([[Upekkha|''upekkhā'']]).<ref>{{Cite web|last=Tran|first=Alex|date=2016-06-08|title=Brahma-Vihara: The Four Divine States or Four Immeasurables of Buddhism|url=https://seattleyoganews.com/brahma-vihara-the-four-divine-states-or-four-immeasurables-of-buddhism/|website=Seattle Yoga News|language=en-US|access-date=}}</ref> Menurut Handaka Vijjānanda, sifat-sifat luhur ini dapat diinterpretasikan sebagai sifat-sifat Ketuhanan.
 
Di kesempatan lain, Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan cara kerja presisi dari hukum karma dan berbagai spekulasi tentang dunia (''lokacintā''), seperti asal-usul semesta, dengan menyatakan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai "hal yang tidak terpikirkan" (''acinteyya'') yang, jika dipikirkan, dapat menghasilkan kegilaan atau frustrasi. Selain itu, Buddha juga menjelaskan Nirwana sebagai "hal yang berada di luar jangkauan nalar" (''atakkāvacara'') karena sulit untuk dipahami dengan logika atau alasan oleh seseorang yang belum mencapainya sendiri.
Baris 260:
Menurut Mahāyāna, di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam). Akan tetapi, benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya. Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.<ref>2014. Biksu Dutavira Mahasthavira (Koordinator Dewan Sangha Walubi).</ref>
 
==== Sang Hyang Adi Buddha ====
{{Main|Sang Hyang Adi Buddha}}
[[Majelis Buddhayana Indonesia]] menggunakan istilah [[Sang Hyang Adi Buddha]] yang diadaptasi dari konsep [[Adi Buddha]] yang hidup di kalangan [[Buddhisme Esoteris Indonesia]]. Istilah tersebut terdapat dalam beberapa kitab seperti [[Sanghyang Kamahayanikan|Sang Hyang Kamahayanikan]] (kitab Jawa kuno) yang menggunakan [[bahasa Kawi]].<ref>{{cite book|author=R. B. Cribb, Audrey Kahin|date=2004|url=http://books.google.co.uk/books?id=SawyrExg75cC&pg=PA63#v=onepage&q&f=false|title=Historical Dictionary of Indonesia|publisher=Scarecrow Press|isbn=978-0810849358|edition=Second Edition|page=63}} {{en}}</ref><ref>{{cite book|year=2004|url=http://books.google.co.uk/books?id=8g6DhN5FdwMC&pg=PA132#v=onepage&q&f=false|title=Spirited Politics: Religion and Public Life in Contemporary Southeast Asia|publisher=Cornell University Southeast Asia Program|isbn=978-0877277378|editor=Andrew Clinton Willford, Kenneth M. George|page=132}} {{en}}</ref><ref name="siddhi2">Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia. 28 November 2008. [http://www.siddhi-sby.com/index.php/artikel/artikel-dharma/9-konsep-ketuhanan-dalam-agama-buddha Konsep Ketuhanan Dalam Agama Buddha] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20131023063757/http://www.siddhi-sby.com/index.php/artikel/artikel-dharma/9-konsep-ketuhanan-dalam-agama-buddha|date=2013-10-23}}.</ref>
Baris 288:
: "''Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbāna/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia.''"
 
==== Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren ====
Aliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (''Saddharma Puṇḍarīka Sūtra)'' yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan. Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal ''Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra)'' berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan."<ref>Williams 1989, hlm. 149.</ref>
 
Baris 318:
-->
==== Rangtong ====
Rangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat ''[[śūnyatā|]]''śūnyatā'']] atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut. Hal ini terkait dengan pandangan ''prasangika'', yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa.
 
==== Shentong ====
Shentong, secara harfiah berarti “kekosongan lain”, adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Aliran ini berpendapat bahwa ''[[śūnyatā|]]''śūnyatā'']] menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu. Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah. Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (nonsektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu. Dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda, Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal. Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia.
 
Menurut Shentong, kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti ''tathāgatagarbha'' (Esensi Buddha), ''dharmadhātu'' (Dimensi Kebenaran), dan ''dharmakāya'' (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan menjadi satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.<ref name=":2">Thera, Nyanaponika. “Buddhism and the God-idea”. The Vision of the Dhamma. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. (accesstoinsight.org)</ref>