Birokrasi di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hwangboy (bicara | kontrib)
 
(92 revisi perantara oleh 40 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Birokrasi di Indonesia''' awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa ''cultuurstelsel'', masa ''desentralisasi'' dan ''emansipasi'', masa [[pemerintah]] pusat ''(centraal bestuur)'', masa ''binnenlands[[Binnenlands bestuurBestuur]]'' dan ''ambtskostuum binnenlands bestuur'', masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi kemerdekaan [[17 Agustus]] [[1945]] pemerintahan [[Indonesia]] melalui [[Kasman Singodimedjo]] ketua [[Komite Nasional Indonesia Pusat|KNIP]] pada [[25 September]] [[1945]] mengumumkan bahwa presiden [[Indonesia]] memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan [[Indonesia]] <ref>{{cite book | first=Deliar | last=Noer | coauthors=Akbarsyah | title=KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat : parlemen Indonesia, 1945-1950 | publisher=Yayasan Risalah | year=2005 | isbn=9799770637 }} </ref>
 
 
== Birokrasi dalam budaya barat ==
'''Birokrasi''' ([[bahasa Inggris]]:''bureaucracy'' ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs) ([[bahasa PerancisPrancis]]: ''bureaucratie'') mempunyai arti ''bureau + cratie'' atau sistem struktur manajemen pemerintahan negara atau administrasi besar atau organisasi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang kompleks yang ditandai dengan otoritas hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang tetap
[[Berkas:peruskaavio_en.gif|thumb|250px|Contoh diagram dari administrasi publik]]
'''Birokrasi''' ([[bahasa Inggris]]:''bureaucracy'' ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs) ([[bahasa Perancis]]: ''bureaucratie'') mempunyai arti ''bureau + cratie'' atau sistem struktur manajemen pemerintahan negara atau administrasi besar atau organisasi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang kompleks yang ditandai dengan otoritas hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang tetap
 
=== Teori-teori dalam birokrasi ===
[[Max Weber]], seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang menggambarkan bentuk birokrasi <ref>{{cite book | first=Max | last=Weber | coauthors=A.M. Henderson and Talcott Parsons | title=The Theory of Social and Economic Organization | publisher=Collier Macmillan Publishers, London | year=1947 | isbn= | pages=102 }}</ref> sebagai cara ideal mengatur organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat adanya ''struktur hirarkis formal'' pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hirarkihierarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan, ''manajemen dengan aturan yang jelas'' adanya pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya, ''organisasi dengan fungsional yang khusus'' pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian, ''mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan'' dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan, ''perlakuan secara impersonal'' idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan individu, ''bekerja berdasarkan kualifikasi teknis'' merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya. Akan tetapi, menurut [[Cyril Northcote Parkinson]] seorang sejarawan angkatan laut [[Inggris]] yang menulis bahwa [[Max Weber|Weber]] kurang menyadari bahwa manajemen dan staf profesional akan cenderung tumbuh mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi<ref>{{cite book | first=Cyril Northcote | last=Parkinson | coauthors= | title=Parkinson's law: and other studies in administration | publisher=University of Michigan | year=1962|isbn= }}</ref> sedangkan [[David Osborne]] dan [[Ted Gaebler]] menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol.<ref>{{en}} {{cite book|first=David|last=Osborne|coauthors=Ted isbnGaebler|title=Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector|publisher=Plume|year=1993|url=https://archive.org/details/reinventinggover00osbo}}</ref> Berikut rangkuman dari teori-teori birokrasi.
<center>
{{col-begin|width=95%}}
|-
|
Sistem Birokrasi I {{br}}{{br}}
Rowing (Mendayung/bekerja sendiri) {{br}}
Service (Melayani){{br}}
Monopoly (Menguasai sendirian) {{br}}
Rule-driven (Digerakan oleh aturan) {{br}}
Budgeting inputs (Menunggu anggaran) {{br}}
Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat) {{br}}
Spending (Pengeluaran) {{br}}
Curing (Penyembuhkan) {{br}}
Hierarchy (Berjenjang) {{br}}
Organization (Organisasi, lembaga) {{br}}
|
Sistem Birokrasi II {{br}}{{br}}
Steering (Menyetir/mengarahkan){{br}}
Empowering (Memberdayakan){{br}}
Competition (Ada persaingan){{br}}
Mission-driven (Digerakkan oleh misi){{br}}
Funding outcomes (Menghasilkan dana){{br}}
Customer-driven (Dikendalikan pelanggan/pembayar pajak){{br}}
Earning (Penghasilan/tabungan){{br}}
Preventing (Pencegahan){{br}}
Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok){{br}}
Market (Pasar, keseimbangan orang banyak){{br}}
|} </center>
<poem> </poem>
 
== Sejarah ==
Baris 13 ⟶ 40:
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
 
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di [[Batavia]] (sekarang Jakarta) melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama [[:fr:Indes orientales néerlandaises|kerajaan Belanda]] (dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië), sekretariat umum (algemene secretarie), departemen administrasi umum (departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands bestuur}) dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari pemerintahan lokal [[Inlands Bestuur|Inlandsche Bestuur]] (pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut dengan wilayah ''Hindia Belanda'', ''pemerintahan sendiri'' seperti raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun [[1829]] bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan ''cultuurstelsel'' berangsur-angsur berubah dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan, perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai ikut [[:fr:Nationalisme indonésien|menumbuhkan gerakan nasionalisme di Indonesia]].
 
Pada tahun [[1905]] mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun [[1916]] terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan walikotawali kota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada [[1918]] mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun [[1925]] wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi tersebut.
 
=== Awal kemerdekaan ===
Pada tanggal [[30 Mei]] [[1948]] melalui ''Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948'' pemerintah [[RI]] yang berkedudukan di [[Jogjakarta]] baru mendirikan ''Kantor Urusan Pegawai'' (KUP) sedangkan pemerintahan [[RIS]] yang berkedudukan di [[Jakarta]] untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui ''Keputusan LetnanWakil Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 10'' tanggal [[20 Februari]] [[1946]] dengan nama ''Kantor Urusan Umum Pegawai'' (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun dengan ''Keputusan LetnanWakil Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948'' membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk ''Djawatan Urusan Umum Pegawai'' (DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara ''Kantor Urusan Pegawai'' (KUP) dan ''Djawatan Urusan Umum Pegawai'' (DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan [[RI|Indonesia]] pada tanggal 27 Desember 1949 melalui ''Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950'' dibentuklah ''Kantor Urusan Pegawai'' (KUP) guna menyatukan ''Kantor Urusan Pegawai'' (KUP) dan ''Djawatan Urusan Umum Pegawai'' (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab kepada [[Daftar Perdana Menteri Indonesia|perdana menteri]] akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, ''[[Kantor Urusan Pegawai]] (KUP)'' yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disusul pada tanggal [[17 Agustus]] [[1950]], terjadi pergantian [[konstitusi]] [[RIS]] berubah menjadi [[UUDS 1950]] yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara kesatuan. Tahun seribu sembilan ratus lima puluh tiga [[1953]] [[T.R. Smith]] membantu menyusun laporan untuk ''Biro Perancang Negara'' berjudul ''Public Administration Training'', setahun kemudian dua orang profesor dari [[Cornell University]]|Cornell University, [[School of Business and Public Administration]] [[Amerika Serikat|Amerika]] yang diundang ke [[Indonesia]] yaitu [[Edward H. Lichtfeld]] dan [[Alan C. Rankin]] yang berhasil menyusun laporan rekomendasi yang berjudul ''Training for Administration in Indonesia''.<ref>{{cite book | first=Edward H.| last=Litchfield | coauthors=Alan C.
Rankin | title=Bureaucracy: Training for Administration in Indonesia | publisher=Ithaca, New York : Cornell University School of Business and Public Administration | year=1954 | isbn= }}</ref><ref>{{ja}} [http://www.cseas.kyoto-u.ac.jp/seas/1/1/010103.pdf [[PDF]] ''[[Center for Southeast Asian Studies]] (CSEAS), [[Kyoto University]] ''</ref>. Pada masa kabinet [[Ali Sastroamidjojo]] II ([[20 Maret]] [[1956]] - [[9 April]] [[1957]]) melalui ''Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957'' dibentuk ''Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian'' atau ''[[Panitia Organisasi Kementerian ]] (PANOK)'' sebagai pengganti ''Kantor Urusan Pegawai (KUP)'' serta ikut dibentuk ''[[Lembaga Administrasi Negara|Lembaga Administrasi Negara ]] (LAN)'' yang bertugas menyempurnakan ''administratur negara atau birokrasi'' keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada [[perdana menteri]].
 
Pada tanggal [[5 Juli]] [[1959]], dikeluarkan [[DekritDekret Presiden 5 Juli 1959|dekritdekret presiden]] yang menyatakan berlakunya kembali [[UUD 1945]] dan presiden melalui ''Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1959'' melarang [[PNS]] golongan F menjadi anggota dari [[partai politik]] selanjutnya pada tahun [[1961]] dikeluarkannya ''Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian'' dan dibentuk ''Badan Administrasi Kepegawaian Negara'' (BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama ''[[Panitia Retooling Aparatur Negara ]] (PARAN)'' yang menghasilkan ''Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962'' tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan ''Keppres Nomor 98 Tahun 1964'' dibentuk ''[[Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi]] (KONTRAR)'' merupakan kelanjutan dari ''Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)'', retooling atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang memerintah (the ruling party) atau '' yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan republik''.
 
=== Birokrasi dalam perkembangan ===
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan ''[[Politik blok birokrasi|building block]]'' kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami ''spoil system'' yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur lainnya diluardi luar tugas birokrasi.
 
Pada tahun [[1966]] awal pemerintahan [[Suharto]] bedasarkan ''Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera'' ditunjuk selaku presiden dan ketua presidium Kabinet Ampera melalui ''Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967'' kembali membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu presidium yang kemudian dikenal dengan nama ''Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah'' atau disingkat menjadi ''Tim PAAP'' yang beranggotakan sebelas orang dengan [[Daftar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia|Menteri Tenaga Kerja]] selaku ketua didampingi oleh direktur [[LANLembaga Administrasi Negara|LANsebagai]]sebagai sebagai sekretaris serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama [[Sekretariat Jenderal]], [[Direktorat Jenderal]] dan [[Inspektorat]] tercermin dalam ''Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966'' serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada kementerian negara melalui ''Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966'' dilakukan pengubahan penggolongan [[PNS]] dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai dengan IV.
 
Selanjutnya pada tahun [[1968]] kembali dibentuk ''Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah'' yang disebut pula sebagai ''Proyek 13'' disusul dengan ''Keppres Nomor 16 Tahun 1968'' yang kemudian disempurnakan dengan ''Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968'', ''Proyek 13'' ini kemudian berganti nama menjadi ''Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi Negara'' yang lebih dikenal dengan nama ''Sektor P' dengan anggota terdiri dari ''Lembaga Administrasi Negara'' ([[Lembaga Administrasi Negara|LAN]]), ''Badan Administrasi Kepegawaian Negara'' ([[BAKN]]), ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'' ([[Bappenas]]), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi. yang diketuai oleh [[Awaluddin Djamin|Awaloeddin Djamin]] yang menjabat sebagai [[Daftar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia|Menteri Tenaga Kerja]] dengan tugas agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.
 
Ketika [[Suharto]] pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan ''Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968'', dibentuk kementerian nomenklatur baru yaitu ''Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara'' bertugas antara lain melanjutkan ''pembersihan'' birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut dengan ''berpolitik kepartaian'' lalu berdasarkan ''Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971'' pada tanggal 29 Nopember 1971 didirikan ''Korps Pegawai Republik Indonesia ([[KORPRI]])'' sebagai organisasi wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan [[Indonesia]] dan dalam perkembangan selanjutnya ''Tim PAAP'' dan ''Proyek 13'' akhirnya dilebur kedalam ''Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara'' sedangkan ''Sektor Aparatur Pemerintah'' (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan ''Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara'' yang dipimpin oleh seorangan menteri merangkap menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q (Keamanan dan Ketertiban) dan dengan ''Keppres Nomor 45/M Tahun 1983'' ''Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara'' diubah kembali menjadi ''Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara'' yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut merangkap pula sebagai wakil Ketua [[Bappenas]].
 
Tahun 1995 melalui ''Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995'' tanggal 27 September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai ditetapkanditerapkan lima hari kerja yaitu hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai negeri sipil ([[PNS]]) (Zero Growth) seta perampingan organisasi.
 
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai ''gerakan reformasi'' maka melalui ''Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999'' mengenai keberadaan pegawai negeri sipil ([[PNS]]) sebagai anggota partai politik lalu dirubahdiubah melalui ''Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999'' yang membuat pegawai negeri sipil ([[PNS]]) kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah dalamsebagai keanggotaan dalam partai politik apapun.
 
== Organisasi ==
{{main|Undang-Undang Kementerian Negara|Kementerian negara Indonesia}}
[[Berkas:keskushallinto_en.gif|thumb|250px|contoh diagram ini menunjukkan kedudukan kementerian dalam struktur administrasi publik.]]
Sejak kemerdekaan {{umur|1945|8|17|2008|11|6}} tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang panjang, akhirnya [[Indonesia]] baru mempunyai pengaturan organisasi kementerian sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan kementerian negara berjumlah 46 kementerian.
{{main|Undang-Undang Kementerian Negara|Kementerian negara Indonesia}}
Sejak kemerdekaan {{umur|1945|8|17|2008|11|6}} tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang panjang akhirnya [[Indonesia]] baru mempunyai pengaturan organisasi kementerian sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan kementerian negara berjumlah 46 kementerian.
 
== Korupsi ==
{{main|Korupsi di Indonesia|Komisi Pemberantasan Korupsi|Indeks Persepsi Korupsi}}
Usaha rasionalisasi organisasi pemerintah pusat sebenarnya sudah dimulai sejak masa [[Kabinet Wilopo|Kabinet]] [[Wilopo]] ([[3 April]] [[1952]] -[[1 Agustus]] [[1953]]) yang berusia hanya sekitar limabelas bulan kemudian diteruskan oleh [[Kabinet Ali Sastroamidjojo I|kabinet]] [[Ali Sastroamidjojo]] I ([[1 Agustus]] [[1953]] - [[12 Agustus]] [[1955]]) bernasib sama berusia dua tahun yang mempunyai program antara lain menyusun aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan pegawai serta memberantas korupsi dalam birokrasi dengan pembentukan ''Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian'' (PANOK) yang bekerja antara tahun [[1952]] sampai dengan [[1954]].
 
Pada 2009, bila merujuk pada laporan dari ''Political and Economic Risk Consultancy (PERC)'' yang berbasis di [[Hongkong]], Indonesia masih menunjukan angka yang buruk terutama dalam hal ''hambatan birokrasi'' atau ''red tape barriers''<ref>[http://www.asiaone.com/News/AsiaOne%2BNews/Singapore/Story/A1Story20090408-134144.html Table of Asian corruption scores in PERC survey ]</ref>
== Administrasi publik ==
{{main|Undang Undang Pelayanan publik|Administrasi publik|Ombudsman}}
Wajah administasi publik dari suatu penyelengaraan negara [[Indonesia]] akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayan terhadap publik dalam rangka merasionalisasi birokrasi adalah dapat terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, tterdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
 
== Administrasi publikPublik ==
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya, gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
{{main|Undang Undang Pelayanan publik|Administrasi publikPublik|Ombudsman Republik Indonesia}}
Wajah administasi publikbirokrasi dari suatu penyelengaraan negara [[Indonesia]] akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanpelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangka merasionalisasi birokrasi adalahakan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, tterdapatterdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
 
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya, gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat kabupaten, walikotawali kota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
 
== Akuntabilitas Publik ==
{{main|Akuntabilitas (administrasi publik)|Korupsi|Cinta Indonesia Cinta KPK| Konfrontasi Cicak dan Buaya}}
[[Pendulum]] kekuasaan di [[Indonesia]] selalu bergulir dari waktu-ke waktu, bergerak antara [[eksekutif]] dan [[legislatif|parlemen]] serta peran kekuatan bersenjata yang ikut mewarnai kekuasaan para pelaku hampir tidak mengalami perubahan yakni berputar antara partai politik yang satu kepada partai politik yang lain, pada kurun waktu tertentu lokus kekuasaan akan bergeser pada pihak eksekutif dimana partai politik pemerintah akan lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan katimbang kelembagaan negara lainnya yang dengan demikian penggunaan kekuasaan akan terfokus dan bermuara di satu tempat, saat kurun waktu yang lain, kekuasaan berada pada pihak legislatif, partai politik lain yang berada di legislatif akan memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan membuat stabilitas pemerintahan tidak bisa tercapai, sementara itu profesionalisme baik pada pihak legsilatif maupun pihak eksekutif tidak juga pernah bisa terwujudkan, politik tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan akan selalu silih berganti berada di kedua pihak tersebut.
 
Sementara kepentingan publik tidak pernah merasakan keterwakilan dalam siklus kekuasaan ini, keperwakilan melalui partai politik yang seharusnya sebagai mewakili kepentingan publik hanya mengenalnya pada saat-sat ketika akan diadakan pemilu belaka dan seterusnya kepentingan publik akan terlupakan kembali dengan kekuasaan ego partikular dan elite pimpinan partai politik semata.
 
Dalam Perkembangannya [[administrasi publik]] akan cenderung menjadi instrumen dari kekuasaan dari para elite dengan membuat publik senantisa kembali berada pada posisi objek dan kepentingan sedangkan pertanggung jawaban kepada publik mempunyai kadar amat rendah dan cenderung bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali akhirnya akan bisa menjadi sebuah [[ironi]] di dalam sebuah negara [[demokrasi]] yang tanpa mempunyai [[akuntabilitas]],<ref>{{cite web|url=http://ircpl.org/2009/event/democracy-without-accountability-indonesias-party-cartel-in-the-2009-elections/|title=Democracy without Accountability? Indonesia's Party Cartel in the 2009 Elections|date=25 Maret 2009|website=IRCPL|url-status=dead|archive-url=https://web.archive.org/web/20101124012153/https://ircpl.org/2009/event/democracy-without-accountability-indonesias-party-cartel-in-the-2009-elections/|archive-date=24 November 2010}}</ref><ref>[http://insideindonesia.org/content/view/1198/47/ Democracy yes, accountability no ?]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> negara demokrasi yang seharusnya dapat melahirkan ''administrasi publik'' yang lebih baik sebagaimana administrasi publik di beberapa negara yang telah mengikuti sistem demokrasi yang seharusnya menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat dipergunakan untuk meminta pertanggung jawaban publik dan harus dapat segera dilaksanakan oleh pemerintahan dan publik dapat pula antara lain dengan menuntut uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintahan agar selalu dipergunakan secara jelas dan bermanfaat bagi publik melalui tekanan-tekanan publik antara lain fiskal kepada [[administrasi publik]] akan semakin kuat, publik harus dapat mengetahui setiap aliran penggunakan dan pemanfaatan fiskal dengan demikian publik tidak lagi akan dapat mentoleransi terhadap segala macam ''pemborosan'', ''inkomptensi'' dan ''kecerobohan'' yang mungkin atau yang dilakukan oleh aparatur administrasi publik yang berakibatkan kerugian bagi publik.
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik terdapat faktor yang menentukan antara lain dengan adanya derajat transparansi penerimaan yang dapat diukur dari peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi kepentingan publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan kepada para warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya serta kesiapannya untuk menjalankan.<ref>{{cite web|url=http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050577/jurnal-akuntansi-pemerintah/pewujudan-transparansi-dan-akuntabilitas-publik-melalui-akuntansi-sektor-publik/akuntansi-sektor-publik.html|title=Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik|website=[[Departemen Keuangan]]|url-status=dead|archive-url=https://web.archive.org/web/20090630001431/http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050577/jurnal-akuntansi-pemerintah/pewujudan-transparansi-dan-akuntabilitas-publik-melalui-akuntansi-sektor-publik/akuntansi-sektor-publik.html|archive-date=30 Juni 2009}}</ref>
 
== Lihat pula ==
Baris 60 ⟶ 98:
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Pranala luar ==
{{wikisource|Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1950/KUP|Kantor Urusan KepegawaianPegawai (KUP)}}
{{wikisource|Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009|Pelayanan publikPublik}}
* {{nl}} {{cite book | first=H. W. | last=van den Doel | coauthors= | title=De stille macht: het Europese binnenlands bestuur op Java en Madoera, 1808-1942 | publisher=University of Michigan | year= | isbn=9035114051 }}
* {{nl}} {{cite book | first= | last=Dutch East Indies | coauthors= G. A. N. Scheltema de Heere | title=Staatsblad van Nederlandsch-Indië | publisher=A.D. Schinkel | year=1896 | isbn= }}
* {{en}} {{cite book | first=Max | last=Weber | coauthors=A.M. Henderson and Talcott Parsons | title=The Theory of Social and Economic Organization | publisher=Collier Macmillan Publishers, London | year=1947 | isbn=}}
* {{en}} {{cite book | first=Gordon | last=Marshall | coauthors=Diane L. Barthel | title=The Concise Oxford dictionary of sociology | url=https://archive.org/details/concisedictionar00mars|publisher=Oxford University Press | year=1994 | isbn=019285237X}}
* {{en}} {{cite book | first=James Q. | last=Wilson | coauthors= | title=Bureaucracy: what government agencies do and why they do it | url=https://archive.org/details/bureaucracywhatg00wils|publisher=Basic Books | year=1989 | isbn=0465007848}}
 
== Pustaka ==
{{indo-stub}}
* {{en}} Yannis Papadopoulos, Governance And Democracy: Comparing National European And International Experiences, Routledge (2006) ISBN 978-0-415-36291-7
* {{en}} Vivien A Schmidt, Democracy in Europe: The Eu and National Polities, Oxford University Press (2006), ISBN 0-19-926698-0
 
[[Kategori{{DEFAULTSORT:Politik di Indonesia]]}}
[[Kategori:Politik Indonesia]]
[[Kategori:Pemerintahan Indonesia]]
[[Kategori:Administrasi publik]]
[[Kategori:Pemerintahan]]
 
Pelayanan publik