Jembatan Duwet: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k clean up |
||
Baris 46:
== Sejarah ==
Jembatan Duwet atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah “Kretek Gantung” (Jembatan Gantung) dibangun pada tahun 1930 dan terletak di wilayah Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Jembatan Duwet merupakan penghubung antara dua wilayah yang dipisahkan oleh sungai Progo yaitu wilayah Banjarharja, Kalibawang, Kulon Progo, D.I. Yogyakarta dengan wilayah Ngluwar, Kabupaten Magelang. Tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda, Jembatan Duwet juga memiliki nilai historisnya tersendiri. Jembatan Duwet menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya di antaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III). Sementara itu pihak Belanda mengatur strategi dengan mengadakan aksi gerakan pembersihan di desa-desa yang dianggap sebagai kubu-kubu pertahanan gerilyawan. Aksi tersebut dilancarkan terus-menerus sehingga membuat rakyat merasa tidak aman dan nyaman. Gerakan Belanda yang bergerak dari arah timur juga memaksa rakyat berbondong-bondong mengungsi ke arah barat dan membaur dengan para pejuang lainnya.
Baris 68:
== Keistimewaan ==
Jembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, menghubungkan warga antar provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan tua beralas kayu tersebut, masih berfungsi dan dimanfaatkan sebagai arus lalu lintas dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan peternakan warga.
Adalah Jembatan Duwet yang biasa disebut Kretek Gantung (Jembatan Gantung), letaknya di perbatasan dua provinsi, yakni Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Baris 84:
Diketahui, pada musim hujan tahun ini, jembatan gantung sebagai penghubung wilayah antara Jawa Tengah (Bligo, Ngluwar, Magelang) dengan Kalibawang, Kulon Progo, mengalami longsor di area barat (Kalibangan) yang berakibat fondasi ambrol. Untuk mencegah oleh air hujan, tanah ditutup menggunakan terpal.
Jembatan gantung Duwet, terdapat utas kabel besar melengkung di atas dan selasar jembatan bergantungan kepada dua kabel tersebut melalui kawat-kawat yang lebih kecil. Di kiri-kanan selasar terdapat pagar besi dengan konstruksi sederhana, dinding jembatan menggunakan kawat kasa di sisi luar.
Aliran air Sungai Progo yang deras karena berhulu dari Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, dan melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, air pada musim penghujan yang mengalir deras berwarna keruh di antara dinding-dinding batuan sungai bawah jembatan yang diapit oleh tebing dalam dan curam.
Baris 90:
Lewat jembatan Gantung Duwet, direkomendasikan pada sore hari, ketika senja bertengger di atas deretan bukit Menoreh, sembari menikmati sawah hijau di wilayah Desa Bligo (sisi timur Sungai Progo), sambil menelusuri Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo di bendung Ancol, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Sumber sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyebutkan, jembatan Gantung Duwet, masuk bangunan cagar budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda. Jembatan Duwet juga memiliki nilai historis tersendiri, karena menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota, sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya diantaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III).
Baris 98:
Kala itu, rakyat yang memutuskan mengungsi ke arah barat kemudian segera melakukan pergerakan melintasi Sungai Progo, dan menyebar ke berbagai daerah di sebelah barat Sungai Progo. Kemudian melakukan sabotase terhadap Jembatan Duwet, dengan cara memotong tali jembatan agar belanda tidak bisa melintas.
Jembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, menghubungkan warga antar provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan tua beralas kayu tersebut, masih berfungsi dan dimanfaatkan sebagai arus lalu lintas dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan peternakan warga.
Adalah Jembatan Duwet yang biasa disebut Kretek Gantung (Jembatan Gantung), letaknya di perbatasan dua provinsi, yakni Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Baris 114:
Diketahui, pada musim hujan tahun ini, jembatan gantung sebagai penghubung wilayah antara Jawa Tengah (Bligo, Ngluwar, Magelang) dengan Kalibawang, Kulon Progo, mengalami longsor di area barat (Kalibangan) yang berakibat fondasi ambrol. Untuk mencegah oleh air hujan, tanah ditutup menggunakan terpal.
Jembatan gantung Duwet, terdapat utas kabel besar melengkung di atas dan selasar jembatan bergantungan kepada dua kabel tersebut melalui kawat-kawat yang lebih kecil. Di kiri-kanan selasar terdapat pagar besi dengan konstruksi sederhana, dinding jembatan menggunakan kawat kasa di sisi luar.
Aliran air Sungai Progo yang deras karena berhulu dari Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, dan melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, air pada musim penghujan yang mengalir deras berwarna keruh di antara dinding-dinding batuan sungai bawah jembatan yang diapit oleh tebing dalam dan curam.
Baris 120:
Lewat jembatan Gantung Duwet, direkomendasikan pada sore hari, ketika senja bertengger di atas deretan bukit Menoreh, sembari menikmati sawah hijau di wilayah Desa Bligo (sisi timur Sungai Progo), sambil menelusuri Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo di bendung Ancol, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Sumber sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyebutkan, jembatan Gantung Duwet, masuk bangunan cagar budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda. Jembatan Duwet juga memiliki nilai historis tersendiri, karena menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota, sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya diantaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III).
|