Ngayau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Spartanica~idwiki (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
UluhKota (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(60 revisi perantara oleh 26 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{tanpa_kategoriwikify|date=2010}}
{{Untuk|desa di Kalimantan Timur|Ngayau, Muara Bengkal, Kutai Timur}}
{{rapikan}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Ibu Dajak krijger uit Long Nawan Z. en O. afdeling Borneo. TMnr 60034031.jpg|jmpl|250px|Temenggong Koh Anak Jubang (kiri) panglima perang dari suku [[Suku Dayak Iban|Dayak Iban]] dengan kepala musuh di belakangnya.<ref>{{Cite web|last=Seng|first=Alan Teh Leam|date=2018-06-03|title=The greatest Dayak leader {{!}} New Straits Times|url=https://www.nst.com.my/lifestyle/sunday-vibes/2018/06/376156/greatest-dayak-leader|website=NST Online|language=en|access-date=2023-12-20}}</ref>]]
{{tanpa_referensi|date=2010}}
'''Ngayau''' merupakan tradisiritual [[Pemburuan kepala]] oleh [[Suku Dayak]] yang mendiami [[pulau Kalimantan]], baik Dayak yang tinggal di [[Kalimantan Barat]] maupun Kalimantan lainnya. IbanPada danpraktik KenyahNgayau adalahyang duasesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari sukukorban Dayakkepala yangmanusia memilikidari adatpihak Ngayaumusuh. PadaCitra tradisiyang Ngayaupaling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang sesungguhnyaberkaitan dengan berburu kepala. Karya [[Carl Bock]], Ngayau''The tidakHead lepasHunters dariof korbanBorneo'' kepalayang manusiaditerbitkan daridi pihak[[Inggris]] musuhpada tahun [[1882]] banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.{{sfn|Bock|1882}}
Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala” (Saunders, 1993:23).
 
Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk komplekskomplek perilaku sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.{{sfn|Aloy|2019}}{{sfn|Bock|1882}}
Dalam tradisi orang Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau dari kata “kayau” atau “kayo'; yang artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala, Ngayau adalah orang yang mencari kepala.
Tradisi Ngayau pertama kali urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang (kayangan) yang saat itu sebagai tuai rumah (kepala kampung) yang bernama Keling. Berkat keberaniannya dan kegagahannya dia diberi gelar Keling Gerasi Nading, Bujang Berani Kempang (keling merupakan orang yang gagah berani). Gelar tersebut diberikan oleh seseorang tetua Iban yang bernama Merdan Tuai Iban yang saat itu tinggal di Tatai Bandam (masuk dalam wilayah Lubuk Antu Sarawak Malaysia).
Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk kompleks perilaku sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.
 
== Tradisi Dayak Ngaju ==
Bagi suku Dayak Ngaju di KalTeng, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203).
MenurutBagi Lebar[[suku (1972Dayak :Ngaju]] 171)di [[Kalimantan Tengah]], dikalangantradisi mengayau dilakukan untuk kepentingan upacara [[Tiwah]], yaitu upacara sakral besar dalam agama Kaharingan yang tujuannya untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh. Di kalangan masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang. Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus.. Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. DiPada masa lalu Suku Dayak KenyahIban dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan. Suku Dayak Iban melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang.{{sfn|Aloy|2019|p=39-41}}
 
== Keyakinan suku Dayak ==
Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 : 184).
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak penganut agama [[Kaharingan]], tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia, dan di masa lalu kepala hasil berburu Ngayau digunakan sebagai kurban dalam upacara [[Tiwah]], Wara, Dallo, [[Kwangkey]], dan sebagainya. SebuahDipercaya bahwa sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.
Bagi Suku Dayak Iban di KalBar, Ngayau merupakan tradisi pada masa dahulu yang melambangkan keperkasaan seorang lelaki Iban. Bagi lelaki Iban yang berhasil memperoleh banyak kepala dalam suatu perburuan kepala akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita Iban. Tradisi ini juga berlaku sebagai suatu proses persetujuan melawar/meminang seorang perempuan Dayak. Sebelum pinangannya diterima oleh pihak keluarga perempuan, calon pria dengan batas waktu yang ditentukan oleh pihak keluarga perempuan diharuskan untuk berburu kepala. Bila dalam batas waktu tersebut si pria berhasil membawa kepala maka pinangannya diterima. Hal ini merupakan suatu jaminan dan kepercayaan bahwa si pria tersebut akan mampu menjaga keselamatan wanita yang dikawininya.
Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih boleh dipersoalkan. Hal ini dikarenakan menurut cerita lisan masyarakat Iban di rumah-rumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai aktivitas memburu kepala. Oleh karena itu aktivitas ngayau bukan saja untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan suatu kelompok, paling tepat kalau dikatakan bahwa, aktivitas "Ngayau" dijalankan adalah untuk mendapat penghormatan pada mata masyarakat. Dalam arti kata lain, "ngayau" juga berperanan untuk menaikan taraf sosial seseorang maupun kelompoknya. Orang yang pernah memperolehi kepala dalam aktivitis "ngayau" yang disertainya akan digelar sebagai "Bujang Berani", serta dikaitkan dengan hal-hal sakti.
 
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepalaKepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.{{sfn|Maunati|2004}}
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.
Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.
 
== Alegori Dayak Iban ==
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Dalam kajiannya tentang [[Suku Dayak Iban]], Freeman mengatakan (1979bahwa :berburu 234),kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala. puncakPuncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.
 
== Ngayau dalam tradisi Suku Lain ==
Dalam kajiannya tentang suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala.
Memang tidakTidak semua suku Dayak yangdi Kalimantan menerapkan tradisiTradisi Ngayau,.{{sfn|Bock|1882}}{{sfn|Aloy|2019}} sepertiSeperti sukuhalnya [[Suku Dayak Maanyan]] dan [[Suku Dayak Meratus.]], Merekadalam adat mereka tidak mengenalada tradisiistilah Ngayau, namun menurutberdasarkan cerita lisan para tetuha adat mereka, padaketika saatterjadi perang waktu jaman dulu para ksatria-ksatria Dayak MeratusMaanyan dan Dayak MaanyanMeratus ketikapada saat berperang kepala pimpinan musuhnyamusuh yang menjadidijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinanpimpinannya musuhberhasil mereka sudah dipenggalpenggal, maka para prajuritnya akan segera menyerah dan bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuhnya yang sudah dipenggalmusuh tersebut bukan untuksebagai pelengkap ritual-ritual adat sepertisebagaimana yang dilakukan olehsuku Dayak Kenyah, Iban, dan Ngaju., Kepala musuhnyakepala tersebut tetap akan dikuburkan bersama badannya. Kesimpulannya,Meskipun meskipun orangsuku Dayak Meratus dan orang Dayak Maanyan tidak adamenerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun bagi mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia tetap memiliki makna yangarti penting, yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) daridi tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.{{sfn|Bock|1882}}
Freeman mengatakan (1979 : 234), puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.
 
Seorang Dayak yang akan berangkat mengayau tidak terlalu menggantungkan kemampuannya pada kemampuan senjatanya, tetapi pada kekuatan jiwa untuk mencapai tujuannya. Pusat kekuatan jiwa terdapat di kepala manusia hasil kayauan.{{sfn|Aloy|2019|p=35}}
Pada masa kolonial Belanda, seorang perwira Zei dari tentara Napoleon I bernama George Muller yang masuk dalam Pamongpraja Hindia Belanda mendapat tugas melakukan hubungan dengan pihak raja-raja di pesisir Borneo, selain itu ia juga bertugas menyebarkan agama Kristen di sana. Konon perwira ini tewas karena Ngayau oleh suku Dayak di sana tepatnya di Jeram Bakang-Sungai Bungan sekitar Nopember 1825, yang kemudian namanya di abadikan menjadi nama sebuah pegunungan yang membatasi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, yaitu Pegunungan Muller.
Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Musyawrah tsb dikenal dengan PERJANJIAN TUMBANG ANOI. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tsb segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.
Memang tidak semua suku Dayak yang menerapkan tradisi Ngayau, seperti suku Dayak Maanyan dan Dayak Meratus. Mereka tidak mengenal tradisi Ngayau, namun menurut cerita lisan para tetuha adat mereka, pada saat perang waktu jaman dulu para ksatria-ksatria Dayak Meratus dan Dayak Maanyan ketika berperang kepala pimpinan musuhnya yang menjadi target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinan musuh mereka sudah dipenggal maka para prajuritnya akan segera menyerah dan bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuhnya yang sudah dipenggal tersebut bukan untuk pelengkap ritual-ritual adat seperti yang dilakukan oleh Dayak Kenyah, Iban, dan Ngaju. Kepala musuhnya tersebut tetap akan dikuburkan bersama badannya. Kesimpulannya, meskipun orang Dayak Meratus dan orang Dayak Maanyan tidak ada tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun bagi mereka kepala manusia tetap memiliki makna yang penting, yaitu kepala bagian paling atas (tinggi) dari tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
 
== Perjanjian Tumbang Anoi ==
Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisa yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan.
{{main|Perjanjian Tumbang Anoi}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gezicht vanaf de Kahajan rivier op de Dajak kampong Toembanganoi Midden-Borneo. TMnr 60010391.jpg|jmpl|ka|250px|Kampung Tumbang Anoi (tempo dulu) di sungai Kahayan]]
Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas [[Suku Dayak|Dayak]] adalah semasa pemerintahan [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]] berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874[[1894]] [[Damang Batu]] (Kepala Suku [[Dayak Kahayan]]) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. MusyawrahMusyawarah tsbtersebut dikenal dengan PERJANJIAN[[Rapat TUMBANGDamai ANOITumbang Anoi|Perjanjian Tumbang Anoi]]. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat [[Suku Dayak|Dayak]] di seluruh [[Kalimantan]] mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara [[suku Dayak]]. Akhirnya, dalam musyawarah tsbtersebut segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat [[Suku Dayak|Dayak]].
 
[[Rapat Damai Tumbang Anoi|Pertemuan Tumbang Anoi]] diprakarsai oleh pemerintah [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]]. Mereka merasa tidak nyaman waktu mulai masuk [[Kalimantan|Pulau Borneo]], karena berada dalam keadaan yang sangat rawan, terutama di pedalaman karena sering terjadi pengayauan di antara [[Suku Dayak|suku-suku Dayak]].{{sfn|Aloy|2019|p=37}}
 
Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisaanalisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda [[Kalimantan Barat]] dan [[Kalimantan Tengah]] beberapa tahun yang lalu.{{sfn|Maunati|2004}}
* Tumanggung Arga Sandipa Batangga Amas (TASBA)
 
== Konflik Sampit ==
{{Main|Konflik Sampit}}
[[Berkas:Ngayau sampit.jpg|thumb|200px|Praktik Ngayau dilakukan kembali selama Konflik Sampit.]]
Saat [[Konflik Sampit]] meletus pada [[2001]], praktik Ngayau dimunculkan kembali dengan target orang-orang dari [[suku Madura]].<ref name=cnn>{{cite news|url=http://edition.cnn.com/SPECIALS/2001/kalimantan/feature.html|publisher=CNN|accessdate=2008-08-13|title=Kalimantan's Agony: The failure of Transmigrasi|archiveurl=https://web.archive.org/web/20080531082101/http://edition.cnn.com/SPECIALS/2001/kalimantan/feature.html|archivedate=2008-05-31|dead-url=no}}</ref> Setidaknya terdapat 100 orang yang dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini.<ref>{{cite news|publisher=Time|accessdate=2008-08-13|url=http://www.time.com/time/world/article/0,8599,101389,00.html|title=The Darkest Season|date=March 5, 2001|author=Elegant, Simon|archive-date=2012-10-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20121025114805/http://www.time.com/time/world/article/0,8599,101389,00.html|dead-url=yes}}</ref>
 
Peristiwa ini juga menarik perhatian media massa ketika itu. Karena praktik ini telah dinyatakan punah sejak berlakunya Perjanjian Tumbang Anoi. Tragedi ini membuat orang-orang percaya bahwa praktik Ngayau belum sepenuhnya punah.<ref>{{cite news|publisher=BBC|title=Beheading: A Dayak ritual|date=February 23, 2001|accessdate=2008-08-13|url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/1186401.stm}}</ref>
 
== Referensi ==
;Catatan kaki
{{reflist}}
;Daftar pustaka
{{refbegin|2}}
* {{cite book
|last = Bock
|first = Carl
|isbn =
|year = 1882
|url = http://archive.org/stream/headhuntersborn00bockgoog#page/n12/mode/2up
|title = The head hunters of Borneo; a narrative of travel up the Mahakkam and down the Barito; also, Journeyings in Sumatra
|location = London
|publisher = Sampson Low, Marston, Searle, & Rivington
|ref = harv
}}
* {{cite book
|last = Maunati
|first = Yekti
|isbn =
|year = 2004
|title = Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan
|location = Yogyakarta
|publisher = Lkis
|ref = harv
}}
* {{cite book
|last = Laksono
|first = P.M. ''et al.''
|isbn =
|year = 2006
|title = Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut
|location = Yogyakarta
|publisher = Galangpress
|ref = harv
}}
* {{cite book
|last = Aloy
|first = Aloysius
|isbn = 978-623-241-007-7
|year = 2019
|title = Semangat Dayak: Catatan Perjuangan Politik Partai Persatuan Dayak (1945-1963)
|location = Jakarta
|publisher = Penerbit Buku Kompas
|ref = harv
}}
{{refend}}
 
[[Kategori:Dayak]]