Dharmawangsa Teguh Anantawikrama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Sepa~idwiki (bicara | kontrib)
added link to the English article
k Ariandi Lie memindahkan halaman Dharmawangsa Teguh ke Dharmawangsa Teguh Anantawikrama
 
(132 revisi perantara oleh 45 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{kegunaanlain|Dharma}}
'''Dharmawangsa''', adalah raja terakhir [[Kerajaan Medang]] (985-1006), pengganti dari [[Sri Makutawangsawardhana]]. Dharmawangsa dikenal sebagai ''patron'' penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, ''Caritha Parahyangan'' ditulis dalam [[Bahasa Sunda]], yang menceritakan raja-raja Mataram.
{{Infobox royalty
[[en:|name = Dharmawangsa]] Teguh
|title = Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa
|succession = Raja Medang ke-20 (Terakhir)
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|predecessor = [[Makutawangsawardhana]]
|father = [[Makutawangsawardhana]]
|issue = *Putri Galuh Sekar, istri [[Airlangga]]
*Istri [[Sri Jayabhupati]]
|reign = 991 - 1016
|birth_name = Wijayamretawardhana
|religion = [[Hindu]]
|regnal name = Śrī Mahārāja Īśāna Dharmmawaṅsa Teguh Anantawikramotunggadewa
}}
 
'''Dharmawangsa Teguh''' disebut juga dengan '''Dharmawangsa''' adalah raja terakhir [[Kerajaan Medang]] ''Periode Jawa Timur'' dengan bergelar nama ''abhiseka'' '''Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa'''. Pada saat masa pemerintahannya Dharmawangsa mengadakan serangan ke [[Sriwijaya]]. Ia memerintah [[Medang]] pada tahun [[991]]-[[1016]].
Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk [[Bali]] dan mendirikan koloni di [[Kalimantan Barat]]. Saudara perempuan Dharmawangsa, [[Mahendradatta]], menikah dengan Raja [[Dinasti Warmadewa]] di Bali, [[Udayana]]. Selama beberapa periode, Bali mendapat pengaruh kuat atas Jawa.
 
== Sejarah ==
Tahun [[990]], Dharmawangsa mengadakan serangan ke [[Kerajaan Sriwijaya|Sriwijaya]] dan mencoba merebut Palembang, namun gagal. Serangan Dharmawangsa membuat raja Sriwijaya [[Chulamaniwarmadewa]] mengirim utusan ke Cina untuk meminta proteksi. Pada tahun [[1006]], Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan.
[[Prasasti Pucangan]] yang dikeluarkan tahun 1041 oleh raja bernama [[Airlangga]] menyebutkan bahwa dirinya merupakan anggota keluarga dari '''Dharmawangsa Teguh'''. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan [[Mahendradatta]] dengan [[Udayana]] raja [[Bali]] dari [[wangsa Warmadewa]] adapun Mahendradatta adalah putri [[Makuthawangsawardhana]] dari [[wangsa Isyana]]. Airlangga kemudian turut menjadi menantu Dharmawangsa setelah menikah dengan putrinya. '''Dharmawangsa Teguh''' juga memiliki putri lain yang diperistri oleh [[Sri Jayabhupati]] dari [[Kerajaan Sunda]].
 
Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa Teguh sebagai putra [[Makuthawangsawardhana]]. Teori ini diperkuat oleh [[Prasasti Sirah Keting]] yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota [[Wangsa Isyana]].
[[Airlangga]], putera Mahendradatta yang masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak akan menjadi raja pertama [[Kerajaan Kahuripan]], suksesor Mataram Kuno dan Medang.
 
Kesimpulannya adalah [[Makuthawangsawardhana]] memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa.
==Lihat pula==
*[[Mahendradatta]] menjadi permaisuri raja [[Udayana]] di [[Bali]] dan melahirkan:
* [[Kerajaan Medang]]
**[[Airlangga]].
*Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan [[Makuthawangsawardhana]] sebagai raja [[Kerajaan Medang]]. Dharmawangsa mempunyai dua putri, yaitu:
**Istri [[Airlangga]]. Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Airlangga menjadi raja [[Kahuripan|Medang-Kahuripan]], yang berkuasa tahun 1019-1042.
**Istri [[Sri Jayabhupati]]. raja [[kerajaan sunda]] ke-20, yang berkuasa tahun 1030-1042.
 
[[Prasasti Sirah Keting]] juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu ''Wijayamreta Wardhana''.
 
Selain [[Prasasti Pucangan]] dan [[Prasasti Sirah Keting]], nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah [[Mahabharata]] [[bahasa Jawa Kuno]], pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Juga [[Prasasti Kawambang Kulwan]] tahun 992. Prasasti ini diterjemahkan oleh [[J.L.A. Brandes]], walaupun hanya 12 baris bagian awal pada sisi depan, yang diduga dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang. Yang isinya merupakan penetapan wilayah [[sima]] di desa Kawambang Kulwan (kulon) yang berupa ''sima swatantra'' dari ''Sri Maharaja'' yang diteruskan oleh ''Pu Dharmmasanggramawikranta'' dan diterima oleh ''[[Samgat]] Kanuruhan Pu Burung'' tentang pendirian bangunan suci untuk dewa [[Siwa]] dan adanya ajaran ''kitab Siwasasana''.
 
== Menyerang Sriwijaya ==
[[Berita Tiongkok]] dari [[Dinasti Song]] menyebut [[Kerajaan Sriwijaya]] di [[Sumatra]] dengan nama ''San-fo-tsi'', sedangkan [[Kerajaan Medang]] di [[Jawa]] dengan nama ''Cho-po'' atau ''She-po''.
 
Dikisahkan bahwa, ''San-fo-tsi'' dan ''Cho-po'' terlibat persaingan untuk menguasai jalur perdagangan [[Asia Tenggara]]. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke [[Tiongkok]]. Utusan ''San-fo-tsi'' yang berangkat tahun [[988]] tertahan di pelabuhan [[Kanton]] ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara ''Cho-po'' (Jawa).
 
Pada musim semi tahun [[992]] duta ''San-fo-tsi'' tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di [[Champa]] disebabkan negerinya masih belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa ''San-fo-tsi'' berada dalam perlindungan Tiongkok.
 
Utusan ''Cho-po'' juga tiba di Tiongkok tahun [[992]]. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun [[991]]. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan demikian, dari berita Tiongkok tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun [[991]].
 
Kerajaan Medang berhasil menguasai [[Kota Palembang|Palembang]] tahun [[992]], tetapi pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh tentara [[Sriwijaya]]. [[Prasasti Hujung Langit]] tahun [[997]] kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera.
 
== Keruntuhan Medang ==
Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran [[Kerajaan Medang]] yang dikenal dengan sebutan ''Mahapralaya'' atau '''Kematian Besar'''.
 
Diceritakan '''Dharmawangsa Teguh''' menikahkan putrinya dengan seorang pangeran berdarah [[Jawa]]-[[Bali]] yang baru berusia 16 tahun, bernama [[Airlangga]]. Di tengah keramaian tersebut, beserta keluarga raja yang tenggelam dalam kemewahan pesta, tiba-tiba istana diserang pasukan A'''ji Wurawari''' dari '''[[Ngloram, Cepu, Blora|Lwaram]]''' seorang vasal kerajaan Medang. Serangan bagai air bah yang mematikan tersebut benar-benar menenggelamkan [[Medang]] dalam kehancuran, mengakibatkan istana Dharmawangsa yang terletak di kota '''Wwatan''' hangus terbakar. Dharmawangsa Teguh sendiri dan seluruh kerabat raja tewas dalam serangan tersebut, sedangkan [[Airlangga]] yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa lolos dari maut, dengan ditemani Patihnya yaitu Mahapatih [[Mpu Narotama]].
 
kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota '''[[Simbatan, Nguntoronadi, Magetan|Wwatan]]''' di bawah tekanan pemberontak Lwaram mengakhiri kerajaan [[Medang]] dan membuatnya jatuh dalam situasi kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.
 
Tiga tahun kemudian [[Airlangga]] tampil dengan dukungan dari para pendeta dan permintaan rakyat [[Medang]] dirinya membangun sebuah istana baru di '''[[Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto|Watan Mas]]''' serta mendirikan kerajaan baru, [[Kahuripan]], sebagai penerus takhta mertuanya. Keturunan Dharmawangsa yang lain, menurut [[Prasasti Sirah Keting]], yaitu [[Sri Jayawarsa]] disebut juga [[Sri Digjaya Resi]], membangun kembali ibukota '''Wwatan''' dan menjadi penguasanya dengan gelar '''Sri Jayawarsa Digjaya Sasastraprabhu''', diperkuat juga dengan [[Prasasti Mruwak]] (1186) dan [[Prasasti Pamotoh]] II (1198). Dari [[Prasasti Pucangan]] diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di '''[[Tembelang, Jombang|Tamwlang]]''', dan kemudian pindah ke '''[[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]]''' menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di Desa tembelang daerah [[Jombang]] sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Simbatan Nguntoronadi perbatasan [[Madiun]] - [[Magetan]] ,sedangkan Watan Mas terletak di Desa Wotan Mas ,Kecamatan Ngoro dekat sekitar [[Gunung Penanggungan]].
 
Mengenai alasan '''Raja Wurawari''' membunuh Dharmawangsa Teguh terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yang saat ini berada di museum [[Kolkata]], [[India]] melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana '''Watan Mas'''. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat ''Suryasengkala'' yaitu ''Locana agni vadane'' sedangkan golongan kedua membacanya ''Sasalancana abdi vadane''. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana '''Wwatan''' atau kematian raja Dharmawangsa Teguh terjadi pada tahun [[1007]], sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi pada tahun [[1016]].
 
== Catatan ==
Istilah [[Haji]] dalam [[bahasa Jawa Kuno]] bermakna “raja bawahan”.
 
== Kepustakaan ==
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* Slamet Muljana. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
 
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=Raja Medang ([[Dinasti Isyana]])|tahun=985—985991–1016|pendahulu=[[Sri MakutawangsawardhanaMakuthawangsawardhana]]|pengganti=-[[Airlangga]]}}
{{kotak selesai}}
 
[[Kategori: Raja Medang]]
[[Kategori: Kerajaan Medang]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
 
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
 
[[Kategori:Wangsa Isyana]]
[[en:Dharmawangsa]]
[[Kategori:Tokoh Hindu]]