Hutan jati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wie146 (bicara | kontrib)
k →‎Rujukan: del cat
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: +{{Authority control}}
 
(13 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:BNG 050309 038 resize.jpg|thumbjmpl|Hutan jati di Bojonegoro, Jawa Timur]]
'''Hutan jati''' adalah sejenis [[hutan]] yang dominan ditumbuhi oleh [[pohon]] [[jati (pohon)|jati]] (''Tectona grandis''). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di [[Jawa]]. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau [[Muna]], [[Sumbawa]], [[Flores]] dan lain-lain.
 
Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di [[Indonesia]], dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.
 
Jati== jawa, asliAsli atau introduksi? ==
Para ahli (altona, 1922; Charles, 1960) menduga bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India pada akhir zaman hindu (awal abad X1V, hingga awal abad XVI). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999).
HipotesaHipotesis introduksi jati dari india ke jawa sudah barang tentu sulit dihindari, mengingat sifat kayunya yang sejak ratusan tahun sangat dikenal, sehingga sudah barang tentu manusia sangat berperanan penting terutama dalam penyebarannya yang terbaru. Padahal menurut Peluso (1991), ketika pedagang belanda mendarat di jawa pada pertengahan abad XVII, mereka mendapati tegakan jati campuran atau bahkan tegakan jati hampir murni yang terbentang beratus-ratus kilometer di bagian tengah pulau jawa. Bila hipotesahipotesis introduksi jati dari india dibenarkan, maka introduksi tersebut telah berlangsung pada zaman yang lebih kuno, paling tidak sekitar abad VI, yakni ketika pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung sangat kuat. Namun tidak ada catatan sejarah yang menguatkan dugaan itu. Dipihak lain hipotesahipotesis introduksi jati dari India ke Jawa juga menimbulkan pertanyaan yang sulit dijawab terutama tentang diketemukannya populasi jati alam di beberapa pulau terpencil di Indonesia seperti di Madura, Muna, dan ketidakhadirannya di pulau pulau lain selain di jawa padahal pulau - pulau tersebut (Sumatera misalnya) juga berperan penting dalam jalur migrasi manusia antara India, Thailand, Kambodia, China, Jepang. Berdasar itu Gartner (1956) meragukan hipotesahipotesis Altona, demikian pula Troup (1921) yang cenderung mengganggap bahwa keberadaan jati di Jawa dan beberapa pulau di indonesia adalah alami.Penelitian Kertadikara (1992) yang mempelajari keragaman genetika beberapa populasi jati India, Jawa dan Thailand dengan menggunakan isoenzym serta data morfologi, menunjukkan bahwa populasi jati dari India memiliki struktur genetika sangat khas yang jauh berbeda dengan populasi jati Jawa dan Thailand. Sementara struktur genetika populasi jati Thailand lebih dekat dengan struktur genetika populasi jati Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama populasi jati India telah sejak lama terisolasi secara geografi dari populasi-populasijati lainnya. Kedua, bila hipotesahipotesis introduksi jati dari india ke Jawa dibenarkan, seharusnya akan terlihat kedekatan struktur genetika antara populasi Jawa dan India. Berdasar itu Kertadikara (1992)cenderung pada hipotesahipotesis migrasi alami jati dari pusat penyebaran alaminya di daratan asia tenggara (yang kemungkinan besar terletak di Myanmar), menggunakan pulau ke pulau yang menghubungkan daratan asia dengan kepulauan indonesia pada zaman pleistocene. Hubungan antra daratan asia dan kepulauan indonesia tersebut dimungkinkan akibat penurunan permukaan air laut sekitar 100 hingga 120 m lebih rendah dibanding permukaannnya sekarang. Sementara keberhasilan instalasi jati di jawa dan beberapa pulau lainnya tergantung sepenuhnya pada kebutuhan klimatik dan edafik, yang menyebabkan penyebaran alami jati bersifat terputus-putus.
 
== Sejarah Pengelolaan ==
Baris 13:
 
Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]]. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.
 
 
'''Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia'''
Baris 39 ⟶ 38:
Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.
 
DiPada masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi ([[hutan produksi]]), dengan beberapa perkecualian.
 
Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk [[hutan rakyat]], yang umumnya dibangun di atas [[tanah milik]] dan dikelola dalam bentuk [[wanatani]] (''agroforest'').
 
[[Berkas:BNG 050309 051 resize.jpg|thumbjmpl|leftkiri|230px|Hutan jati yang di''teres'', siap ditebang, di KPH Bojonegoro]]
Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut [[kawasan hutan negara]], di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh [[Perum Perhutani]]. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai [[taman nasional]] dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari [[hutan suaka alam]].
 
Baris 50 ⟶ 49:
Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.
 
Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah '''unit''' (kurang-lebih setingkat dengan propinsiprovinsi), '''kesatuan pemangkuan hutan''' (KPH, setingkat kabupaten), '''bagian KPH''' (BKPH, setingkat kecamatan), hingga '''resort pemangkuan hutan''' (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
 
Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan [[mahoni]] (''Swietenia'' spp.), hutan [[tusam]] (''Pinus merkusii''), hutan [[kayu putih]] (''Melaleuca leucadendron''), dan [[hutan lindung|hutan-hutan lindung]].
 
 
'''Kehancuran hutan jati di Jawa'''
 
Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektarhektare (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.
 
Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.
Baris 63 ⟶ 61:
Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.
 
Tahun,, Besar Kerugian
Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah //
Tahun 1999 : 3.179.973 Pohon , Rp.55.851.084.000 //
Tahun 2000 : 2.574.948 Pohon , Rp.569.757.232.000 //
Tahun 2001 : 2.675.161 Pohon , Rp.613.924.367.000 //
Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)
 
Baris 79 ⟶ 77:
Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.
 
Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekedarsekadar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.
 
Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.
 
 
'''Pengelolaan hutan jati oleh masyarakat'''
Baris 100 ⟶ 97:
 
== Lihat pula ==
* [[Jati (pohon)|Jati]] (''Tectona grandis'' L.F.)
 
== Rujukan ==
 
Altona, T. 1922. Teak and Hindoos. Origin of teak in Bodjonegoro (Java). Tectona, 15: 457-507.
 
Adib, Mohammad. 2015. “Think Smartly, Act Decisively, And Be Morally Noble: Improving The Good Character
Building In The Forest Management of Tuban Regency, East Java.” Dalam Proceeding: Social Conservation Bases on Nation Character Building. Iternational Conference on Education and Social Sciences. Semarang: May 13th. Hal. 233-242.
 
Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Baris 139:
Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
Whitten, T., Soeriaatmadja, R.E. Affiff, S.A. 1999. ''Ekologi Jawa dan Bali''. Hlm. 183 & 591.
{{Authority control}}
 
 
[[Kategori:Hutan]]