Warisan Tradisi Mataram: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rangga Suryo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
 
(14 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Oktober 2016}}
'''Surakarta''' atau yang terkenal dengan sebutan '''Solo'''adalah kota Kraton [[Mataram]] yang pindah akibat kraton lama di [[Kartasura]] sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah '''Njongkeng Kawibawan lan Keprabon'''. '''Solo''' dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi [[Mataram]]
 
Tradisi Mataram adalah ke khasan Style Mataram yang dipergunakan oleh para elite kerajaan yang kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Ke khasan itu mencakup di dalam nya budaya yang khas dalam mengelola kepemilikan dan dalam mengelola kekuasaan.''Warisan tradisi Mataram'' adalah warisan dari para pendahulu yang diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun.
 
'''Surakarta''' atau yang terkenal dengan sebutan '''Solo''' adalah kota Kraton [[Mataram]] yang pindah akibat kraton lama di [[Kartasura]] sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah '''Njongkeng Kawibawan lan Keprabon'''. '''Solo''' dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi [[Mataram]]
 
== Perjumpaan Kultur Belanda Dengan Jawa ==
 
Belanda mendapatkan apa yang diinginkan sehingga hak dan kewenangan untuk mengelola Mataram berada ditangannya setelah Sunan Mataram berhasil diperdaya menandatangani perjanjian. Inilah gaya Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di tanah Jawa.
 
Sebagai kekuatan dagang di Nusantara, Belanda memiliki seperangkat hak dan wewenang tidak ubahnya bagai sebuah negara yang hadir dalam percaturan kekuasaan di tanah Jawa untuk tujuan tujuan dagangnya. Belanda berhasil menancapkan pengaruh dan kemauannya atas raja raja sesudah Sultan Agung.
 
== Responsivitas Kultur Jawa ==
Baris 25 ⟶ 31:
== Perjumpaan Kultur ==
 
Style budaya Belanda yang berkaca Barat dalam perjumpaannya dengan style kultur Jawa yang berkaca Timur melahirkan suatu sintesasintesis Style baru yang kemudian diadopsi dan dilahirkan kembali menjadi [[Jawa]]. Bentukan dan wacana diri dari dua kultur menjadikan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan menyerap.Orang orang Belanda yang berkecimpung di lapangan pergaulan dengan [[Jawa]] menampakan style yang ke [[Jawa]] an bahkan dari mereka memiliki potensi dicintai orang Jawa lantaran style dan kebiasaan mereka melebihi orang jawa sendiri.Tidak mengherankan bahwa style kepura puraan yang menjadi tampilan untuk menjaga keselarasan umum untuk orang [[Belanda]] sudah bukan barang baru lagi.[[Belanda]] sangat mahir sekali dalam kepura puraan dalam menjalankan rencana globalnya menguasai setiap wilayah [[Jawa]].Sikap kepura puraan sebagai taklukan yang membikin penguasa Jawa melambung melayang layang penuh keagungan adalah sebuah contoh tersendiri bagi perjumpaan kultur ini.
 
[[Jawa]] tidak berbeda jauh, sikap sikap [[Belanda]] yang saklek dan main kuasa tanpa tersadari merembet jauh dalam peri kehidupan masyarakat [[Jawa]] dan para pemimpinnya sehingga dalam menunjukan kekuasaan dan keagungannya model model [[Belanda]] banyak yang diangkut dan di[[Jawa]]kan.Bentukan diri dan wacana lingkungan telah melahirkan kultur baru dalam masyarakat [[Jawa]] dan terwariskan pada generasi berikutnya.Hubungan emosional antara [[Jawa]] dengan [[Belanda]] telah melahirkan elite elite baru kebudayaan yang kelak kemudian hari menjadi model bagi penguasa di bumi Nusantara/indonesia.
Baris 39 ⟶ 45:
'''2. Jawa Yogyakarta'''
 
Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi jamanzaman baru pasca permufakatan di Giyanti seolah olah membendung kultur kultur baru yang masuk tetapi beberapa yang menjadikan kebanggaan dan spirit diadopsinya juga kedalam ke[[Jawa]]annya semisal model berpakaian dan pengguntingan rambut menjadi pendek (walaupun masih ada pula yang tetap membiarkan rambutnya panjang).
Paku Alaman di Yogyakarta condong meniru gaya Surakarta untuk melakukan adopsi adopsi baru yang kemudian sebagai pembentukan pribadi [[Jawa]] melahirkan keberbedaan dengan Kasultanan dalam wujud luar.
 
'''3. KonggresKongres Kebudayaan Jawa'''
 
Kebudayaan tidak bakalan tunduk kepada kekuasaan atau juga bujuk rayu imbalan material, demikian juga yang namanya kebudayaan [[Jawa]].Pangeran [[Mangkunegara VII]] untuk kebangkitan kebudayaan [[Jawa]] bersedia memprakarsai diselenggarakannya konggreskongres kebudayaan jawa yang berlangsung di Surakarta.
 
'''4. Kebudayaan Yang Integral'''
Baris 61 ⟶ 67:
 
* Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
 
* Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
 
* Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
 
* Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
 
* Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
 
* Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
* Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
 
[[Kategori:Sejarah Budaya Jawa]]
[[Kategori:Mangkunegaran]]