Soedirman: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(412 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{redirect|Sudirman|tokoh lainnya|Sudirman (disambiguasi)}}
{{Infobox military person
| honorific_prefix = [[Raden]]
| name = Soedirman
| honorific_suffix =
| image = Sudirman.jpg
| caption = Soedirman, dari sampul majalah ''Perewira'', {{circa|Oktober 1950}}
| alt = Foto hitam putih Soedirman berpakaian jas dan memakai peci hitam
| birth_date = {{birth date|df=yes|1916|01|24}}{{efn|name=A}}
| death_date = {{death date and age|1950|01|29|1916|01|24|df=yes}}
| birth_place = [[Purbalingga]], [[Hindia Belanda]]
| death_place = [[Magelang]], [[Republik Indonesia Serikat|Indonesia]]
| placeofburial = [[Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara|Taman Makam Pahlawan Semaki]]
| placeofburial_label =
| placeofburial_coordinates ={{coord|7|48|9.88|S|110|23|2.11|E|region:ID|display=inline}}
| allegiance = {{bulleted list|{{flag|Kekaisaran Jepang}} (1944–1945)|{{flag|Indonesia}} (1945–1950)}}
| branch = {{bulleted list|{{flagicon image|Flag of PETA (Pembela Tanah Air).svg}} [[Pembela Tanah Air|PETA]] (1944—1945)|{{flagicon image|Flag of the Indonesian Army.svg}} [[TNI Angkatan Darat]] (1945—1950)}}
| serviceyears = 1944–1950
| rank = {{bulleted list|[[File:21-TNI Army-LG.svg|25px| ]] [[Letnan Jenderal]] (saat kematian)|[[File:22-TNI Army-GEN.svg|25px| ]] [[Jenderal]] (Anumerta, 1950)|[[File:23-TNI Army-GA.svg|25px| ]] [[Jenderal Besar]] (Anumerta, 1997)}}
| servicenumber =
| unit =
| commands = {{bulleted list|Batalion [[Pembela Tanah Air|PETA]], [[Banyumas]]|Divisi Ke-5 [[Tentara Nasional Indonesia|TKR]], Banyumas|[[Panglima TNI#Panglima TNI|Panglima Besar]] dari TKR dan kemudian TNI}}
| battles = [[Perang Dunia II]]{{br}}[[Revolusi Nasional Indonesia]]{{tree list}}
**[[Pertempuran Ambarawa]]
**[[Agresi Militer Belanda I|Operasi Produk]]
**[[Pemberontakan PKI 1948]]
**[[Serangan Umum 1 Maret 1949]]
| battles_label =
| awards = [[Pahlawan Nasional Indonesia]]
| relations =
| signature_alt = A hastily scrawled signature
| signature = Signature of Sudirman.svg
}}[[Jenderal Besar|Jenderal Besar TNI]] ([[Anumerta]]) [[Raden]] '''Soedirman''' ([[EYD]]: '''Sudirman'''; {{lahirmati|[[Purbalingga]]|24|1|1916|[[Magelang]]|29|1|1950}}{{efn|name=A}}) adalah seorang perwira tinggi [[Indonesia]] pada masa [[Revolusi Nasional Indonesia]]. Sebagai [[Jenderal Besar (Indonesia)|Panglima Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia]] pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan [[wong cilik|rakyat biasa]] di [[Purbalingga]], [[Hindia Belanda]], Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang [[priyayi]]. Setelah keluarganya pindah ke [[Cilacap]] pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam [[Muhammadiyah]]. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok [[Pemuda Muhammadiyah]] pada tahun 1937. Setelah [[Pendudukan Jepang di Indonesia|Jepang menduduki Hindia Belanda]] pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara [[Pembela Tanah Air]] (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di [[Banyumas]]. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke [[Bogor]].
Setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya]] pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden [[Soekarno]]. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara [[Jepang]] di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal [[Badan Keamanan Rakyat]]. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|panglima angkatan perang]] sementara [[Oerip Soemohardjo]], dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di [[Yogyakarta]], Soedirman terpilih menjadi [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|panglima besar]], sedangkan Oerip Soemohardjo yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi [[Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia|kepala staf umum]]. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di [[Ambarawa]]. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan makin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah [[Perjanjian Linggarjati]] – yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian [[Perjanjian Renville]] yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam [[Agresi Militer I]] kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk [[Peristiwa Madiun|upaya kudeta pada 1948]]. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit [[tuberkulosis]]-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan [[Agresi Militer II]] untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat|kraton sultan]], Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan [[gerilya]] selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat [[Gunung Lawu]]. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk [[Serangan Umum 1 Maret 1949]] di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan [[Kolonel]] [[Soeharto]]. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di [[Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara|Taman Makam Pahlawan Semaki]], Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan ''[[esprit de corps]]'' bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang {{convert|100|km|adj=on}} yang ditempuhnya harus diikuti oleh [[taruna]] Indonesia sebelum lulus dari [[Akademi Militer]]. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas [[rupiah]] keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
==
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di [[Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga|Bodaskarangdjati]], [[Rembang]], [[Purbalingga]].<!--(nama asli Tarsem adalah Turidawati)--> Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama [[Raden]] Cokrosunaryo.{{efn|Karsid dan istrinya pindah ke Rembang pada tahun 1915, setelah Karsid berhenti dari pekerjaannya di perkebunan gula Belanda di Purbalingga {{harv|Sardiman|2008|p=8}}; sumber lainnya menyatakan bahwa ia dipecat {{harv|Adi|2011|pp=1–2}}. Jaraknya {{convert|145|km}} melalui darat, dan saat itu Siyem sedang mengandung {{harv|Sardiman|2008|p=8}}.}}{{efn|Cokrosunaryo tidak memiliki anak {{harv|Imran|1980|p=2}}.}}{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}}{{sfn|Imran|1980|p=1}} Menurut catatan keluarga, Soedirman – dinamai oleh pamannya – lahir pada [[Kalender Jawa#Siklus Wetonan|Minggu ''pon'']] di bulan Maulud dalam [[Kalender Jawa|penanggalan Jawa]]; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada [[suku Jawa]].{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}} Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.{{sfn|Imran|1980|p=3}} Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, [[Cilacap]]. Di tempat inilah ia tumbuh besar.{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}} Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}}{{sfn|Imran|1980|p=4}}{{sfn|Sardiman|2008|p=7}}
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama [[priyayi]],{{sfn|Adi|2011|p=3}} serta etos kerja dan kesederhanaan [[wong cilik]].{{sfn|Sardiman|2008|p=12}} Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan [[kiai]] [[haji]] Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu [[salat]] tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan [[azan]] dan [[ikamah]].{{sfn|Sardiman|2008|pp=14–15}} Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi ({{lang|nl|''hollandsch inlandsche school''}}).{{sfn|Adi|2011|p=3}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=16–17}} Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit [[Singer Corporation|Singer]].{{sfn|Imran|1980|p=4}}
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;{{efn|{{harvtxt|Adi|2011|p=3}} Soedirman mungkin diejek karena latar belakangnya, sebagian besar teman-teman sekelasnya pasti berasal dari keluarga bangsawan tua atau orang-orang yang memiliki hubungan yang kuat dengan Belanda.}} permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik [[Taman Siswa]] pada tahun ketujuh sekolah.{{sfn|Adi|2011|p=3}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=16–17}}{{sfn|Imran|1980|p=10}} Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo{{efn|Wirotomo secara harfiah berarti "gerbang utama" {{harv|Sardiman|2008|p=19}}.}} setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh [[Ordonansi Sekolah Liar]] karena diketahui tidak terdaftar.{{sfn|Imran|1980|p=10}}{{sfn|Adi|2011|p=4}}{{sfn|Sardiman|2008|p=18}} Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis Indonesia]], yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.{{sfn|Adi|2011|p=4}} Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran [[aksara Jawa|kaligrafi Jawa]], Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.{{sfn|Sardiman|2008|pp=20–21}} Soedirman juga menjadi makin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.{{sfn|Adi|2011|p=6}} Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim [[sepak bola]] sebagai [[bek]].{{sfn|Adi|2011|p=5}} Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun.{{sfn|Adi|2011|p=6}}{{sfn|Sardiman|2008|p=73}} Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari [[Sunnah]] dan doa.{{sfn|Sardiman|2008|p=28}} Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.{{sfn|Adi|2011|p=4}}
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik.{{sfn|Sardiman|2008|p=22}} Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi [[Organisasi Kepanduan Sedunia|Kepanduan Putra]] milik [[Muhammadiyah]]. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;{{sfn|Adi|2011|pp=7–9}}{{sfn|Sardiman|2008|p=39}} tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa.{{sfn|Sardiman|2008|p=46}} Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan{{efn|Hizboel Wathan terbuka bagi anak-anak yang berusia tujuh tahun. {{harv|Sardiman|2008|p=37}}.}} tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.{{sfn|Sardiman|2008|pp=48–49}}
== Mengajar ==
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di ''[[Kweekschool]]'' (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di [[Surakarta]], tetapi berhenti karena kekurangan biaya.{{sfn|Sardiman|2008|p=74}} Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha [[batik]] kaya bernama Raden Sastroatmojo.{{sfn|Adi|2011|pp=10–13}}{{sfn|Imran|1980|p=15}} Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.{{sfn|Adi|2011|pp=10–13}} Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.{{sfn|Imran|1980|p=15}}{{sfn|Tjokropranolo|1992|p=326}}
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para [[rasul]] dan kisah [[wayang]] tradisional.{{sfn|Adi|2011|pp=10–13}} Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya.{{sfn|Sardiman|2008|p=76}} Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.{{sfn|Adi|2011|p=14}} Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga [[Gulden Hindia Belanda|gulden]] menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis.{{sfn|Sardiman|2008|pp=80–83}} Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.{{sfn|Sardiman|2008|p=84}}
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga ber[[dakwah]] di masjid setempat.{{sfn|Sardiman|2008|pp=53–54}} Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di [[Jawa Tengah]]{{sfn|Adi|2011|pp=10–13}}{{sfn|Sardiman|2008|p=56}} dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.{{sfn|Sardiman|2008|pp=87–88}} Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.{{sfn|Sardiman|2008|p=66}}
== Masa pendudukan Jepang ==
[[Berkas:Capture of Governor-General Stachouwer.JPG|jmpl|250px|alt=Two Dutch men enter an internment camp, one in a white suit and the other in a military uniform|Gubernur Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan Jenderal [[Hein ter Poorten]] dibawa ke sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang menyerang pada tanggal 9 Maret 1942, yang berlanjut ke [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pendudukan selama tiga setengah tahun]].]]
Ketika [[Perang Dunia II]] pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak mendekati China daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial Belanda – yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari rakyat cara-cara menghadapi [[Pengeboman strategis|serangan udara]]. Menindaklanjuti hal ini, Belanda kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara<!--({{lang|nl|''Lucht Beschermings Dienst''}})-->. Soedirman, yang disegani oleh masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon.{{sfn|Sardiman|2008|p=98}}
[[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang mulai menduduki Hindia]] pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara ''[[Koninklijk Nederlands-Indische Leger]]'' (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan Jenderal KNIL [[Hein ter Poorten]] menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan Nusantara dan semakin memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami [[pelanggaran hak asasi manusia]] di tangan Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer;{{sfn|Adi|2011|pp=26–27}} ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta.{{efn|Ada perdebatan mengenai siapa yang menutup sekolah, apakah Belanda {{harv|Sardiman|2008|p=108}} atau Jepang {{harv|Imran|1980|p=17}}.}}{{sfn|Imran|1980|p=17}} Setelah Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia.{{sfn|Adi|2011|pp=26–27}} Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.{{sfn|Imran|1980|p=20}}
Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (''Syu Sangikai''),{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}} Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara [[Pembela Tanah Air]] (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi [[Sekutu (Perang Dunia II)|Sekutu]],{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}}{{sfn|Adi|2011|pp=28–30}} dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda.{{sfn|Said|1991|p=6}} Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di [[Bogor]], [[Jawa Barat]]. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (''daidanco'') dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.{{efn|Pangkat seorang perwira didasarkan pada kedudukannya dalam masyarakat. Perwira tingkat terendah, pemimpin peleton yang disebut ''shodanco'', adalah para lulusan baru. Komandan, yang disebut ''cudanco'', diambil dari warga masyarakat. Komandan batalion diambil dari tokoh-tokoh yang dihormati dalam masyarakat {{harv|Sardiman|2008|p=109}}. {{harvtxt|Said|1991|p=56}} menulis bahwa ''daidanco'' berfungsi sebagai figur pemimpin dan motivator, dan pelatihan militer yang diterimanya lebih sedikit. Soedirman terus menjabat sebagai ''daidanco'' pada masa revolusi.}}{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}}{{sfn|Adi|2011|pp=28–30}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=109–112}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=36}}
Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur.{{sfn|Adi|2011|p=31}} Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.{{efn|atas perannya dalam pemberontakan, Kusaeri dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer Jepang. Namun, karena Jepang mulai terdesak oleh pasukan Sekutu, ia tidak jadi dieksekusi {{harv|Adi|2011|p=32}}.}} Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.{{sfn|Adi|2011|p=32}}
== Revolusi Nasional ==
=== Panglima besar ===
[[Berkas:Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman.jpg|250px|jmpl|alt=A photograph of a low building with a flagpole in front; its walls are painted green.|Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman|Museum Sasmitaloka]].]]
Setelah berita tentang [[pengeboman Hiroshima dan Nagasaki]] mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh [[proklamasi kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus,{{sfn|Adi|2011|p=32}} kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju [[Jakarta]] dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]], yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.{{sfn|Adi|2011|pp=33–34}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=121–122}} Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,{{efn|[[Australia]] dan [[Amerika Serikat]] misalnya, melakukan kampanye ekstensif di [[Kampanye Guinea Baru|Guinea Baru]] dan [[Kampanye Borneo (1945)|Borneo]] pada tahun 1945, {{harv|Coates|2006|pp=278–280, 282}} dan Inggris merebut kembali Singapura pada September 1945 {{harv|Bayly|Harper|2007|p=194}}.}} tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.{{sfn|Adi|2011|p=36}}
Pada tanggal 22 Agustus 1945, [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah [[Komite Nasional Indonesia Pusat|Komite Nasional Indonesia]] (KNI), [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI), dan [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR).{{sfn|TNI|2000|p=1}} BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan [[Heiho|Heihō]].{{sfn|TNI|2000|p=1}} Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.{{sfn|Nasution|1963|p=106}} Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.{{sfn|TNI|2000|p=1}} BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}} terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.{{sfn|Said|1991|p=11}}
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan [[karesidenan|Residen]] Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.{{sfn|Adi|2011|pp=42–43}}{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}}{{sfn|Sardiman|2008|p=123}}{{sfn|Said|1991|p=13}}
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang profesional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Dekret mengangkat [[Soeprijadi]] sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul,{{efn|Soeprijadi, seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap tentara Jepang di [[Blitar]] pada Februari 1945, dianggap sudah tewas. Sejarawan Amrin Imran berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi mungkin adalah cara untuk mengetahui apakah ia masih hidup atau tidak; diperkirakan bahwa ia mungkin akan menghubungi pemerintah di Jakarta untuk mengambil alih jabatan ini jika ia masih hidup {{harv|Imran|1983|pp=71–72}}. Sedangkan {{harvtxt|Said|1991|p=28}} berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi menunjukkan keraguan Soekarno dalam membangun angkatan perang.}} dan kepala staff Letnan Jenderal [[Oerip Soemohardjo]] ditetapkan sebagai pemimpin sementara.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}} Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan [[tawanan perang]] Belanda, tiba di [[Semarang]], dan kemudian bergerak menuju [[Magelang]]. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman – yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari [[Ambarawa]], di tengah-tengah Magelang dan Semarang.{{sfn|Imran|1980|p=28}} Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V{{efn|Divisi V mencakup [[Kedu]] dan Banyumas. Divisi ini adalah salah satu divisi yang dibentuk oleh Oerip {{harv|Sardiman|2008|pp=126–127}}.}} setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.{{sfn|Sardiman|2008|pp=126–127}}
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi [[Sumatra]] semuanya memilih Soedirman.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|p=3}} menulis bahwa kurangnya bimbingan politik saat Oerip menjabat sebagai panglima sementara menyebabkan militer lebih memilih untuk menentukan pemimpinnya sendiri, bukannya melalui penunjukan. Pertemuan ini juga memilih Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan; pemilihan ini tidak diakui oleh pemerintah, yang memilih Amir Sjarifuddin {{harv|Said|1991|p=41}}.}}{{sfn|Nasution|2011|p=196}}{{sfn|Imran|1980|p=30}}{{sfn|Sardiman|2008|p=132}} Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}}{{sfn|Adi|2011|p=46}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=20}} Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.{{sfn|Adi|2011|p=46}}{{sfn|Imran|1980|p=32}} Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan [[Pertempuran Surabaya|pertempuran besar]] telah terjadi di [[Surabaya]] pada akhir Oktober dan awal November.{{sfn|Ricklefs|1993|p=217}} Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman,{{efn|Soedirman pada saat itu hanya memiliki dua tahun pengalaman militer {{harv|Adi|2011|p=50}} Calon terkemuka lainnya, Oerip, telah menjadi perwira militer sejak Soedirman belum lahir {{harv|Imran|1983|p=27}}.}} menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.{{sfn|Adi|2011|p=50}}
[[Berkas:Dharma Wiratama Museum 04.jpg|250px|jmpl|alt=A photograph of a low building with a flagpole in front; its walls are painted green.|Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Dharma Wiratama]].]]
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong [[P-51 Mustang]].{{sfn|Sardiman|2008|p=136}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=22}} Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari [[bambu]] runcing dan [[katana]] sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana.{{sfn|Sardiman|2008|pp=214–215}} Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara [[gerilya]] menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.{{efn|Sejarawan Richard McMillan menulis pada tahun 2005, berpendapat bahwa mundurnya tentara Sekutu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi mandat Inggris untuk memulangkan semua tawanan perang telah selesai (dikutip dalam {{harvnb|Setiadi|Yuliawati|2012|p=22}}).}}{{sfn|Imran|1980|p=32}}{{sfn|Sardiman|2008|p=137}}
[[Berkas:Sudirman saluting 27 May 1946 KR.JPG|jmpl|kiri|alt=A man, saluting; he is wearing a military uniform and peci.|lurus|Soedirman, awal 1946]]
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional,{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah.{{sfn|Sardiman|2008|p=216}} Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.{{sfn|Adi|2011|p=50}} Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro,{{sfn|Sardiman|2008|pp=126–127}} dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis.{{sfn|Sardiman|2008|p=142}} Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|pp=59–61}} mencatat bahwa setelah perang, banyak pemimpin militer dan politik Indonesia yang menyatakan bahwa mereka pernah bertugas di dewan ini}} Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.{{sfn|Said|1991|pp=59–61}}
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI).{{sfn|Anderson|2005|pp=372–373}}{{sfn|Adi|2011|p=51}}{{sfn|Said|1991|p=44}} Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi [[TNI AL|angkatan laut]] dan [[TNI AU|angkatan udara]] pada awal 1946.{{sfn|Adi|2011|p=51}} Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]] melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer.{{sfn|Adi|2011|p=51}}{{sfn|Anderson|2005|pp=372–373}}{{sfn|Imran|1983|pp=80–81}} Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."{{efn|Asli: "''... sampai titi' darah jang penghabisan.''"}}{{sfn|Imran|1980|p=35}} Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, [[Amir Sjarifoeddin]], memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik.{{efn|misalnya: [[Partai Sosialis Indonesia]] memiliki Pesindo, sedangkan [[Partai Masyumi]] memiliki Hisbullah {{harv|Said|1991|p=24}}.}} Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda.{{sfn|Imran|1983|pp=82–84}}{{sfn|Adi|2011|pp=56–57}}{{sfn|Sardiman|2008|p=145}} Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta;{{sfn|Adi|2011|p=58}} upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan.{{efn|Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa menteri lainnya diculik pada 27 Juni 1946 namun dilepaskan tidak lama kemudian. Pada tanggal 3 Juli, Djenderal Major Sudarsono Reksoprodjo tiba di istana presiden di Yogyakarta dengan membawa sebuah nota, konon dari Soedirman, menyatakan bahwa Soedirman sekarang menjadi presiden dan telah membubarkan kabinet. Sudarsono dan para pengikutnya, kebanyakan dari mereka adalah pendukung [[Tan Malaka]], ditangkap. Soedirman membantah keterlibatannya, mengatakan pada Soekarno bahwa perintahnya selalu ditulis tangan {{harv|Said|1991|pp=63–65}}.}}{{sfn|Said|1991|pp=63–65}} Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di [[Radio Republik Indonesia]] (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara,{{sfn|Adi|2011|p=58}} dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya.{{sfn|Sardiman|2008|p=146}} Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya.{{sfn|Sardiman|2008|p=218}}
=== Negosiasi dengan Belanda ===
[[Berkas:Sudirman in Jakarta (1946).jpg|jmpl|250px|alt=A man descending from a train in the midst of a crowd of reporters|Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946]]
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, [[Wim Schermerhorn]], sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris [[Miles Lampson|Lord Killearn]], dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di [[Stasiun Gambir]] pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar.{{sfn|Adi|2011|pp=60–61}}{{sfn|Sardiman|2008|p=151}} Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan [[Perjanjian Linggarjati]] pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.{{sfn|Britannica, Linggadjati Agreement}}{{sfn|Adi|2011|p=66}} Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.{{sfn|Sardiman|2008|p=155}}
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.{{sfn|Said|1991|p=67}} Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan [[Agresi Militer Belanda I|Agresi Militer]], dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatra. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh.{{sfn|Adi|2011|p=71}} Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!,{{efn|Asli: "''Iboe Pertiwi memanggil! Iboe Pertiwi memanggil!''" [[Ibu Pertiwi]] adalah personifikasi Indonesia.}}{{sfn|Sardiman|2008|p=157}} dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.{{sfn|Adi|2011|p=73}} Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.{{sfn|Said|1991|p=68}}
[[Berkas:Van Mook.png|jmpl|250px|alt=A map of Java; parts of the map are highlighted red.|[[Garis Van Mook]], wilayah yang dikendalikan oleh Indonesia ditandai dengan warna merah;{{sfn|Kahin|1952|p=223}} pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan Belanda.]]
Setelah ditekan oleh [[PBB]], yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan [[Garis Van Mook]]. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan.{{sfn|Kahin|1952|pp=218–221}} Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan [[hijrah]], merujuk pada perjalanan nabi [[Muhammad]] ke [[Madinah]] pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali.{{sfn|Adi|2011|pp=77–78}} Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut.{{sfn|Adi|2011|pp=79–80}} Perbatasan ini diresmikan melalui [[Perjanjian Renville]] pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri.{{sfn|Kahin|1952|pp=218–221}} Pada saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai [[Rasionalisasi (ekonomi)|merasionalisasi]] TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.{{sfn|Imran|1980|pp=42–45}} Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.000 terdapat di laskar.{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=24}}
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat [[Soerjadi Soerjadarma]] sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan [[Kolonel]] [[T.B. Simatupang]] sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.{{sfn|Nasution|1963|pp=130-132}}
[[Berkas:Sudirman sworn in 29 June 1947 KR.jpg|kiri|jmpl|250px|Pelantikan Soedirman di [[Istana Negara]].]]
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu [[Mayor Jenderal|Djenderal Major]]{{efn|Sebelum keluar keputusan [[KASAD]] tanggal 21 Mei 1957, pangkat Djenderal Major adalah pangkat perwira tinggi bintang satu.}} [[A.H. Nasution]]. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam [[mosi tidak percaya]] atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, [[Mohammad Hatta]], berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}{{sfn|Imran|1980|pp=42–45}}{{sfn|Sardiman|2008|p=160}} Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major [[Soesalit Djojoadhiningrat]] (mantan [[PETA]] dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Kolonel [[Hidajat Martaatmadja]], menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.{{sfn|Amrin Imran|1971|p=17}}
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari [[Partai Sosialis Indonesia|Partai Sosialis]], [[Partai Komunis Indonesia|Partai Komunis]], dan anggota [[Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia]] untuk mengobarkan [[Revolusi komunis|revolusi proletar]] di [[Madiun]], [[Jawa Timur]], yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi;{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai [[antena perdamaian]] sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, [[Muso]], telah sepakat untuk berdamai,{{sfn|Said|1991|p=77}} Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September.{{efn|Terjadi 'pembersihan' terhadap kelompok sayap kiri selama beberapa bulan. Sjarifuddin adalah salah satu di antara mereka yang dieksekusi karena terlibat dalam pemberontakan {{harv|Adi|2011|pp=82–84}}.}}{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=25}}
[[Berkas:Panti Rapih Hospital Yogyakarta, Kota Jogjakarta 200 Tahun, plate before page 97.jpg |jmpl|250px|kiri|[[Rumah Sakit Panti Rapih]] (difoto sekitar tahun 1956) tempat Soedirman dirawat karena [[tuberkulosis]].]]
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap [[tuberkulosis]] (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke [[Rumah Sakit Umum Panti Rapih]] dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa [[perang gerilya]], yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November,{{sfn|Adi|2011|pp=85–87}}{{sfn|Sardiman|2008|p=164}} dan persiapannya ditangani oleh Nasution.{{efn|dalam peristiwa pemerintahan pusat dikuasai, rencana ini memungkinkan pembentukan pemerintahan yang didominasi oleh militer di Jawa dan dipimpin oleh kantor pusat. Rencana ini akhirnya dimulai setelah Agresi Militer Belanda II {{harv|Said|1991|pp=102–105}}.}}{{sfn|Said|1991|p=101}} Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.{{sfn|Adi|2011|pp=85–87}}{{sfn|Sardiman|2008|p=164}}
Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;{{sfn|Adi|2011|p=88}} ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya{{ndash}}yang gagal{{ndash}}untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang.{{sfn|Sardiman|2008|p=179}} Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan [[Agresi Militer Belanda II|Agresi Militer Kedua]] untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 [[Waktu Indonesia Barat]], lapangan udara di [[Maguwo]] berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.{{sfn|Adi|2011|pp=90–91}}
{{Quote box
|title = Perintah Kilat<br /><small>No. 1/PB/D/48</small>
|quote = # Kita telah diserang.
# Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
# Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
# Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.{{efn|Asli:<br /> <center>''Perintah Kilat<br />No. 1/PB/D/48''</center>
# ''Kita telah diserang.''
# ''Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menjerang kota Jogjakarta dan lapangan terbang Magoewo.''
# ''Pemerintah Belanda telah membatalkan persetoedjoean Gentjatan Sendjata.''
# ''Semoea Angkatan Perang mendjalankan rentjana jang telah ditetapkan oentoek menghadapi serangan Belanda.''}}
|source =<small>Pidato radio Soedirman, dari {{harvtxt|Imran|1980|p=55}}</small>
|align =
|width = 40%
|border = 1px
|fontsize =
|bgcolor = #F9F9F9
|style =
|title_bg = #F9F9F9
|title_fnt =
}}
Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] atas desakan Sultan [[Hamengkubuwono IX]], namun mereka tertangkap dan diasingkan.{{sfn|Adi|2011|pp=92–95}}{{sfn|Said|1991|p=99}}
=== Perang gerilya ===
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda.{{sfn|Imran|1980|p=57}} Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, [[Parangtritis]], [[Bantul]]. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju [[Wonogiri]].{{sfn|Adi|2011|pp=97–99}} Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer.{{sfn|Imran|1980|p=58}} Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}} Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke [[Ponorogo]]. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang [[ulama]] bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan [[tandu]] di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.{{sfn|Adi|2011|pp=100–101}}
[[Berkas:Sudirman surrounded by guerrilas 17 August 1950 KR.jpg|jmpl|kiri|alt=A crowd of men, with their leader in the middle|lurus|Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya.]]
Di dekat [[Trenggalek]], Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102.{{sfn|Imran|1980|p=61}} Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}} mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata.{{sfn|Imran|1980|p=62}} Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di [[Kediri]] dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}}
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}}{{sfn|Imran|1980|p=64}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=28}} Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}}
[[Berkas:Lukisan Sudirman Ditandu.jpg|jmpl|400x400px|Lukisan pahlawan Jenderal Soedirman saat [[Agresi Militer Belanda II]] oleh Hardjanto.]]
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat [[Gunung Lawu]], pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.{{sfn|Adi|2011|pp=106–107}}{{sfn|Imran|1980|p=65}} Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran.{{sfn|Adi|2011|pp=108–110}} Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}}{{sfn|McGregor|2007|p=138}}
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur [[Wongsonegoro]], menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.{{sfn|Adi|2011|pp=108–110}} Pertemuan ini menghasilkan rencana [[Serangan Umum 1 Maret 1949]]; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel [[Soeharto]] berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam jam, menjadi [[unjuk kekuatan]] yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.{{sfn|Adi|2011|pp=108–110}}{{sfn|Imran|1980|p=74}} Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan [[Hamengkubuwono IX]] sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.{{sfn|Said|1991|pp=126–127}}
[[Berkas:Sudirman consulting after guerrila war 11 July 1949 KR.jpg|jmpl|alt=Four men seated around a small, round table|Soedirman (kiri), berkonsultasi dengan Letnan Kolonel [[Soeharto]] di Sobo]]
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan [[Perjanjian Roem-Royen]]. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya;{{efn|Perjanjian ini pada awalnya ditentang baik oleh militer Indonesia maupun Belanda, namun akhirnya tetap disahkan {{harv|Said|1991|pp=116–118}}.}}{{sfn|Said|1991|pp=116–118}} Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|p=119}} menyatakan bahwa surat itu ditulis oleh Hamengkubuwono IX dan diantarkan oleh Suharto, sedangkan {{harvtxt|Imran|1980|pp=75–80}} berpendapat bahwa surat itu dari bawahan sekaligus teman dekat Soedirman, Kolonel [[Gatot Soebroto]].}} Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.{{sfn|Imran|1980|pp=75–80}}{{sfn|Sardiman|2008|p=199}} Wartawan [[Rosihan Anwar]], yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=47}}
== Pascaperang ==
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati [[Soekarno]] dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi [[Perjanjian Roem-Roijen|Perjanjian Roem-Royen]], belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidakkonsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}{{sfn|McGregor|2007|p=129}}{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}} Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat,{{sfn|Imran|1980|pp=82–83}} dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.{{sfn|Said|1991|p=122}}
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih.{{sfn|Imran|1980|pp=82–83}} Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah [[sanatorium]] di dekat Pakem.{{sfn|Sardiman|2008|p=203}} Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik.{{sfn|Imran|1980|p=84}}{{sfn|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}}{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember.{{sfn|KR 1950, Magelang Berkabung}} Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan [[Konferensi Meja Bundar|konferensi panjang selama beberapa bulan]] yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.{{sfn|Imran|1980|p=83}} Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama [[Republik Indonesia Serikat]]. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.{{sfn|Sardiman|2008|p=203}}
=== Kematian ===
[[Berkas:Grave of Sudirman.JPG|jmpl|ka|alt=A grave with the text Sudirman on it|Makam Soedirman di [[Taman Makam Pahlawan Kusumanegara|Taman Makam Pahlawan Semaki]] Yogyakarta; makam ini telah menjadi tujuan para peziarah.]]
{{multiple image
| align = left
| direction = horizontal
| caption_align = center
|image1 = Indonesia state officials paid tribute to General Sudirman, 29 January 1950.jpg
|image2 = Sudirman's funeral procession 31 January 1950 KR.jpg
|footer = Jenazah Soedirman disemayamkan di rumahnya di Yogyakarta (kiri), dan Peti mati Soedirman dibopong oleh para tentara (kanan).}}
Soedirman meninggal dunia di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.{{sfn|Imran|1980|p=84}} Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat [[tank]] dan delapan puluh kendaraan bermotor,{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.{{sfn|KR 1950, Magelang Berkabung}}
Jenazah Soedirman disemayamkan di [[Masjid Gedhe Kauman]] pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri [[Abdoel Halim]], Menteri Pertahanan [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]], Menteri Kesehatan [[Johannes Leimena]], Menteri Keadilan [[Abdoel Gaffar Pringgodigdo]], Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU [[Soerjadi Soerjadarma]], Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata.{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke [[Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara|Taman Makam Pahlawan Semaki]] dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang {{convert|2|km|sp=br}} mengiringi di belakang.{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya,{{sfn|Imran|1980|p=86}} lalu diikuti oleh para menteri.{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran [[bendera setengah tiang]] sebagai tanda berkabung di seluruh negeri,{{sfn|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}} dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh.{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} Djenderal Major [[Tahi Bonar Simatupang]] terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru.{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.{{sfn|McGregor|2007|p=127}}
==== Reaksi ====
Surat kabar harian Yogyakarta, ''[[Kedaulatan Rakyat|Kedaulatan Rakjat]]'', menulis bahwa Indonesia telah kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."{{efn|Asli: "''... seorang pahlawan jang djudjur dan berani''"}}{{sfn|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}} Kolonel [[Paku Alam VIII]], yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional [[ANTARA|Antara]] bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".{{efn|Asli: "''... seluruh rakjat Indonesia umumnja dan angkatan perang chususnja, kehilangan seorang bapak jg tidak ternilai djasa2nja kepada tanah air ...''"}}{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} Tokoh Muslim Indonesia, [[Hamka|Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia",{{efn|Asli: "'' ... lambang dari kebangunan djiwa pahlawan Indonesia.''"}}{{sfn|Sardiman|2008|p=218}} sedangkan politisi Muslim [[Muhammad Isa Anshary]] menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".{{efn|Asli: "''Putera revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi.}}{{sfn|Sardiman|2008|p=219}} Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya.{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti [[Abdul Haris Nasution]] dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.{{sfn|Said|1991|p=55}}
== Warisan ==
[[Berkas:Jenderal Sudirman.jpg|jmpl|200px|Lukisan Soedirman oleh Hardjanto, dari koleksi pribadi milik [[Prabowo Subianto]].]]
[[Berkas:Indonesia 1968 5r o.jpg|jmpl|kiri|alt=A 5 rupiah banknote, with a picture of Sudirman on its left side|Soedirman pada uang kertas 5 [[rupiah]] keluaran 1968.]]
Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di [[Universitas Negeri Yogyakarta]], menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api,{{sfn|Sardiman|2008|p=93}} dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap.{{sfn|Sardiman|2008|p=174}} Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan [[Nugroho Notosusanto]] menggambarkan Soedirman sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah asal ''[[esprit de corps]]'' TNI.{{sfn|McGregor|2007|p=128}} Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan.{{sfn|McGregor|2007|p=128}} Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang {{convert|100|km|adj=on}} sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan.{{sfn|McGregor|2007|p=130}} Makam Soedirman juga menjadi tujuan [[ziarah]], baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum.{{sfn|McGregor|2007|p=133}} Menurut Katharine McGregor dari [[Universitas Melbourne]], militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.{{sfn|McGregor|2007|p=220}}
Soedirman telah menerima berbagai [[Daftar tanda kehormatan di Indonesia|tanda kehormatan dari pemerintah pusat]] secara anumerta, termasuk [[Bintang Sakti]], [[Bintang Gerilya]],{{sfn|Tjokropranolo|1992|p=327}} [[Bintang Mahaputra Adipurna]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Adipurna}} [[Bintang Mahaputra Pratama]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Pratama}} [[Bintang Republik Indonesia Adipurna]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna}} dan [[Bintang Republik Indonesia Adipradana]].{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipradana}}{{efn|bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas {{harv|UU No. 20/2009|pp=4, 10, 23}}. Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara {{harv|UU No. 20/2009|pp=4, 9, 23}}. Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil {{harv|Saragih 2012, SBY bestows honors}}.}} Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama.{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan}} Soedirman dipromosikan menjadi [[Jenderal Besar]] pada tahun 1997.{{sfn|McGregor|2007|p=139}}
Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas [[rupiah]] terbitan 1968.{{efn|Ini termasuk pecahan 1, 2½, 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1000 rupiah {{harv|Cuhaj|2012|pp=501–502}}.}} Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang, termasuk ''[[Janur Kuning]]'' (1979) dan ''[[Serangan Fajar]]'' (1982).{{sfn|McGregor|2007|p=127}}
Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di [[Purbalingga]] saat ini menjadi Museum Soedirman,{{sfn|Sardiman|2008|p=8}} sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan [[Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman|Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman]].{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Rumah kelahirannya di [[Magelang]] juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang jenderal.{{sfn|Pemerintah Kota Magelang, Museum Sudirman}} Museum lainnya, termasuk [[Monumen Yogya Kembali]] di Yogyakarta dan [[Museum Satria Mandala]] di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah [[Jalan Jenderal Sudirman (Jakarta)|jalan utama di Jakarta]];{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}} McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} [[Universitas Jenderal Soedirman]] di [[Purwokerto]], [[Banyumas]], didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya.{{sfn|Universitas Jenderal Soedirman, Tentang UNSOED}}
== Dalam budaya populer ==
* Dalam film ''[[Janur Kuning]]'' (1979), Soedirman diperankan oleh [[Deddy Sutomo]].
* Dalam film ''[[Jenderal Soedirman (film)|Jenderal Soedirman]]'' (2015), Soedirman diperankan oleh [[Adipati Dolken]].
== Catatan ==
{{notes
|notes =
{{efn
|name = A
| 24 Januari 1916 adalah tanggal yang diakui pemerintah Indonesia. Tanggal yang sebenarnya mungkin berbeda {{harv|Adi|2011|pp=1–2}}. Sejarawan Solichin Salam misalnya, menjadikan 7 Februari 1912 sebagai tanggal lahir Soedirman, sejarawan lain Yusuf Puar menjadikan 7 September 1912 sebagai tanggal lahirnya (dikutip dari {{harvnb|Said|1991|p=80}}).
}}
}}
== Referensi ==
=== Catatan kaki ===
{{reflist|3}}
=== Daftar pustaka ===
{{refbegin}}
* {{cite book
|title=Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat
|last= Imran
|first=Amrin
|coauthor=Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA
|publisher=Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI
|year=1971
|ref=harv
}}
* {{cite book
|title=Sejarah TNI Jilid I (1945-1949)
|last= TNI
|first=Markas Besar
|publisher=Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI
|location=Jakarta
|year=2000
|isbn=979-9421-00-4
|isbn=979-9421-01-2
|ref=harv
}}
* {{cite book
|title=Tentara Nasional Indonesia, Jilid I, Cetakan II
|last=Nasution
|first=A.H
|publisher=Ganeco N.V.
|location=Bandung
|year=1963
|ref=harv
}}
* {{cite web
|url=http://www.unsoed.ac.id/en/node/about-unsoed
|archiveurl=https://www.webcitation.org/68UJE016y?url=http://www.unsoed.ac.id/en/node/about-unsoed
|archivedate=2012-06-17
|accessdate=17 Juni 2012
|publisher=Universitas Jenderal Soedirman
|title=Tentang UNSOED
|ref={{sfnRef|Universitas Jenderal Soedirman, About UNSOED}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|title=Soedirman: Bapak Tentara Indonesia
|last=Adi
|first=A. Kresna
|publisher=Mata Padi Pressindo
|isbn=978-602-95337-1-2
|location=Yogyakarta
|ref=harv
|year=2011
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=87totx4p3ZcC&vq
|title=Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946
|isbn=978-979-3780-14-6
|author1=Anderson
|first1=Benedict Richard O'Gorman
|authorlink=Benedict Anderson
|year=2005
|publisher=Equinox
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite book
|url = http://books.google.ca/books?id=0M4Pl_VCExgC
|title = Forgotten Wars: Freedom and Revolution in Southeast Asia
|isbn = 978-0-674-02153-2
|last1 = Bayly
|first1 = Christopher Alan
|last2 = Harper
|first2 = Timothy Norman
|year = 2007
|ref = harv
|location = Cambridge
|publisher = Belknap Press
}}
* {{cite web
|title=Bintang Mahaputra Adipurna
|url=http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_tandajasa&Itemid=43&cat=2&id=6
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|accessdate=17 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Adipurna}}
}}
* {{cite web
|title=Bintang Mahaputra Pratama
|url=http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_tandajasa&cat=2&id=9&Itemid=43&limit=1&limitstart=2
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|accessdate=17 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Pratama}}
}}
* {{cite web
|title=Bintang Republik Indonesia Adipradana
|url=http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_tandajasa&cat=1&id=2&Itemid=43&limit=1&limitstart=2
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|accessdate=17 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipradana}}
}}
* {{cite web
|title=Bintang Republik Indonesia Adipurna
|url=http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_tandajasa&Itemid=43&cat=1&id=1
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|accessdate=17 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna}}
}}
* {{cite book
|last=Coates
|first=John
|title=An Atlas of Australia's Wars
|year=2006
|publisher=Oxford University Press
|location=Melbourne
|ref=harv
|isbn=978-0-19-555914-9
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=OMxQwXQghgkC
|title=2013 Standard Catalog of World Paper Money – Modern Issues: 1961–Present
|isbn=978-1-4402-2956-5
|author1=Cuhaj
|first1=George S
|year=2012
|ref=harv
|publisher=Krause Publications
|location=Iola
}}
* {{cite web
|title=Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia
|url=http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan&opsi=mulai-1
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|archiveurl=https://www.webcitation.org/67WW7R2g9?url=http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan
|archivedate=2012-05-09
|accessdate=9 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title=Djenderal Sudirman Wafat
|work=Kedaulatan Rakjat
|page=1
|date=30 Januari 1950
|ref={{sfnRef|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}}
}}
* {{cite book
|last=Imran
|first=Amrin
|year=1980
|publisher=Mutiara
|location=Jakarta
|title=Panglima Besar Jenderal Soedirman
|oclc=220643587
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Imran
|first=Amrin
|year=1983
|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
|location=Jakarta
|title=Urip Sumohardjo
|trans_title=
|oclc=10945069
|ref=harv
}}
* {{Cite book
|last=Kahin
|first=George McTurnan
|author-link=George McTurnan Kahin
|year=1952
|title=Nationalism and Revolution in Indonesia
|url=https://archive.org/details/nationalismrevol0000kahi
|publisher=Cornell University Press
|isbn=978-0-8014-9108-5
|ref=harv
|location=Ithaca
}}
* {{cite web
|url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/342368/Linggadjati-Agreement
|archiveurl=https://www.webcitation.org/68MLMlB50?url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/342368/Linggadjati-Agreement
|archivedate=2012-06-12
|accessdate=12 Juni 2012
|work=Encyclopedia Britannica
|title=Linggadjati Agreement
|ref={{sfnRef|Britannica, Linggadjati Agreement}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title=Magelang Berkabung
|work=Kedaulatan Rakjat
|page=1
|date=31 Januari 1950
|ref={{sfnRef|KR 1950, Magelang Berkabung}}
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=dVxi2oXZqjkC
|title=History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past
|isbn=978-9971-69-360-2
|last1=McGregor
|first1=Katharine E
|year=2007
|ref=harv
|location=Honolulu
|publisher=University of Honolulu Press
}}
* {{cite web
|title=Museum Sudirman
|url=http://www.magelangkota.go.id/info-kota/pariwisata/wisata-pendidikan/museum-sudirman
|publisher=Pemerintah Kota Magelang
|accessdate=16 Juni 2012
|archivedate=2012-06-16
|archiveurl=https://www.webcitation.org/68S7VagB5?url=http://www.magelangkota.go.id/info-kota/pariwisata/wisata-pendidikan/museum-sudirman
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Magelang, Museum Sudirman}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=WrkzPcxBnLMC
|title=Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX
|isbn=978-979-22-6767-9
|editor1-first=Mohamad
|editor1-last=Roem
|editor1-link=Mohamad Roem
|editor2-first=Mochtar
|editor2-last=Lubis
|editor2-link=Mochtar Lubis
|editor3-first=Kustiniyati
|editor3-last=Mochtar
|editor4-first=Maimoen
|editor4-last=S.
|last=Nasution
|first=A. H.
|authorlink=Abdul Haris Nasution
|publisher=Gramedia Pustaka Utama
|location=Jakarta
|year=2011
|origyear=1982
|edition=Revised
|ref=harv
}}
* {{cite web
|title=Oerip Soemohardjo
|url=http://www.jakarta.go.id/english/encyclopedia/detail/2102
|work=Encyclopedia of Jakarta
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|accessdate=9 Mei 2012
|archivedate=2012-05-09
|archiveurl=https://www.webcitation.org/67WUfhDjl?url=http://www.jakarta.go.id/english/encyclopedia/detail/2102
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
|title=Pa' Dirman Istirahat
|work=Kedaulatan Rakjat
|page=1
|date=30 Januari 1950
|ref={{sfnRef|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}}
}}
* {{cite news
|title=Perdjalanan Terachir Dj. Sudirman
|work=Kedaulatan Rakjat
|page=1
|date=31 Januari 1950
|ref={{sfnRef|KR 1950, Perdjalanan Terachir}}
}}
* {{cite book
|last =Ricklefs
|first =M.C.
|title =A History of Modern Indonesia Since c.1200
|edition=2nd
|publisher =MacMillan
|year =1993
|location =London
|ref=harv
|isbn =978-0-333-57689-2
}}
* {{cite book
|last=Said
|first=Salim
|isbn=978-981-3035-90-4
|year=1991
|title=Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49
|location=Singapura
|publisher=Institute of Southeast Asian Studies
|ref=harv
}}
* {{cite news
|last=Saragih
|first=Bagus BT
|title=SBY bestows honors to late Cabinet members
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/13/sby-bestows-honors-late-cabinet-members.html
|work=The Jakarta Post
|date=13 August 2012
|archivedate=2012-08-26
|accessdate=26 August 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/6AC6OuWK8?url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/13/sby-bestows-honors-late-cabinet-members.html
|ref={{sfnRef|Saragih 2012, SBY bestows honors}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|last=Sardiman
|title=Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman
|publisher=Ombak
|location=Yogyakarta
|isbn=978-979-3472-92-8
|year=2008
|ref=harv
}}
* {{cite journal
|last1=Setiadi
|first1=Purwanto<!--(team leader)-->
|last2=Yuliawati<!--(project leader)-->
|title=Sudirman: A Soldier's Story
|pages=14–51
|journal=Tempo English
|year=2012
|month=11–18 November
|issn=1411-6065
|publisher=Arsa Raya Perdana
|issue=1312
|location=Jakarta
|ref={{sfnRef|Setiadi|Yuliawati|2012}}
}}
* {{cite web
|title=Sudirman
|url=http://www.jakarta.go.id/english/encyclopedia/detail/3015
|work=Encyclopedia of Jakarta
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|accessdate=16 Juni 2012
|archivedate=2012-06-16
|archiveurl=https://www.webcitation.org/68S7xwlJR?url=http://www.jakarta.go.id/english/encyclopedia/detail/3015
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|title=Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal
|year=1992
|last= Tjokropranolo
|editor-first=Marzuki
|editor-last=Arifin
|publisher=Surya Persindo
|location=Jakarta
|isbn=978-979-8329-00-5
|ref=harv
}}
* {{cite book
|title=Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
|publisher=Pemerintah Republik Indonesia
|ref={{sfnRef|UU No. 20/2009}}
|date=18 Juni 2009
|location=Jakarta
}}
{{refend}}
{{Pahlawan Nasional Indonesia}}
{{Panglima TNI}}
{{Authority control}}
{{artikel pilihan}}
<!-- Penghargaan -->
{{lifetime|1916|1950}}
<!--anda dapat berkontribusi dalam pelacakan artikel biografi tokoh muslim di wikipedia dengan menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam kategori pelacakan --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Muslim -->
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
|sort =
|hari_lahir =
|tgl_lahir_h =
|tgl_lahir_m = 24
|bln_lahir_h =
|bln_lahir_m = Januari
|thn_lahir_h =
|thn_lahir_m = 1916
|tempat_lahir = Purbalingga
|status_hidup_wafat = WAFAT
|sebab_wafat =
|tempat_wafat = Magelang
|hari_wafat =
|tgl_wafat_h =
|tgl_wafat_m = 29
|bln_wafat_h =
|bln_wafat_m = Januari
|thn_wafat_h =
|thn_wafat_m = 1950
|tempat_makam = Taman Makam Pahlawan Semaki
}}
{{DEFAULTSORT:Sudirman}}
[[Kategori:Semua orang yang sudah meninggal]]
[[Kategori:Artikel mengandung aksara Belanda]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh militer Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh TNI]]
[[Kategori:Tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]]
[[Kategori:Jenderal Indonesia]]
[[Kategori:Panglima Tentara Nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Purbalingga]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna]]
[[Kategori:Penerima Bintang Mahaputera Adipurna]]
[[Kategori:Penerima Bintang Gerilya]]
[[Kategori:Penerima Bintang Sakti]]
[[Kategori:Tokoh dari Purbalingga]]
|