La Maddukelleng: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Madong (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
We Sompa Ugi (bicara | kontrib)
Tag: menambah tag nowiki VisualEditor
 
(83 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikanInfobox orang}}
{{wikify}}
'''La Maddukkelleng''' (lahir: [[Wajo]], [[Sulawesi Selatan]], [[1700]] - wafat: [[Wajo]], [[Sulawesi Selatan]], [[1765]]) adalah seorang ''ksatria'' dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
 
'''La Maddukelleng''' (sekitar 1700–1765) merupakan seorang petualang [[Suku Bugis|Bugis]] yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi [[Kerajaan Wajo|Wajo]] pada perempat kedua abad ke-18. Ia kini dianggap sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
== Kehidupan awal ==
== '''Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe''' ==
=== Latar belakang ===
Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) dengan [[aliansi]] [[Kesultanan Bone|Bone]] dan [[VOC]] dalam [[Perang Makassar]]. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Johor, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Malaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.{{sfnp|Wellen|2009|pp=81–82}}
 
La Maddukelleng sendiri lahir di Tippulue, [[Belawa]] sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61}} Menurut sumber ''lontaraʼ'' yang ditelusuri oleh [[Andi Zainal Abidin]] (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukkelleng bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan ''Arung'' (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan ''Arung'' Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai ''Patola'' (putera/puteri calon pengganti raja [[Kerajaan Wajo#)).{{sfnp|Abidin|2017|p=281, 283, 301}}
 
Tidak terlalu lengkap detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=127a|ps=: "La Maʼdukěllěng Arung van Singkang stamde blijkbaar uit het vorstenhuis van deze Wadjorese vazalplaats, maar over zijn afkomst en het begin van zijn levensloop zijn geen details te vinden."}} Riwayat paling banyak didapat dari ''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ'' (''Sejarah Lengkap Wajo'') menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa [[puan]] (tempat sirih) bagi ''Arung Matoa'' (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri ''Arumpone'' (penguasa Bone) La Patauʼ yang bernama I Wale' di Cenrana, Bone.{{efn|Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, bagian kisah ini sedikit janggal, karena masa pemerintahan La Patauʼ dan La Salewangeng sebetulnya tidak beririsan; La Patauʼ mangkat pada tahun 1714, sementara La Salewangeng baru menjabat sebagai arung matoa pada tahun 1715.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Namun, Abidin berpendapat bahwa La Salewangeng memerintah dari tahun 1712.{{sfnp|Abidin|2017|p=279}}}} Ketika itu La Maddukkelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai di[[khitan]].{{sfnp|Abidin|2017|p=281}}
=== '''Inilah La Maddukelleng :''' ===
 
Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam.{{sfnp|Abidin|2017|p=281}} Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, terjadi kericuhan yang puncaknya seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala ''Arung Matoa'' Wajo. La Maddukkelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Sesampainya di [[Tosora, Majauleng, Wajo|Tosora]] (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang ''arung matoa'' melindungi La Maddukkelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}
 
=== Petualangan di perantauan ===
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukkelleng berangkat merantau, Sang Arung Matoa menanyakan padanya apa saja bekal yang ia bawa menuju tanah rantau. La Maddukkelleng menjawab secara filosofis bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman badiknya, dan tuah ujung kemaluannya.{{sfnp|Wellen|2014|p=88}}{{sfnp|Abidin|2017|p=283–284}} Ketiga hal ini lazim disebut sebagai ''tellu cappaʼ'' ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis. Secara harafiah tiga ''cappa'' (ujung) itu disebutkan ''Cappa lila'' (ujung lidah), ''Cappa Kawali'' (ujung badik), dan ''Cappa Katawang'' (Ujung kelelakian). Secara kiasan masing-masing berarti kecakapan dalam diplomasi, keberanian dan kekesatriaan, serta jalinan pernikahan. Tiga-tiganya itulah yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau (Bugis: Passompe'). Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng dengan sangat efektif untuk memenuhi misi dan ambisi politiknya.{{sfnp|Wellen|2014|p=88, 95}}
 
Pada masa pemerintahan ''Arung Matoa'' La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara.{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83}} Ketika La Maddukkelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
 
Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
 
Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di [[Sungai Kendilo|Muara Kandilo]] [[Kesultanan Paser|Paser]], Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser, Andin Anjang.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
 
Saat sebelum Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
 
Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser.{{sfnp|Wellen|2014|p=95, 139}} Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.{{sfnp|Abidin|2017|p=286–287}}{{sfnp|Wellen|2014|p=139}}
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
 
Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis [[Samarinda]] di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalaman (seperti [[emas]], [[kapur barus]], [[damar]], [[rotan]], hingga [[lilin lebah]]) dan hasil laut seperti cangkang penyu, [[agar-agar]] dan [[teripang]]. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor [[beras]], [[natrium klorida|garam]], [[rempah]], [[kopi]], [[tembakau]], [[opium]], [[tekstil]], [[besi]], [[senjata api]], hingga [[budak]].{{sfnp|Pelras|1996|p=321–322}} Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki [[pemerintahan sendiri]], dengan seorang pemimpin yang digelari ''pua ado'' (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) {{sfnp|Wellen|2014|p=52}} serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.{{sfnp|Pelras|1996|p=322}} Walaupun demikian, mereka tetap berada di bawah Kesultanan Kutai dan menjadi pembela setia kepentingan kerajaan. Hal ini karena sejak semula kedatangan mereka telah mengikrarkan sumpah setia kepada kerajaan.
 
La Maddukkelleng saat di Johor mendapat kabar bahwa kakaknya, Daeng Matekko yang awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang [[Suku Melayu|Melayu]], komunitas Bugis Riau, serta [[Raja Kecik]] dari [[Ranah Minang|Minangkabau]]. Pada perang yang dimenangkan Sultan Sulaiman itu membuat kakaknya, Daeng Matekko, ditewaskan oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor. Sepanjang hidup La Maddukkelleng mengejar To Passarai dan berhasil mengambil kembali harta benda yang dirampasnya dari kakaknya. Sebagian catatan Lontara Sukkuna Wajo (LSW) menyebutkan bahwa La Maddukkelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=63}}<nowiki>}} Sejarawan Kahtryn Anderson Wellen berpendapat bahwa kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.</nowiki>{{sfnp|Wellen|2014|p=101–102}}
 
Dalam pertempuran-pertempurannya, La Maddukelleng dibantu oleh seorang kapitan laut bernama To Assa. Dia ini adalah panglima paling diandalkannya selain Cambang Balolo, Puanna Dekke, Puanna Pabbola dan lainnya. La Banna adalah tulang punggung La Maddukkelleng, ia pula yang memimpin pasukan La Maddukkelleng dalam banyak peperangan. Ia bisa disebut panglima kepercayaan La Maddukkelleng. Ia juga sempat menyerang Banjarmasin pada tahun 1730, walaupun armadanya berhasil dipukul mundur.{{sfnp|Wellen|2014|p=139–140}} Meski sempat berpisah dengannya, namun pada awal 1735, La Maddukkelleng dan La Banna To Assa bergabung kembali untuk panggilan perang dari Wajo untuk membebaskan Wajo dari Bone dan Belanda. Kehadiran armada La Maddukelleng di pesisir Sulawesi meresahkan Belanda sehingga mereka mencoba menghadangnya di laut, tetapi La Maddukelleng berhasil lolos.{{sfnp|Wellen|2014|p=141}} Bahkan ia banyak memenangkan perang dengan Belanda.
==== '''La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda''' ====
 
=== Kembali ke Wajo ===
Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti.{{sfnp|Wellen|2014|pp=30, 69}} Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an.{{sfnp|Wellen|2014|p=137}} ''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ'' secara khusus menyebut bahwa ''Arung Matoa'' La Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=140, 197}}{{sfnp|Abidin|2017|p=289}} Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.{{sfnp|Wellen|2018|p=55}}
 
La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser.{{sfnp|Wellen|2014|p=140}} Pada Desember 1735, ia tiba di perairan [[Majene]] disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan ''Arung'' [[Lipukasi, Tanete Rilau, Barru|Lipukasiʼ]] (dari [[Kerajaan Tanete|Tanete]]) serta ''Maraʼdia'' [[Kerajaan Balanipa|Balanipa]]. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan 12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=127–128 |ps=: "Eind 1735 (Donderdag 12 December, PP) kwam ook Arung Singkang in Mandar, in Madjenneʼ [...] met veertig schepen. Toevallig was daar ook La Pasonriʼ Arung van Lipukasiʼ (een plaats in Tanete), die mensen van Mangindanao kwam manen. Een Makasaar, Kare Patasaʼ, die door Arung Singkang gemaand werd, vluchtte naar Arung Lipukasiʼ. Deze bracht hem naar de Maraʼdia van Balannipa en de beide vorsten bevochten nu Arung Singkang en toAssa: Arung Lipukasiʼ in Batu (in Madjenneʼ) en toAssa op zee. De laatste werd op de vlucht gejaagd en ging naar Ululabuang en maakte er een schip van mensen uit Mangngarantjang (in Tanete) buit. Daarna ging hij naar Binnuang. Maar daar werden zijn mensen verrast, toen zij naar de markt gingen en twaalf van hen werden gedood; het was op de eerste Sjawwal (d.i. 14 Februari 1736). Vervolgens voeren ze door naar Puteanging (een eiland voor de kust)."}}{{sfnp|Abidin|2017|p=292–293}} Riwayat lain menyebut bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=128a|ps=: "In tegenstelling tot het voorgaande vermeldt PP een overwinning van Arung Singkang op de Mandarezen, nadat hij 75 dagen in Mandar geweest was."}} Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.{{sfnp|Abidin|2017|p=293}}
La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.
 
Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=142}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=128b|ps=: "Arung Singkangs vloot [...] voer vervolgens langs de kust Zuidwaarts, aanleggende bij Udjung Lero (vóór Parepare) en op het eiland Sabutung. Hij werd tweemaal — tevergeefs — door Nederlandse schepen beschoten, nadat hij de voor Makasar gelegen eilandjes Běrrang en Kodingareng (Balanglompo en Balang-tjaʼdi volgens QQ) geplunderd had, eenmaal op 18 Maart (dagboek van Goa) en de tweede maal bij Batubatu [...] Hij verliet Batubatu op Zaterdag (1 Apríl) 19 Dzuʼl-ḳaʼdah [...] Zeven dagen later kwam hij bij Pallětte voor de kust van Bone aan."}} Pada awalnya, ia hendak menuju pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama ratusan orang pasukannya pada Mei 1736.{{sfnp|Wellen|2014|p=142}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=128–129|ps=: "De toegang werd
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
hem daar geweigerd (H) en hij voer door naar de monding van Doping aan de kust van Wadjoʼ [...] veertig dagen (en geen zeven maanden, zoals de Kr. wil) voor Doping lag te wachten, totdat er eindelijk een Bonees gezant, de Gěllarrěng Bontoalaʼ I Djakkoloʼ, kwam, die hem de vergunning overbracht aan land te gaan. Op Donderdag 14 Muḥarram (= 24 Mei) ging hij aan land."}} La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai lebih 1000 orang ketika sampai di Sengkang.{{sfnp|Wellen|2014|p=142}} Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya.{{sfnp|Wellen|2014|p=143}}{{sfnp|Abidin|2017|p=299–300}}{{sfnp|Noorduyn|1972|p=63–64}} Menurut Wellen, terbebasnya La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.{{sfnp|Wellen|2014|p=143}}
 
== Masa kepemimpinan di Wajo ==
Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
=== Pembebasan Wajo ===
Atas permintaan ''Arung Matoa'' La Salewangeng, La Maddukelleng berangkat meninggalkan Sengkang.{{sfnp|Abidin|2017|p=300}} Ia pun menuju Peneki dan dilantik sebagai ''arung'' di sana.{{sfnp|Wellen|2014|p=143}}{{sfnp|Patunru|1983|p=62}} Begitu dilantik, ia menitahkan agar orang-orang Bone meninggalkan wilayah negerinya, sehingga memicu konflik terbuka. Pasukan Bone pun mengepung Peneki untuk menangkap La Maddukelleng.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=129b|ps=: "[Arung Singkang] liet zich in Peneki tot Arung benoemen. De daar geplaatste Boneěrs ruimden het veld. Deze in bezit neming van Peneki was dus op zichzelf al reden tot oorlog voor Bone, dat er alles aan gelegen was — niet minder dan de Nederlanders — om hem in handen te krijgen. Peneki werd belegerd door de Boneěrs, waarvan op 5 Juli het bericht in Makasar kwam (dagboek van Goa). Toen zij echter ook andere Wadjorese plaatsen in de buurt plat brandden, was het geduld der Wadjorezen ten einde en zij keerden zich tegen de Boneěrs op Maandag 15 Rabīʼ al-awwal (= 23 Juli 1736). Twee dagen later vertrokken de Goarese en Bonese "rebellen" Karaeng Bontolangkasaʼ en Arung Kadju uit Goa naar Maros (dagboek van Goa) en begonnen daar een opstand tegen de Nederlanders. Zo was er terzelfder tijd op twee verschillende punten een strijd tegen de gevestigde toestanden ontbrand. De Nederlanders besteedden het eerst aandacht aan hun eigen gebied (Maros) en lieten Wadjoʼ nog bijna geheel ongemoeid."}} Berita pengepungan ini sampai di Gowa pada tanggal 5 Juli 1736.{{sfnp|Cummings|2010|p=280}} Konflik semakin meluas ketika Bone tidak hanya menyerang wilayah Peneki saja, tetapi juga membakar pemukiman di wilayah Wajo yang lain. Salah satu putra La Maddukelleng tewas dalam penyerangan ini, dan panji negeri Tempe (salah satu ''wanua'' Wajo) dirampas oleh Bone.{{sfnp|Wellen|2018|p=56}} Aksi ini menyulut kemarahan orang-orang Wajo, sehingga banyak di antara mereka yang turut membantu La Maddukelleng melawan pasukan Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=143}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=129b|ps=: "[Arung Singkang] liet zich in Peneki tot Arung benoemen. De daar geplaatste Boneěrs ruimden het veld. Deze in bezit neming van Peneki was dus op zichzelf al reden tot oorlog voor Bone, dat er alles aan gelegen was — niet minder dan de Nederlanders — om hem in handen te krijgen. Peneki werd belegerd door de Boneěrs, waarvan op 5 Juli het bericht in Makasar kwam (dagboek van Goa). Toen zij echter ook andere Wadjorese plaatsen in de buurt plat brandden, was het geduld der Wadjorezen ten einde en zij keerden zich tegen de Boneěrs op Maandag 15 Rabīʼ al-awwal (= 23 Juli 1736). Twee dagen later vertrokken de Goarese en Bonese "rebellen" Karaeng Bontolangkasaʼ en Arung Kadju uit Goa naar Maros (dagboek van Goa) en begonnen daar een opstand tegen de Nederlanders. Zo was er terzelfder tijd op twee verschillende punten een strijd tegen de gevestigde toestanden ontbrand. De Nederlanders besteedden het eerst aandacht aan hun eigen gebied (Maros) en lieten Wadjoʼ nog bijna geheel ongemoeid."}}
 
Pada saat yang sama, Belanda yang merupakan sekutu utama Bone mesti menghadapi pemberontakan di wilayah [[Kerajaan Marusu|Marusu]] yang dipimpin oleh ''Karaeng'' Bontolangkasa (sekutu dekat La Maddukelleng) dan ''Arung'' Kaju.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=129b|ps=: "[Arung Singkang] liet zich in Peneki tot Arung benoemen. De daar geplaatste Boneěrs ruimden het veld. Deze in bezit neming van Peneki was dus op zichzelf al reden tot oorlog voor Bone, dat er alles aan gelegen was — niet minder dan de Nederlanders — om hem in handen te krijgen. Peneki werd belegerd door de Boneěrs, waarvan op 5 Juli het bericht in Makasar kwam (dagboek van Goa). Toen zij echter ook andere Wadjorese plaatsen in de buurt plat brandden, was het geduld der Wadjorezen ten einde en zij keerden zich tegen de Boneěrs op Maandag 15 Rabīʼ al-awwal (= 23 Juli 1736). Twee dagen later vertrokken de Goarese en Bonese "rebellen" Karaeng Bontolangkasaʼ en Arung Kadju uit Goa naar Maros (dagboek van Goa) en begonnen daar een opstand tegen de Nederlanders. Zo was er terzelfder tijd op twee verschillende punten een strijd tegen de gevestigde toestanden ontbrand. De Nederlanders besteedden het eerst aandacht aan hun eigen gebied (Maros) en lieten Wadjoʼ nog bijna geheel ongemoeid."}}{{sfnp|Abidin|2017|p=301}} Perhatian Belanda pun terpecah, meski mereka tetap membantu Bone dengan mengirimkan persenjataan serta sekelompok kecil pasukan di bawah pimpinan Kapten Steinmetz.{{sfnp|Wellen|2014|p=144}}
Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.
<!-- Sumber-sumber Wajo menyatakan bahwa La Saléwangeng mundur secara sukarela dan menunjuk langsung La Maddukelleng sebagai penerusnya, walaupun surat semasa dari ''Arung'' [[Timurung, Ajangale, Bone|Timurung]] (Bone) dan ''Datu'' [[Baringeng, Lilirilau, Soppeng|Baringeng]] (Soppeng) kepada VOC menyebut bahwa La Maddukelleng naik takhta dengan [[kudeta|mengudeta]] pendahulunya.{{sfnp|Wellen|2018|p=56}} {{efn|Menurut sumber-sumber Bugis, La Gau bersikeras bahwa sepanjang ia masih hidup, hanya keluarganya saja yang dapat bertakhta di Sidenreng. Mendengar hal ini, La Maddukelleng marah besar dan menitahkan agar penguasa Sidenreng diganti hari itu juga. Alih-alih menerima dan menjalankan perintah La Maddukelleng, Sidenreng menolak untuk menyerah dan balik menantang sang ''arung matoa''.{{sfnp|Wellen|2018|pp=58–59}}}}
 
=== Pengepungan Makassar ===
La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA".
=== Akhir masa jabatan ===
Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.
 
== Masa tua ==
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
=== Perang Peneki ===
=== Perdebatan mengenai tuntutan hukuman ===
-->
 
== Penilaian dan peninggalan sejarah ==
Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda. Tapi fakta lain menyebutkan La Maddukkelleng telah diberi gelar oleh kerajaan Wajo sebagai Petta Pammaradekaingngi Wajo cukup gambaran betapa ia telah berhasil mengalahkan Bone dan Belanda yang saat itu menguasai Sulawesi Selatan. Petta Pammaredakaengngi Wajo berarti Sang Pemerdeka atau Sang Pembebas Wajo.{{sfnp|Wellen|2018|p=48, 68}}
 
Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukkelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam banyak kisah dan imaji orang-orang dari daerahnya.{{sfnp|Noorduyn|1953|p=144|ps=: "Het tamelijk grote aantal historische aantekeningen dat over deze vorst in Boeginese handschriften te vinden is, getuigt reeds voor de bijzondere mate waarin hij tot de verbeelding van zijn volk heeft weten te spreken."}} Bagi orang-orang Wajo, La Maddukkelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61–63}}
 
Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya [[kebebasan berpendapat|kemerdekaan berpendapat]], [[kebebasan bergerak|kemerdekaan bepergian]], dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini.{{sfnp|Reid|1998|p=147–148}} Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=158}}
==== '''Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo''' ====
 
Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukkelleng dan bangsawan Paser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Ikatan perkawinan sebagaimana bekal falsafah tiga ujung yang dipegang oleh La Maddukkelleng ternyata efektif merekatkan sejarah tiga kerajaan, Wajo, Kutai dan Paser.
 
Dari pernikahannya dengan Andin Anjang Ratu Paser, ia memiliki puteri yang kemudian dinikahkan dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Idris. Tradisi lokal dari pernikahan-pernikahan ini menempatkan La Maddukkelleng sebagai leluhur samping bagi para sultan Kutai sejak Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut menjadi Sultan Kutai. Ia adalah cucu La Maddukkelleng, putera Sultan Aji Muhammad Idris dan dibesarkan di Wajo.
 
Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan beberapa Belanda, namun fakta-fakta bahwa menantunya, Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai yang ikut berperang membantu mertuanya dan kemudian gugur di medan laga, dan kemudian dikuburkan di Wajo memberi penegas hubungan yang sangat kental antara Wajo dan Kutai waktu itu. Sultan Kutai itu menjadi satu-satunya bangsawan di luar Wajo yang mendapatkan gelar anumerta di tanah Bugis, Petta La Darise Matinroe ri Kawanne.
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
 
Kuburan Sultan Muhammad Idris yang berada di Wajo dan berdampingan dengan Kuburan La Maddukkelleng menjadi fakta sejarah betapa kuat hubungan itu. Bahkan kemudian Sultan Muhammad Idris dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia. Gelar ini menyusul gelar pahlawan bagi La Maddukkelleng yang telah diberikan sebelumnya. Di Kabupaten Wajo saat ini, jalan terpanjang di sana diberi nama Jalan Sultan Muhammad Idris. Tradisi-tradisi lain juga menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut.{{sfnp|Wellen|2014|p=96–97, 132–134}}.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
 
== Keterangan ==
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
{{notelist}}
 
== Rujukan ==
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
=== Sitiran ===
{{reflist|25em}}
 
=== Daftar pustaka ===
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
{{refbegin}}
 
* {{cite book |last=Abidin |first=Andi Zainal |authorlink=Andi Zainal Abidin|year=2017 |title=Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan |location=Makassar |publisher=Social Politic Genius |isbn=9786026183323 |ref=harv}}
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
* {{cite book |editor-last=Cummings |editor-first=William P. |date=2010 |title=The Makassar Annals |url=https://brill.com/view/title/23017 |translator=William Cummings |series=Bibliotheca Indonesia |volume=35 |location=Leiden |publisher=KITLV Press|isbn=9789067183666 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Noorduyn |first=Jacobus |year=1953 |title=Een Boeginees geschriftje over Arung Singkang |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=109 |issue=2 |pages=144–152 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Noorduyn |first=Jacobus |author-mask=3 |year=1955 |title=Een Achttiende-Eeuwse Kroniek van Wadjo’: Buginese Historiografie |location=[[Den Haag|‘s-Gravenhage]] |publisher=H. L. Smits |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Noorduyn |first=Jacobus |author-mask=3 |year=1972 |title=Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began |url=https://ecommons.cornell.edu/bitstream/1813/53538/1/INDO_13_0_1107127212_61_68.pdf |journal=Indonesia |volume=13 |issue=13 |pages=61–68 |doi=10.2307/3350682 |jstor=3350682 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Patunru |first=Abdurrazak Daeng |year=1983 |orig-year=1964 |title=Sejarah Wajo |location=Ujung Pandang |publisher=Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan |oclc=215821862 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Pelras |first=Christian |authorlink=Christian Pelras |year=1996 |title=The Bugis |url=https://archive.org/details/bugis0000pelr |location=Oxford |publisher=Blackwell Publishers |isbn=9780631172314 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Reid |first=Anthony |authorlink=Anthony Reid |year=1998 |chapter=Merdeka: The Concept of Freedom in Indonesia |editor1=David Kelly |editor2=Anthony Reid |title=Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=9780521637572 |pages=141–160 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |year=2009 |chapter=Credit among the Early Modern To Wajoq |editor1=David Henley |editor2=Peter Boomgaard |title=Credit and Debit in Indonesia: From Peonage to Pawnshop, from Kongsi to Cooperative |location=Leiden |publisher=KITLV Press |isbn=9789067183505 |pages=102–123 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |author-mask=3 |year=2014 |title=The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora |location=DeKalb |publisher=Northern Illinois University Press |isbn=9780875807126 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |author-mask=3 |year=2018 |chapter=La Maddukelleng and Civil War in South Sulawesi |editor1=Michael Charney |editor2=Kathryn Wellen |title=Warring Societies of Pre-Colonial Southeast Asia: Local Cultures of Conflict Within a Regional Context |series=Studies on Asian Topics |volume=62 |location=Kopenhagen |publisher=NIAS Press |isbn=9788776942281 |pages=47–71 |ref=harv}}
{{refend}}
 
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Raja PasirPaser]]|tahun=1726—1736|pendahulu=[[Sultan Aji Muhammad Alamsyah]]|pengganti=[[Sultan Sepuh I Alamsyah]]}}
{{kotak selesai}}
 
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan= [[Kerajaan_WajoKerajaan Wajo|Raja''Arung Matoa'' Wajo]] |tahun=1736—1754|pendahulu=[[La Salewangeng To Tenriruwa]]|pengganti=[[La Mad’danacaMaddanaca]]}}
{{kotak selesai}}
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://kesultanan_pasir.tripod.com/sadurangas/id10.html Daftar Sultan Pasir]
 
{{Pahlawan Indonesia}}
 
{{DEFAULTSORT:Maddukelleng, La}}
 
{{indo-bio-stub}}
 
{{lifetime|1700|1765|}}
 
{{DEFAULTSORT:Maddukelleng, La}}
[[Kategori:Sultan Pasir]]
[[Kategori:Sultan WajoPaser]]
[[Kategori:Arung Matoa Wajo]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Tokoh Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:SultanTokoh Pasirdari Wajo]]