Rakai Pikatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Membalikkan revisi 23913988 oleh 103.177.8.188 (bicara)
Tag: Pembatalan
 
(42 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{infobox royalty
'''Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku''' adalah raja keenam [[Kerajaan abi&idho]] ''periode Jawa Tengah'' (atau lazim disebut [[Kerajaan Mataram Kuno]]) yang memerintah sekitar tahun [[840]]-an – [[856]].
|title = '''Srī Mahārāja Rakai Pikatan'''<br>(menurut Prasasti Mantyasih)<br>
'''Rakai Pikatan Dyah Saladu'''<br>(menurut Prasasti Wanua Tengah III)<br>
'''Rakai Pikatan Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakabhumandala'''<br>(menurut Naskah Wangsakerta)<br>
'''Rakai Mamrati Sang Jatiningrat'''<br>(menurut Prasasti Wantil)
|image =
|birth_name =
|father = [[Rakai Garung]]
|mother =
|succession = Raja Medang ke-7
|reign = (6 Maret 847–27 April 855M)
|predecessor = [[Rakai Garung]]
|successor = [[Rakai Kayuwangi]]
|spouse =[[Pramodawardhani]]
|issue =[[Rakai Kayuwangi]]
|religion = [[Hindu]]
|house = [[Kategori:Wangsa Sanjaya|Sanjaya]]
}}
 
'''Rakai Pikatan''' adalah Raja [[Medang]] ketujuh yang memerintah sekitar tahun 847–855.<ref name=":22">Dwiyanto, Djoko. 1986. ''Pengamatan terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi''. Dalam ''PIA IV'' (IIa). Jakarta: Pulit Arkenas, hlm. 92–110.</ref><ref name=":5">{{Cite book|last=Boechari|date=2013|url=https://books.google.co.id/books?id=RidIDwAAQBAJ&pg=PA469|title=Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti|publisher=[[Kepustakaan Populer Gramedia]]|isbn=978-979-91-0520-2|language=id|url-status=live}}</ref> Dalam [[Prasasti Wanua Tengah III]] (908), ia memerintah antara 6 Maret 847 s.d. 27 April 855. Ia adalah raja setelah [[Rakai Garung]] dan sebelum [[Rakai Kayuwangi]].<ref name=":5" /> Namanya dikenal dalam [[Prasasti Wantil]], [[Prasasti Mantyasih]], dan [[Prasasti Wanua Tengah III]].
== Nama Asli dan Gelar ==
Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi [[prasasti Mantyasih]]. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah '''Mpu Manuku'''. Pada prasasti Munduan tahun [[807]] diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun [[824]] jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan.
 
== Identifikasi Mpu Manuku ==
Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun [[850]] Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun [[832]]. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi [[maharaja]]. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah [[Kerajaan Medang]] di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya [[Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung]].
Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versiPada [[prasastiPrasasti MantyasihMunduan]]. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah '''Mpu Manuku'''. Pada prasasti Munduan tahun [[807]] diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.{{Cn}} Kemudian pada prasasti[[Prasasti Kayumwungan]] tahun [[824]] jabatan Rakai Patapan dipegang oleh [[Mpu Palar]]. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan.di daerah lain.{{Cn}}
 
Selanjutnya menurut [[prasasti Gondosuli]], Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun [[832]]. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab [[Mpu Manuku]],{{Cn}}Pada [[Prasasti Tulang Air I]] bertahun [[850]], [[Mpu Manuku]] bergelar Rakai Patapan.<ref>{{Cite book|date=2015|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/24363/1/Prasasti%20dan%20raja-raja%20nusantara.pdf|title=Prasasti & Raja-Raja Nusantara|location=Jakarta Pusat|publisher=Museum Nasional Indonesia|pages=40|url-status=live}}</ref>
Menurut prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu [[Mataram]].
 
Menurut [[Prasasti Argapura]] tahun 863 termuat nama Rakai Pikatan bernama Pu Manuko(u). Itu berarti Mpu Manuku sudah pindah jabatan dari Patapan ke Pikatan dan menjabat sebagai kepala daerah Pikatan.
Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi [[brahmana]] bergelar Sang Jatiningrat pada tahun [[856]].
 
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Dyah Balitung, disebutkan nama aslinya Rakai Pikatan Dyah Saladu.<ref name=":5"/>
== Perkawinan dengan Pramodawardhani ==
Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah [[Pramodawardhani]] dari [[Wangsa Sailendra]] yang beragama [[Buddha]] [[Mahayana]], sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama [[Hindu]] [[Siwa]].
 
Sementara, hasil identifikasi diatas tentang Mpu Manuku, berdasarkan urutan tahun Prasasti dan juga dibawah Pemerintahan Rakai Kayuwangi.
[[Pramodawardhani]] adalah putri [[Samaratungga]] yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun [[824]]. Saat itu yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sama sekali tidak disebut. Mungkin saat itu [[Pramodawardhani]] belum menjadi istri Mpu Manuku.
 
Kemungkinan lebih tepat disebut bahwa Mpu Manuku berstatus sebagai Raja Daerah Patapan kemudian Pindah Jabatan menjadi Raja Daerah Pikatan Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Sejarawan De Casparis menganggap Rakai Patapan Mpu Palar sama dengan [[Maharaja]] [[Rakai Garung]] dan merupakan ayah dari Mpu Manuku. Keduanya merupakan anggota [[Wangsa Sanjaya]] yang berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan [[Wangsa Sailendra]].
 
Sedangkan nama ayah dari Rakai Kayuwangi, sesuai dengan yang disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III yaitu Dyah Saladu.<ref name=":5"/>
Teori ini ditolak oleh [[Slamet Muljana]] karena menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar merupakan pendatang dari [[pulau Sumatra]] dan semua anaknya perempuan. Lagi pula, Mpu Manuku sudah lebih dulu menjabat sebagai Rakai Patapan sebelum Mpu Palar. Kemungkinan bahwa Mpu Manuku merupakan putra Mpu Palar sangat kecil.
 
== Isi Prasasti Wantil ==
Sementara itu, Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan pada tahun [[807]], sedangkan [[Pramodawardhani]] masih menjadi gadis pada tahun [[824]]. Hal ini menunjukkan kalau perbedaan usia di antara keduanya cukup jauh. Mungkin, Rakai Pikatan Mpu Manuku berusia sebaya dengan mertuanya, yaitu [[Samaratungga]].
=== Perpindahan ibu kota ===
Menurut [[prasasti Wantil]], MpuRakai ManukuPikatan membangun ibu kota baru di desa [[Mamrati]] sehingga ia pun dijuluki sebagai [[Rakai]] Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu [[Mataram]].
 
=== Penyerahan takhta ke Rakai Kayuwangi ===
[[Prasasti Wantil]] juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi [[brahmana]] bergelar '''Rake Mamrati Sang Jatiningrat''' pada tahun [[856]].
 
=== PerkawinanPernikahan dengan Pramodawardhani ===
Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinanpernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah [[Pramodawardhani]] dari [[Wangsa Sailendra]] yang beragama [[Buddha]] [[Mahayana]], sementara MpuRakai ManukuPikatan sendiri memeluk agama [[Hindu]] [[Siwa]].
 
[[Pramodawardhani]] adalah putri [[Samaratungga]] yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun [[824]].
 
[[Pramodawardhani]] bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar [[mpu]] belum identik dengan kaum laki-laki.
Baris 25 ⟶ 51:
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri [[Dyah Balitung]], yaitu raja yang mengeluarkan [[prasasti Mantyasih]] ([[907]]).
 
== PerangPendapat Melawanpakar Balaputradewasejarah ==
=== Menurut Krom ===
[[Balaputradewa]] putra [[Samaragrawira]] adalah raja [[Kerajaan Sriwijaya]]. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] sehingga secara otomatis, [[Balaputradewa]] adalah saudara [[Pramodawardhani]].
 
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh [[Dyah Lokapala]] putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai [[Balaputradewa]]. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal [[Samaratungga]] yang berakhir dengan kekalahan [[Balaputradewa]].
 
=== Menurut Slamet Muljana ===
[[Slamet Muljana]] menolak anggapan bahwa [[Samaragrawira]] identik dengan [[Samaratungga]] karena menurut prasasti Kayumwungan, [[Samaratungga]] hanya memiliki seorang anak bernama [[Pramodawardhani]]. Menurutnya, [[Samaragrawira]] lebih tepat disebut sebagai ayah dari [[Samaratungga]]. Dengan demikian, [[Balaputradewa]] merupakan paman dari [[Pramodawardhani]].
 
=== Menurut Boechari ===
Teori populer menganggap [[Balaputradewa]] membangun benteng dari timbunan batu di atas bukit Ratu Baka dalam perang melawan [[Rakai Pikatan]] dan [[Pramodawardhani]]. Namun, menurutMenurut sejarawan BuchariBoechari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama [[Balaputradewa]], melainkan atas nama Rakai Walaing [[Mpu Kumbhayoni]]. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan [[Rakai Pikatan]] karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu [[Sanjaya]].
 
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari [[Balaputradewa]], melainkan julukan untuk [[Dyah Lokapala]], yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya.
 
Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu [[Balaputradewa]] mungkin keliru. Kiranya [[Balaputradewa]] meninggalkan [[pulau Jawa]] bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta [[Kerajaan Medang]], mengingat ia bukan putra [[Samaratungga]] melainkan adiknya.
 
[[Wangsa Sailendra]] di bawah pimpinan [[Dharanindra]] berhasil menaklukkan [[Kerajaan Sriwijaya]], bahkan sampai [[Kamboja]]. Sepeninggal [[Dharanindra]], kekuasaannya diwarisi oleh [[Samaragrawira]]. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, [[Kamboja]] berhasil merdeka dari penjajahan [[Jawa]] pada tahun [[802]].
 
Atas dasar tersebut, sepeninggal [[Samaragrawira]] mungkin kekuasaan [[Wangsa Sailendra]] dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas [[pulau Jawa]] diberikan kepada [[Samaratungga]], sedangkan kekuasaan atas [[pulau Sumatra]] diberikan kepada [[Balaputradewa]].
 
== Pendirian Candi Prambanan ==
Prasasti Wantil disebut juga prasasti[[Prasasti SiwagrehaSiwagrha]] yang dikeluarkan pada tanggal [[12 November]] [[856]]. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci SiwagrehaSiwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
 
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek [[Candi Prambanan]]. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.
 
== Akhir Pemerintahan ==
[[Prasasti Wantil]] juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi [[brahmana]] bergelar Sang Jatiningrat pada tahun [[856]]. Takhta [[Kerajaan Medang]] kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu [[Dyah Lokapala]] alias [[Rakai Kayuwangi]].
 
Penunjukan putra bungsu sebagai [[maharaja]] ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing [[Mpu Kumbhayoni]] sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul [[prasasti Munggu Antan]] atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja [[prasasti Mantyasih]], sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan [[Rakai Kayuwangi]] telah terjadi perpecahan kerajaan.
 
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri.
 
== Kutipan ==
Pada tahun [[807]] Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai Patapan. Ia turun takhta menjadi [[brahmana]] pada tahun [[856]]. Mungkin saat itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di desa Pastika.
{{reflist|2}}
 
== KepustakaanReferensi ==
* Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* [[Slamet Muljana]]. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
 
{{s-start}}
{{Succession box|jabatan=Raja Medang{{br}}'''<small>{{nowrap|Menurut Wanua Tengah III}}</small><br>([[Wangsa Syailendra]])|tahun=847—855|pendahulu=[[Rakai Garung]]|pengganti=[[Rakai Kayuwangi]]}}
{{End}}
 
[[Kategori:Wangsa Sailendra]]
 
[[Kategori:Raja Medang]]
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah)|tahun=840? – 856 |pendahulu=[[Samaratungga]]|pengganti=[[Rakai Kayuwangi]]}}
{{kotak selesai}}
 
[[Kategori:Wangsa Sanjaya]]
[[Kategori:Kerajaan Medang]]
 
[[en:Rakai Pikatan]]