Riba: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(89 revisi perantara oleh 54 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{riset asli}}
'''Riba''' ({{lang-ar|الربا|Ar-Ribā}}) adalah penetapan [[bunga (keuangan)|bunga]] atau melebihkan jumlah [[pinjaman]] saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna
== Riba dalam pandangan agama ==
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam,
=== Riba dalam agama Islam ===
{{Utama|Riba (Islam)}}
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah [[haram]]. Ini dipertegas dalam [[Alquran|Al-Quran]] [[Surah Al-Baqarah]] ayat 275: ''...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...''. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk [[Majelis Ulama Indonesia]]), bunga [[bank]] termasuk ke dalam riba.
==== Jenis-
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua
;* Riba Qardh
;* Riba Jahiliyyah
;* Riba Fadhl
;* Riba Nasi’ah
=== Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang ===
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing, yaitu:
# Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya ''(return)'' tidak pasti dan tidak tetap.
# Membungakan [[uang]] adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya ''(return)'' dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai ''mudharib'' atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau ''return of investment'' sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
===
Sekali lagi, Islam mendorong praktik [[bagi hasil]] serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
{| class="wikitable" above="Tabel Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil" width="500px"
|-
! Bunga
! Bagi Hasil
|-
| Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
| Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
|-
| Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
| Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|-
| Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
| Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
|-
| Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
| Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
|-
| Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
| Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
|}
=== Riba dalam agama Yahudi ===
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam [[Perjanjian Lama]] maupun undang-undang [[Talmud]].
[[Kitab Keluaran]] 22:25 menyatakan:{{br}}Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
[[Kitab Ulangan]] 23:19 menyatakan:{{br}}“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
[[Kitab Ulangan]] 23:20 menyatakan:{{br}}“'''Dari orang asing boleh engkau memungut bunga''', tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."
[[Kitab Imamat]] 35:7 menyatakan:{{br}}“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
=== Konsep bunga di kalangan Kristen ===
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun demikian, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam [[Lukas]] 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Namun, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga.
Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para klerus Kekristenan awal (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Protestan (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
[[Kitab Ulangan]] 23:20 menyatakan:{{br}}“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“
==== Pandangan para klerus awal Kristen (Abad I - XII) ====
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. Ada beberapa penjelasan, yaitu:
* St. [[Basilius Agung|Basilius]] (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
* St. [[Gregorius dari Nyssa]] (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
* St. [[Yohanes Krisostomus]] (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
* St. [[Ambrosius]] mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
* St. [[Augustinus]] berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
* St. [[Anselmus dari Canterbury]] (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang ([[hukum kanon]]): [[Konsili Elvira]] (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
* [[Konsili Arles]] (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
* [[Konsili Nicea I]] (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
==== Kesimpulan pandangan para klerus Kekristenan awal ====
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam [[Perjanjian Lama]] maupun [[Perjanjian Baru]].
Baris 57 ⟶ 96:
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
==== Pandangan
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi ''interest'' dan ''usury''. Menurut mereka, ''interest'' adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan ''usury'' adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut
'''Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.'''
Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan,
==== Pandangan Para Reformis
Pendapat para reformis Protestan telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah [[John Calvin]] (1509-1564), [[Charles du Moulin]] (1500 - 1566), [[Claude Saumaise]] (1588-1653), [[Martin Luther]] (1483-1546), [[Melanchthon]] (1497-1560), dan [[Zwingli]] (1484-1531).
Beberapa pendapat [[John Calvin|Calvin]] sehubungan dengan bunga antara lain:
Baris 77 ⟶ 116:
[[Du Moulin]] mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. [[Saumise]], seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
===== Pandangan Gereja Katolik =====
Menurut Gereja Katolik pandangan mengenai riba tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St. [[Gregorius]] dan St. [[Yohanes Krisostomus]]. Tetapi prinsip dari riba (bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti yang disebutkan oleh Kitab Matius 25:27 menyatakan:{{br}}"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”
Akan tetapi pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau diinvestasikan. Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun demikian, kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan.
Akan tetapi, prinsip ini pun harus dilaksanakan dengan bijaksana. Misalnya, seseorang mempunyai uang 1 miliar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau perlu, pemilik uang itu harus memberikannya dengan sukarela. Namun bila berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjaman yang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut, seperti yang dilakukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.
== Lihat pula ==
* [[Perbankan syariah]]
{{Authority control}}
[[Kategori:Hukum Islam]]
[[Kategori:
|