Perjanjian Giyanti: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →Pasal 4 |
|||
(105 revisi perantara oleh 55 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox treaty
|name=Perjanjian Giyanti
|image=MsGiyanti.jpg
|image_size=250px
|caption=Dokumen Perjanjian Giyanti (1755) tersimpan di [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]]
|context=[[Perang Takhta Jawa Ketiga]]
|date_signed=13 Februari 1755
|language=[[Bahasa Jawa|Jawa]] dan [[Bahasa Belanda|Belanda]]
|location_signed=Dukuh Kerten, [[Jantiharjo, Karanganyar, Karanganyar|Desa Jantiharjo]], [[Kabupaten Karanganyar]], [[Jawa Tengah]]
|mediators=[[Berkas:VOC.svg|20px]] [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC)<hr>
|parties=
* {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kesultanan Mataram]]
* Kelompok [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]]
}}
'''Perjanjian Giyanti''' ({{lang-jv|''Prajanjèn ing Janti''}}, {{lang-nl|Verdrag van Gijanti}}, {{lit}} "Perjanjian di Janti") adalah sebuah perjanjian antara [[VOC]] dengan [[Pangeran Mangkubumi]].<ref name="talk">[https://www.youtube.com/watch?v=lvbjV-fzb9c Talk Show "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" narasumber GKR. Wandansari]</ref> Perjanjian tersebut secara resmi membagi kekuasaan [[Kesultanan Mataram]] kepada [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] dan Pangeran Mangkubumi.<ref name=Brown63>{{harvnb|Brown|2003|loc=p. 63: "Pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi sisa Kesultanan Mataram menjadi dua bagian. Satu bagian dengan ibu kotanya di Surakarta dipimpin oleh putra [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]], Sunan Pakubuwana III. Bagian lain, dengan ibu kotanya di Yogyakarta, diperintah oleh adik Pakubuwana II, Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I."}}</ref><ref>{{harvnb|Pigeaud|1967|pp=164–169}}.</ref>
[[Berkas:Ringin Jantiharjo.jpg|thumb|180px|Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti]]▼
[[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] alias Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi yang sudah bergelar Sultan Hamengkubuwana I kemudian ikut memerangi kelompok Pangeran Sambernyawa. Mereka kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam kesepakatan selanjutnya, yaitu [[Perjanjian Salatiga]], pada tahun [[1757]].
[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|thumb|Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757]]▼
Menurut dokumen register harian '''N. Hartingh''' (Gubernur [[VOC]] untuk Jawa Utara), pada tanggal [[10 September]] [[1754]] N. Hartingh berangkat dari [[Semarang]] untuk menemui '''Pangeran Mangkubumi'''. Pertemuan dengan [[Pangeran Mangkubumi]] sendiri baru pada [[22 September]] [[1754]]. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. [[Pangeran Mangkubumi]] didampingi oleh '''Pangeran Notokusumo''' dan '''Tumenggung Ronggo'''. Hartingh didampingi '''Breton''', Kapten '''Donkel''', dan sekretaris '''Fockens'''. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah '''Pendeta Bastani'''.▼
Nama "Giyanti" diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian, yaitu di Desa Janti, dalam [[ejaan van Ophuijsen]] menjadi Gijanti. Kini terletak di Dusun Kerten, [[Jantiharjo, Karanganyar, Karanganyar|Desa Jantiharjo]], [[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]], [[Jawa Tengah]].<ref> {{cite web|title= Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam|author= Aswab Nanda Pratama|year= 2019|accessdate= 20 Januari 2021|website= Kompas.com|url= https://nasional.kompas.com/read/2019/02/13/13035281/hari-ini-dalam-sejarah-perjanjian-giyanti-memecah-wilayah-mataram-islam?page=all}} </ref>
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di [[Cirebon]] ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan [[Mataram]] sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur [[VOC]] mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan [[Mataram]] ketika [[Paku Buwono II]] wafat di daerah '''Kabanaran''', bersamaan [[VOC]] melantik Adipati Anom menjadi [[Paku Buwono III]]).▼
== Latar belakang ==
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada [[23 September]] [[1754]] akhirnya tercapai '''nota kesepahaman''' bahwa '''Pangeran Mangkubumi''' akan memakai gelar '''Sultan''' dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah '''Pantai Utara Jawa''' (orang [[Jawa]] sering menyebutnya dengan '''daerah pesisiran''') yang telah diserahkan pada [[VOC]] (orang Jawa sering menyebut dengan '''Kumpeni''') tetap dikuasai [[VOC]] dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh [[VOC]] akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada [[Paku Buwono III]]. Pada 4 November tahun yang sama, [[Paku Buwono III]] menyampaikan surat pada '''Gubernur Jenderal [[VOC]] Mossel''' atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur [[Jawa]] Utara dan Mangkubumi.▼
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari [[Perang Takhta Jawa Ketiga]] pada tahun [[1749]]-[[1757]]. [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]], [[susuhunan|sunan alias susuhunan]] Mataram, telah mendukung pemberontakan Tionghoa melawan Belanda.{{sfn|Ricklefs|1983|p=274}} Pada tahun [[1743]], sebagai konsekuensi untuk pemulihan kekuasaannya, sunan terpaksa menyerahkan pantai utara [[Jawa]] dan [[Madura]] kepada [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]].
[[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] didukung [[VOC|Kompeni]] menggantikan takhta setelah wafatnya Sunan Pakubuwana II, namun ia harus menghadapi saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa, yang pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang [[Sragen]]. Pada tahun [[1749]], [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]], adik Sunan Pakubuwana II, yang tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah, bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III. VOC mengirim pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun [[1755]], Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima tawaran perdamaian di Giyanti, yang menyebabkan Mataram terbagi menjadi dua bagian.<ref>{{Cite web|url=https://www.britannica.com/event/Gianti-Agreement|title=Gianti Agreement {{!}} Indonesia [1755]|website=Encyclopedia Britannica|language=en|access-date=2020-01-08}}</ref> Pangeran Sambernyawa baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun [[1757]] melalui [[Perjanjian Salatiga]], yang memberinya hak untuk memerintah sebagian ''siti lungguh'' ([[apanase|tanah apanase]]) di wilayah ''nagara agung'' (wilayah inti) Mataram bagian timur.<ref name="mangkunegaran">Wasino. (2014) ''Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944''. Jakarta: Kompas Media Nusantara.</ref> Ia kemudian bergelar sebagai [[Mangkunegara I|Adipati Mangkunegara I]].<ref name="mangkunegaran"/>
== Perundingan ==
▲[[Berkas:
▲Menurut
▲
Semula, Mangkubumi keberatan melepas gelar susuhunan, karena sebagian rakyat Mataram telah mengakuinya sebagai susuhunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai susuhunan di daerah Kabanaran ketika [[Pakubuwana II]] wafat, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi [[Pakubuwana III]].
▲Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal [[23 September]] [[1754]], akhirnya tercapai
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September [[1754]] dan surat persetujuan [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]], maka pada tanggal [[13 Februari]] [[1755]] ditandatanganilah '''Perjanjian di Giyanti'''.<ref>{{Cite book|title=Sejarah Indonesia Modern|last=Ricklefs|first=M.C.|publisher=Gadjah Mada University Press|year=1991|location=Yogyakarta}}</ref>
== Isi perjanjian ==
▲[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian, yakni [[Kesunanan Surakarta]] di bawah kepemimpinan [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] dan [[Kesultanan Yogyakarta]] di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]]. Sebelumnya, [[Keraton Surakarta]] telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]] sebagai pengganti [[Keraton Kartasura]] yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan [[Amangkurat V|Sunan Amangkurat V]].<ref> {{cite journal|title= Keruntuhan Birokrasi Tradisional di Kasunanan Surakarta|author= Muhammad Anggie Farizqi Prasadana, Hendri Gunawan|journal= Handep|volume= 2|number= 2|year= 2019|issn= 2614-0209|page= 190|url= http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36}} </ref>
Perjanjian Giyanti memuat 10 pasal, antara lain:<ref> {{cite book|title= Kadipaten Pakualaman|author= Soedarisman Poerwokoesoemo|publisher= Gadjah Mada University Press|year= 1985}} </ref><ref>{{Cite book|last=Asmorojati|first=Anom Wahyu|date=2020-11-18|url=https://books.google.co.id/books?id=ZPAUEAAAQBAJ&lpg=PA143&ots=gfWJdGR6v_&dq=JJ%20Steenmulder&hl=id&pg=PA142#v=onepage&q=JJ%20Steenmulder&f=false|title=Hukum Pemerintahan Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bingkai NKRI|publisher=UAD Press|isbn=978-602-0737-82-9|pages=142-143|language=id|url-status=live}}</ref>
=== Pasal 1 ===
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai
=== Pasal 2 ===
Akan senantiasa diusahakan adanya
=== Pasal 3 ===
Sebelum Pepatih Dalem (''
=== Pasal 4 ===
Sri Sultan tidak akan mengangkat
=== Pasal 5 ===
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang
=== Pasal 6 ===
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas
=== Pasal 7 ===
Sri Sultan akan memberi bantuan
=== Pasal 8 ===
Sri Sultan berjanji akan menjual
=== Pasal 9 ===
Sultan berjanji akan
=== Penutup ===
Perjanjian ini dari pihak VOC
== Polemik ==
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri konflik yang sedang terjadi, karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti, [[Pangeran Sambernyawa]] adalah rival [[Pangeran Mangkubumi]] untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Karena itu, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.
Di sisi lain, Perjanjian Giyanti hanya merundingkan tentang wilayah yang diterima tanpa membagi identitas kebudayaan, sehingga kedua keraton saling mengakui budaya peninggalan Kesultanan Mataram. Pembagian dasar kebudayaan kedua keraton baru dirundingkan dua hari setelah Perjanjian Giyanti, dimana perjanjian pembagian tersebut dikenal dengan [[Perjanjian Jatisari]].<ref name="talk"/>
== Referensi ==▼
=== Kutipan ===
{{reflist|2}}
=== Sumber ===
*{{cite book|last=Brown|first=Colin|year=2003|title=A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?|location=Crows Nest, Australia|publisher=Allen & Unwin|isbn=978-1-86508-838-9|url=https://books.google.com/books?id=uGrIdxXzupYC}}
*{{cite book|editor-last1=Frederick|editor-first1=William H.|editor-last2=Worden|editor-first2=Robert L.|year=1993|title=Indonesia: A Country Study|location=Washington|publisher=GPO for the Library of Congress|url=http://countrystudies.us/indonesia/}}
*{{cite book|last=Pigeaud|first=Theodore Gauthier Th.|year=1967|title=Literature of Java: Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A.D.|location=The Hague|publisher=Martinus Nijhoff|url=https://books.google.com/books?id=70DgAAAAMAAJ}}
*{{cite journal|last=Ricklefs |first=Merle Calvin |title=The crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=139 |issue=2/3 |year=1983 |pages=268–290 |doi=10.1163/22134379-90003445}}
{{refend}}
== Bacaan lanjutan ==
▲== Referensi ==
1. [[Soedarisman Poerwokoesoemo]], KPH, Mr (1985) KADIPATEN PAKUALAMAN, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.▼
3. [[Purwadi]] 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu▼
▲
{{DEFAULTSORT:Giyanti}}
▲[[Kategori:Perjanjian melibatkan Hindia-Belanda]]
[[Kategori:Peristiwa 1755]]
[[Kategori:Sejarah Kota Surakarta]]
[[Kategori:Sejarah Yogyakarta]]
[[Kategori:Sejarah Jawa]]
|