Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- ijin + izin); kosmetik perubahan |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(71 revisi perantara oleh 24 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Sejarah [[Kota Samarinda]]''' dari perkampungan kuno hingga menjadi sebuah kota secara administratif dipengaruhi oleh sistem politik pemerintahan [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura|Kerajaan Kutai Kertanegara]] (1300–1844), [[Kesultanan Banjar|Kerajaan Banjar]] (1546–1700), [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]] (1844–1942 dan 1945–1949), Pemerintah Militer [[Jepang]] (1942–1945), dan [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]] (1950–sekarang).<ref name="Sarip">{{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2017|title=Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999|publisher=Samarinda: RV Pustaka Horizon|pages=14}}</ref>
== Asal-Usul Nama Samarinda ==
Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.
Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di [[Samarinda Seberang]] yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.<ref>Tim Penyusun (2004)</ref>
Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.<ref>Dachlan, Oemar (1978). “Asal-Usul Nama Samarinda Sejak Zaman sebelum Kemerdekaan, Nama Ini Sudah Terkenal di Seluruh Indonesia.” Jakarta: Majalah Bulanan Prima, April 1978) dalam Oemar Dachlan, Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu, 2000, hlm. 133.</ref>
Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera.<ref>Al Haddad, Sajed Alwi Tahir (1887). Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh. Djohor al Mahtab Addaini, p.101-106.</ref>
Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari [[bahasa Melayu]] dari kata “samar” dan “indah”.
Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut Samarinda dengan lafal “Samarenda” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata “beta”) walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari''</ref>
Penelitian yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah Kota Samarinda tahun 2024 dalam Jurnal Riset ''Inossa'' menemukan delapan versi asal-usul nama Samarinda. Hasil validasi dan verifikasi terhadap tiap versi menyimpulkan bahwa nama Samarinda merupakan gabungan kata ''sama'' dan ''randah'' dari bahasa Banjar. Basisnya adalah kondisi geografis permukaan daratan Samarinda yang sama rendahnya dengan permukaan Sungai Mahakam yang membelah kota ini. Hasil penelitian ini juga memperkuat penelitian terdahulu yang mengungkap kekeliruan hari jadi Kota Samarinda berbasis kisah kedatangan perantauan dari pulau luar Kalimantan.<ref>Sarip (2024), ''Studi Historis''</ref>
== Pendiri Kota Samarinda ==
Burhan Djabier Magenda dalam penelitian disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku di New York mengungkapkan, orang Banjar menetap di sepanjang Sungai Mahakam, mendirikan kota-kota kecil, membawa serta keterampilan mereka dalam perdagangan dan organisasi. Orang Banjar-lah yang mendirikan kota-kota kecil di sepanjang Sungai Mahakam, dari Samarinda sampai [[Long Iram, Kutai Barat|Long Iram]].<ref>Magenda (1991), ''East Kalimantan'', p. 3.</ref>
Yekti Maunati, ahli sosiologi dan antropologi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dalam penelitiannya yang terbit kali pertama dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LKiS dengan judul ''Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,'' mendeskripsikan peran strategis orang Banjar membantu perpolitikan Kesultanan Kutai, yang dimulai dengan pembangunan permukiman bernama Samarinda.<ref>Maunati (2004), ''Identitas Dayak'', p. 313.</ref>
== Penduduk Awal Samarinda ==
=== Tonggak Sejarah Kutai dan Samarinda ===
Sebelum dikenalnya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam [[Kerajaan Kutai Kartanegara|Kerajaan Kutai Kertanegara]] yang berdiri pada tahun 1300 M di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Kutai Lama]], sebuah kawasan di hilir [[Sungai Mahakam]] dari arah tenggara Samarinda.<ref name="Adham">{{cite book|last=Adham|first=D.|date=1979|title=Salasilah Kutai|publisher=Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur|pages=216}}</ref>
Kerajaan Kutai Kertanegara merupakan daerah bawahan (vasal) dari [[Kerajaan Banjar]] yang semula bernama [[Kerajaan Negara Dipa]], ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14—15 M).<ref name="HB">{{cite book|last=Ras|first=Johannes Jacobus|authorlink=Johannes Jacobus Ras|date=1990|title=Hikayat Banjar|language=bahasa Melayu|publisher=Diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka}}</ref>
Pusat Kerajaan Kutai Kertanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan ([[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Jembayan]]) pada tahun 1732, terakhir di [[Tenggarong]] sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah [[Suku Kutai]] Kuno yang disebut Melanti termasuk ras [[Melayu Deutero|Melayu Muda]] (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari [[Semenanjung Kra]] pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).<ref>Tim Penyusun (1992), p. 11</ref>
=== Enam kampung awal di Samarinda dan penghuninya ===
Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201–1300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:
# [[Pulau Atas, Sambutan, Samarinda|Pulau Atas]];
# Karangasan ([[Karang Asam]]);
# Karamumus ([[Karang Mumus, Samarinda Kota, Samarinda|Karang Mumus]]);
# Luah Bakung ([[Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda|Loa Bakung]]);
# Sembuyutan ([[Sambutan, Sambutan, Samarinda|Sambutan]]); dan
# Mangkupelas ([[Mangkupalas, Samarinda Seberang, Samarinda|Mangkupalas]]).
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) ''Surat Salasilah Raja Kutai Kertanegara'' yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.<ref>Mees, p. 134</ref>
== Masuknya Orang Banjar ke Samarinda ==
[[Urang Banjar]] adalah suku bangsa yang menempati wilayah [[Kalimantan Selatan]], serta sebagian [[Kalimantan Tengah]] dan sebagian [[Kalimantan Timur]]. Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan [[Malaysia]] dan [[Brunei]] merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni [[Provinsi Kalimantan|Kalimantan]] dengan ibu kota [[Banjarmasin]].
Urang Banjar adalah masyarakat asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) urang Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari [[Amuntai]] di bawah pimpinan Aria Manau dari [[Kerajaan Kuripan]] (Hindu) merintis berdirinya [[Kerajaan Sadurangas]] (Pasir Balengkong) di daerah [[Paser]]. Selanjutnya urang Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya [[bahasa Banjar]] sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 17-18</ref>
Awal pemukiman urang Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kertanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya [[Kesultanan Demak]] pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.<ref name="Depdikbud">Tim Penyusun (1976). ''Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Timur''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17.</ref>
Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.<ref name="pemkot">{{cite web |url=http://www.samarindakota.go.id/content/sejarah-kota-samarinda |title=Sejarah Kota Samarinda |publisher=Pemerintah Kota Samarinda |accessdate=31 Desember 2014 |archive-date=2017-05-30 |archive-url=https://web.archive.org/web/20170530045733/http://www.samarindakota.go.id/content/sejarah-kota-samarinda |dead-url=yes }}</ref>
== Kedatangan Orang Bugis Wajo ke Samarinda ==
Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas bermacam-macam versi.
Versi ke-1 dari tim penyusun sejarah Samarinda yang mengadakan seminar pada 21 Agustus 1987 memutuskan, telah terjadi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin [[La Mohang Daeng Mangkona]] di wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara pada 21 Januari 1668. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Latar belakang perantauan orang-orang dari tanah [[Kesultanan Gowa]] ([[Sulawesi Selatan]]) itu karena menolak [[Perjanjian Bongaya]] setelah Kesultanan Gowa kalah dalam perang melawan pasukan Belanda.<ref name="MKSKS 168"/> Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.<ref name="MKSKS 168" />
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat kepemimpinan Wali kota Samarinda Drs. H. [[Abdul Waris Husain]] dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah".<ref name="MKSKS 168" /> Namun, penelitian yang dipublikasikan di ''Yupa: Historical Studies Journal'' menemukan hasil bahwa narasi resmi Hari Jadi Kota Samarinda yang berlandaskan kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda Seberang pada 21 Januari 1668, ternyata tidak valid. Kisah La Mohang Daeng Mangkona sebagai pemimpin para perantau Bugis Wajo ke Samarinda tidak berdasarkan sumber sejarah yang valid. Penelitian merekomendasikan kepada Pemerintah Kota Samarinda agar merevisi dan merekonstruksi ulang sejarah Hari Jadi Kota Samarinda sesuai dengan metode [[historiografi]].<ref>Sarip (2021), ''Kontroversi Sejarah''</ref>
Sejumlah kronologi perkembangan Samarinda sejak masa permukiman kuno hingga menjadi kota modern menunjukkan bahwa kedatangan orang-orang dari pulau seberang bukanlah titik awal kehidupan Samarinda. Yang sebenarnya, peradaban di Samarinda didirikan secara kolektif oleh penduduk Kutai dan Banjar sejak relasi antara Kerajaan Kutai Kertanegara dan Kerajaan Banjar.<ref>Sarip (2021), ''Kontroversi Sejarah''</ref>
Versi ke-2 menurut cerita rakyat bahwa rombongan Bugis Wajo merantau ke Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai [[Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura|Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martadipura]] (1730–1732). Latar belakang hijrahnya La Mohang Daeng Mangkona ke Samarinda Seberang disebabkan kepadatan pemukiman para pendatang Bugis Wajo di Muara [[Sungai Kendilo]], daerah Paser. Sebelumnya, mereka migrasi dari Wajo di bawah pimpinan [[La Madukelleng|La Maddukkelleng]] karena negeri kelahirannya dikuasai oleh [[Kerajaan Bone]] akibat serangan Bone setelah kasus penikaman seorang bangsawan Bone oleh La Maddukkelleng pada sebuah acara pesta sabung ayam.<ref name="MKSKS 168">Tim Penyusun (2004), p. 33</ref>
Versi ke-3 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Jembayan]] pada tahun 1732–1782. Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah Anakoda Tujing.<ref>Mees, pp. 264-265</ref>
Mengenai nama La Mohang Daeng Mangkona yang diklaim sebagai pendiri Samarinda Seberang, hal ini kontroversi. Namanya tidak ditemukan dalam sumber arsip dan literatur kolonial. Namanya juga tidak tercatat dalam surat perjanjian antara Bugis dan Raja Kutai. Yang tercatat dalam perjanjian beraksara Arab-Melayu dan penelitian S.W. Tromp (1881) sebagai pemimpin Bugis adalah Anakhoda Latuji.<ref>Tromp, Solco Walle (1887). Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai. Bijdragen toot de Taal Land en Volkenkunde, vol. 36, issue 1, p.177.</ref> Adapun makam yang berpapan nama sebagai makam tokoh pendiri Samarinda, yakni La Mohang Daeng Mangkona, baru ditemukan oleh M. Thaha pada dekade 1990-an. Sebelumnya, tidak ada pemeliharaan dan pengenalan atas makam tersebut. Hal ini diinformasikan oleh Pemerintah Kota Samarinda, ketika menerbitkan buku profil 46 tokoh masyarakat penerima penghargaan dalam rangka HUT Pemkot Samarinda ke-47 tahun 2007.<ref>Vaturusi, Umar dan Herman A. Hasan (2007). Pengabdiannya Menuai Penghargaan Mutiara-Mutiara Samarinda Edisi Ketiga. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda, p.39.</ref>
== Era Kolonial Belanda ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gezicht over Samarinda en de Mahakam-rivier TMnr 60018720.jpg|jmpl|ka|250px|Pemukiman penduduk di tepi Sungai Mahakam pada zaman kolonial Belanda. Wilayah ini sekarang menjadi kawasan [[Karang Asam]].]]
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Kesultanan Kutai Kertanegara melalui [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Muhammad Salehuddin]] menyatakan takluk kepada pemerintahan Belanda setelah kalah dalam pertempuran di Tenggarong. Gubernemen Belanda menempatkan Assistant Resident di [[Palaran, Samarinda|Palarang]] untuk mengawasi wilayah Kerajaan Kutai di bagian timur. Palarang yang dimaksud adalah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Palaran, Kelurahan [[Rawa Makmur, Palaran, Samarinda|Rawa Makmur]] dengan jarak 8 mil (sekitar 13 kilometer) di hilir samarinda. Pejabat Assistant Resident pertama adalah H. Van de Wall sebagai wakil dari Resident der Zuider-en ooster-Afdeeling van Borneo. Belanda menetapkan wilayah Palarang sebagai pusat pemerintahan di Afdeeling Oost-Borneo karena merintis eksploitasi arang batu yang cukup potensial di sana.
Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota sekarang. Tahun 1888 sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang.
Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku barbar yang marak terjadi.<ref>Sarip (2016), ''Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda'', p. 32</ref>
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya 28 April 1903, luas wilayah Vierkante-Paal ditambah lagi di bagian hilir dengan memasukkan Sungai Kerbau (sekarang termasuk Kelurahan Selili) dengan jarak 800 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 tanggal 28 April 1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum C.B. Nederburg.<ref>Tim Penyusun (1992), p. 67</ref>
Sekitar tahun 1870 La Jawa gelar Kapitan Jaya memimpin beberapa orang Bugis untuk membuka [[Bugis, Samarinda Kota, Samarinda|Kampung Bugis]] (di kawasan kantor Korem sekarang). Tahun 1880 La Makkaroe Daeng Masikki, seorang Bugis Bone, dihikayatkan membuka pemukiman di [[Jawa, Samarinda Ulu, Samarinda|Kampung Jawa]]. Sementara itu, orang-orang Banjar tidak membentuk kampung khusus Banjar karena penyebaran mereka merata di wilayah Samarinda dan Kesultanan Kutai.
Seterusnya kedatangan etnis Tionghoa tahun 1885 ditempatkan di sekitar [[Pelabuhan, Samarinda Kota, Samarinda|Pelabuhan]] (sekarang meliputi kawasan Jl. Yos Sudarso dan Jl. Mulawarman). Setelah itu berdatangan pula etnis lainnya seperti Arab, India, Jawa, Sumatra, dan lain-lain. Kemudian Belanda membangun perkantoran dί sekitar kawasan kantor Gubernur sekarang sebagai pusat pemerintahan.
Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap dί kota ini. Kawasan Samarinda yang dί seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota dan pemerintahan.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 49-52</ref>
Pada tanggal 3 Februari 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Samarinda kepada balatentara Jepang. Tak seperti daerah lainnya, Pemerintah Hindia Belanda di Samarinda menyerah kepada Jepang tanpa perlawanan.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', pp. 14-15.</ref>
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1 Januari 1946, Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim pertama adalah F.P. Heckman.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 2.</ref>
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya [[Abdoel Moeis Hassan]]. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan [[Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia]] (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari [[Banjarmasin]].<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 120-139</ref>
Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949 sesuai hasil keputusan [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 79.</ref>
Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai “pusat emas hijau”. Predikat ini dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan industri.<ref>Sarip (2016), ''Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda'', p. 49</ref>
== Perkembangan administratif ==
* Tahun 1950: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota keresidenan Kalimantan Timur, bagian dari Provinsi Kalimantan.
* Tahun 1953: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Daerah Istimewa Kutai berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953.
* Tahun 1957: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
* Tahun 1959: Samarinda ditetapkan sebagai kotapraja berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959.
* Tahun 1965: Samarinda ditetapkan sebagai kotamadya berdasarkan UU No. 18 Tahun 1965.
* Tahun 1999: Samarinda ditetapkan sebagai kota berdasarkan UU No. 22 tahun 1999.
== Referensi ==
{{reflist|2}}
== Daftar pustaka ==
* {{cite book|last=Mees|first=Constantinus Alting|date=1935|title=De Kroniek van Koetai|publisher=Santpoort: N.V. Uitgeverij}}
* Tim Penyusun (1992). ''Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa''. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.
* Tim Penyusun (2004). ''Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda''. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda
* {{Cite journal|last=Sarip|first=Muhammad|last2=Nandini|first2=Nabila|date=2021|title=Kontroversi Sejarah La Mohang Daeng Mangkona dan Hari Jadi Kota Samarinda: Sebuah Tinjauan Kritis|url=https://jurnal.fkip.unmul.ac.id/index.php/yupa/article/view/569|journal=Yupa: Historical Studies Journal|language=Indonesia|volume=05|issue=2|pages=61–77|doi=10.30872/yupa.v5i2.569|issn=2541-6960}}
* {{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2015|title=Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda|publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari|isbn=978-602-73617-0-6}}
* {{Cite journal|last=Sarip|first=Muhammad|last2=Sheilla|first2=Nanda Puspita|date=2024|title=Studi Historis Asal-Usul Nama Kota Samarinda|url=https://ojs.samarindakota.go.id/index.php/jri/article/view/164|journal=Jurnal Riset Inossa|language=Indonesia|volume=6|issue=2|pages=1–12|doi=10.54902/jri.v6i02.164|issn=2685-3280}}
* {{cite book|last=Magenda|first=Burhan D|date=1991|title=East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy|publisher=New York: Cornell Modern Indonesia Project|isbn=978-602-8397-21-6}}
* {{cite book|last=Maunati|first=Yekti|date=2004|title=Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.|publisher=Yogyakarta: LKiS|isbn=979-9492-98-X}}
* {{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2016|title=Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran|publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari|isbn=978-602-73617-1-3}}
* {{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2016|title=Almanak Sejarah Samarinda|publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari|isbn=978-602-74363-1-2}}
{{Kota di Indonesia|prefix=Sejarah|title=Sejarah kota-kota di Indonesia|state=collapsed}}
[[Kategori:
|